Melampaui Demotaksi
Irwansyah ;
Dosen di Departemen Ilmu
Politik UI;
Mahasiswa di Asia Research
Center, Murdoch University, Australia
|
INDOPROGRESS, 04
April 2016
BELUM lama ini jagad
sosial media digemparkan keributan di jalanan raya Jakarta antara pengemudi
yang bekerja untuk kartel angkutan umum dengan para pengemudi angkutan
berbasis aplikasi. Wacana yang dominan berkembang menyatakan bahwa masalahnya
adalah soal regulasi. Wacana ini juga diamini banyak penulis opini. Saya
justru berpendapat bahwa persoalannya bukanlah ada tidaknya regulasi. Yang
mesti diperiksa adalah kenyataan material apa yang melandasi dan membatasi
posisi negara terhadap regulasi, hingga dapat terang pada siapa ada atau
tidak adanya regulasi berpihak
Regulasi yang
diributkan oleh dua kubu kapitalis yang tengah bertanding itu, pada intinya
ingin memperebutkan dominasi profit dari bisnis transportasi ini. Kubu yang
kelihatan paling galak adalah kartel angkutan yang telah lama mengeruk
keuntungan dengan cara memonopoli bisnis perhubungan di jalanan kota besar
melalui kolusinya dengan birokrasi dan para ‘penguasa jalanan’ (yakni aneka
ragam aparat negara dengan segala bentuk badan usahanya). Kubu lawannya
adalah entitas multinasional yang mampu mensiasati bisnis komunikasi-informasi,
pendanaan lewat aneka taktik investasi, serta ketangkasan merespon pemakaian
teknologi secara massal oleh masyarakat.
Ketiadaan regulasi
membuat model baru bisnis transportasi berkembang pesat dan mengancam prospek
profit pelaku bisnis lama. Pelaku bisnis yang semula unggul sebetulnya
diuntungkan oleh minimnya aturan yang memaksa mereka bertanggungjawab pada
para pekerjanya dan juga kepada konsumen yang tidak punya kuasa untuk
mendapatkan tarif yang murah. Kita bisa melihat dengan nyata konflik yang
terjadi di tubuh pembuat regulasi, yaitu pemerintah. Misalnya, antara
departemen perhubungan yang berbeda posisi dengan departemen
komunikasi-informasi. Pemerintah jelas terlihat tak berbadan tunggal.
Masing-masing pembantu kepala pemerintahan memfasilitasi pertandingan
kepentingan dua kubu modal yang sedang berkompetisi.
Kepala pemerintahan
yang dipuji sebagai ‘salesman nomer satu’ dalam urusan mengundang modal
berinvestasi di Indonesia, kelihatan gamang berdiri di antara dua kubu modal
yang sama-sama menunjukkan diri setia menopang kekuasaannya. Sementara itu
tak banyak yang bicara bahwa soalnya bukan teknis peraturannya ada atau pun
tidak ada. Inti pertentangan yang melandasi konflik bisnis transportasi
adalah kendali utama atas akumulasi modal dan penciptaan profit
sebesar-besarnya dari bisnis transportasi non-massal. Bisnis yang sangat
diuntungkan oleh kondisi dimana selama bertahun-tahun kota besar kita tak
punya transportasi publik massal yang menjadi tanggung jawab negara sehingga
berakibat kemacetan jalan raya yang semakin tak terpecahkan.
Tak sedikit dari kita
turut sibuk membagikan opini sesat yang menerangkan bahwa akar konflik antara
pengemudi angkutan umum non-massal adalah soal ketidakmampuan mengimbangi
berkembangnya tren ekonomi berbagi yang harusnya dipandang sebagai solusi.
Opini ini mempropagandakan ekonomi berbagi kemacetan sebagai solusi bagi
pengangguran dan biaya transportasi yang semakin lama semakin mahal (karena
kemacetan yang semakin tak terurai dan juga komersialisasi transportasi
publik yang tanpa kendali). Kita tergiring untuk semata membicarakan
memaksimalkan kepentingan konsumen, dan melupakan bagaimana sejarah kekacauan
transportasi publik dan lemahnya posisi rakyat pekerja dalam produksi jasa
transportasi yang terus dikomersialisasi saat ini. Tak ada serikat independen
dan perlindungan terhadap hak-hak normatif sebagai pekerja buat para
pengemudi, baik di bisnis milik kartel ataupun yang ‘berbasis aplikasi’.
Kita tidak galau
dengan kekacauan logika dalam soal konflik tersebut karena kita sudah terlalu
lama terperangkap dalam kemacetan yang parah, tidak hanya di jalan raya
sehari-hari tapi juga di nalar yang berkeadilan sosial. Kemacetan parah dan
berkepanjangan yang membuat bangsa kita tidak bisa mengingat bahwa awal
perjalanannya berangkat dari jalan perlawanan terhadap kapitalisme dan
kolonialisme dalam rute menuju masyarakat adil, setara, dan sejahtera – sebut
saja jalan kemerdekaan dan sosialisme. Kemacetan panjang yang melelahkan
telah membuat kita sebagai bangsa melakukan penyangkalan tentang jalan
sejarah dan arah perjalanannya. Kemacetan nalar membuat kita memusuhi segala
hal yang berkaitan dengan asal-usul jalan dan rute perjalanan sejati bangsa
kita. Sebagaimana kita lupa bahwa dalam sejarah bangsa kita, para pekerja
transportasi – serikat buruh kereta api — adalah kekuatan yang penting dalam
perjuangan melawan kolonialisme.
Sebetulnya kita dapat
melihat bahwa perkara ‘Kartel angkutan umum versus Online ‘ yang bergulir
menjadi konflik di jalanan, memiliki benang merah yang sama dengan pelarangan
acara-acara oleh ormas-ormas yang paranoid dengan ‘kiri’ atau kegiatan kritis
lainnya. Di luar perbedaan-perbedaan yang sangat nyata di antara keduanya,
yang kita semua sudah paham sepenuhnya. Justru kesamaannya yang patut
diperhatikan, bahwa muara konflik disalurkan menjadi benturan dan kebencian
antara sesama rakyat pekerja. Sementara kelas berkuasa dalam beragam formasi
dan ekspresinya, terselubungi oleh fokus yang sangat berlebihan pada
pengajuan solusi dan spekulasi-spekuslasi ketimbang usaha mengetahui apa yang
menjadi akar masalahnya saesungguhnya.
Konstruksi politik dan
kesadaran yang berkembang cenderung melupakan bahwa regulasi adalah bagian
dari konflik sosial. Di negeri kita yang anti analisa kelas ini, akibat
penindasan dan pembodohan oleh rezim-rezim politik sejak 1965 hingga
sekarang, logika rakyat diajak mengabaikan bahwa ada ataupun tiadanya
regulasi adalah wajah dari konflik kelas dalam masyarakat kita – masyarakat
kapitalis. Kalangan akademik dan aktivis serta gerakan sosial masih terlalu
minim memasok pengetahuan dan kesadaran progresif rakyat untuk memahami
konflik-konflik sosial yang muncul dalam kerangka kritik terhadap pembangunan
kapitalisme dan masyarakatnya yang tersusun atas kelas-kelas sosial yang
bertentangan kepentingan. Konflik di jalanan antara rakyat pekerja dalam
peristiwa benturan ‘taxi kartel versus angkutan online’ adalah alarm tanda
bahaya, yang harus disikapi dengan propaganda kelas dan bukannya semata
mengikuti wacana ‘kepentingan konsumen’ yang melulu pro mekanisme pasar.
Perlu usaha bersama kaum progresif untuk mendorong pengorganisiran serikat
independen yang jelas dibutuhkan oleh pengemudi di mana pun, dan tidak
dikehendaki baik oleh kapitalis kartel maupun online. Saatnya berbagi
perjuangan untuk ekonomi berbagi yang sejati, bukan yang semata jualan para
pendukung kaum modal.
Kita perlu menolak
untuk ikut-ikutan mengajukan solusi yang membuat rakyat tidak belajar akar
masalah yang terjadi secara material dan menyejarah. Kaum progresif harusnya
berbagi pengetahuan dan sumber daya yang mempopulerkan sehebat-hebatnya
kepentingan rakyat pekerja yang tidak disuarakan dalam konflik-konflik sosial
yang tengah terjadi. Dan ini bukan hanya relevan untuk soal kehebohan
“demotaksi”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar