Minggu, 03 April 2016

RI-Tiongkok dan Kepercayaan yang Rapuh

RI-Tiongkok dan Kepercayaan yang Rapuh

PLE Priatna ;  Diplomat; Anggota Staf Sekretariat
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri
                                                        KOMPAS, 02 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kapalikan KM Kway Fey 10078 berbobot kotor 300 ton asal Tiongkok memasuki kawasan Perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Saat terdeteksi kapal patroli RI (KP Hiu 11), kapal penjaga pantai Tiongkok yang membuntuti kapal Kway Fey itu menghalaunya dengan menabrak badan kapal Kway Fey agar tak ditangkap. Meski demikian, delapan anak buah kapal Kway Fey akhirnya tetap berhasil ditangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Ketegangan diplomatik RI-Tiongkok pun merebak. Menlu RI melakukan protes keras, sekaligus memanggil Kuasa Usaha Republik Rakyat Tiongkok di Jakarta. Kemlu Tiongkok di Beijing menyangkal melakukan pelanggaran kedaulatan karena menganggap kapal Kway Fey (KF) berada dalam traditional fishing zone RRT, bahkan ia meminta para anak buah kapal KF dibebaskan. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pun menjawab tegas: tidak ada doktrin wilayah perairan perikanan tradisional itu.

Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menilai insiden Natuna mengancam hubungan diplomatik RI-Tiongkok, sekalipun Istana menyatakan RI tidak sedang berkonflik dengan Tiongkok. TNI AL pun menyatakan insiden Natuna hanya konflik perikanan dan bukan pertahanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kembali mengancam akan menggugat Tiongkok ke Mahkamah Hukum Laut Internasional bila Tiongkok tetap menghambat langkah Indonesia menghukum KF. Sementara Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah minta Presiden tak menyerahkan urusan Natuna kepada Susi Pudjiastuti.

Elemen milisi maritim

Indonesia bukan negara para pihak yang bersengketa di Laut Tiongkok Selatan. Namun, hubungan RI-RRT kembali diuji, di tengah hadirnya milisi maritim Tiongkok. Dari kronologi insiden KF, terkuak langkah proteksi aparat Tiongkok. Adanya intervensi (militer) kapal penjaga pantai Tiongkok menabrak kapal KF agar tenggelam dan terbebas dari kapal patroli RI, diyakini KF sebagai kapal (gelap) milisi maritim Tiongkok.

Bukan rahasia lagi. Saat ini, ribuan tenaga milisi kelautan Tiongkok bergerak sebagai nelayan pencari ikan (little blue men) dengan kapal kecil atau sedang, tetapi berteknologi canggih. Mereka menjelajah seantero dunia, berkomunikasi, dan bahkan menerima instruksi dari aparat keamanan laut Tiongkok di wilayah terdekat maupun pusat komando regional Angkatan Laut Tiongkok (Andrew Erickson dan Conor Kennedy, 2016).

”Bahkan bila terjadi sengketa terbuka, anggota milisi maritim ini dapat mengambil alih posisi Angkatan Laut Tiongkok,” demikian kata Chris Cavas tanpa merinci strategi dan taktik yang dilakukan (Defense News, 2/11/2015).

Dengan kata lain, milisi maritim adalah ujung tombak kekuatan pertahanan laut Tiongkok. Jadi, mereka bukan lagi sekadar nelayan tua penjaring ikan di laut, yang sepenuhnya bebas dari misi bela negara. Tidak mengherankan bila sekitar 100 kapal pencari ikan Tiongkok terdeteksi melakukan pelanggaran batas wilayah perairan Malaysia di Laut Tiongkok Selatan yangjadi sengketa.

Meningkatnya kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi Tiongkok dengan negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia belakangan ini, tidak dengan sendirinya meningkatkan kepercayaan (trust) kepada Tiongkok. Kemelut teritorial yang timbul akibat klaim RRT di Laut Tiongkok Selatan, proyek reklamasi dan pembangunan fasilitas militer Tiongkok di gugus Pulau Spratly dan Paracel, misalnya, jelas menjadi faktor negatif RRT di tengah rapuhnya kepercayaan dikawasan ini.

Sebagian anggota ASEAN bahkan masih melihat RRT sebagai sumber ancaman nyata bagi kestabilan, keamanan, dan penguasaan sumber daya ekonomi Asia Tenggara.

Coba kita lihat produksi hasil perikanan dan kekayaan laut di wilayah perairan Laut Tiongkok Selatan selama lima tahun (2005-2010): mencapai 10,5 juta ton, senilai 21,8 miliar dollar AS (pada 2012). Dari stok itu, RRT memanen 45 persennya, senilai 12 miliar dollar AS; Vietnam 4,384 miliar dollar AS; Taiwan (2,731 miliar dollar AS); Malaysia (1,2 miliar dollar AS); dan Indonesia (1,2 miliar dollar AS). Demikian hasil studi Universitas British Columbia, 2015.

Dari angka itu, Tiongkok menguasai hampir setengah deposit kekayaan ikan dan berhasil menjadikannya devisa yang besar. Dominasi Tiongkok merebut persaingan ekonomi seperti itu tentu menimbulkan dilema dalam menyiasati kerja sama ekonomi.

Perlu terobosan diplomasi

Sikap arogan RRT menyikapi insiden KF, misalnya, jelas membangkitkan kekecewaan publik di tengah bulan madu upaya peningkatan kerja sama ekonomi RI-RRT. Belum lagi rendahnya rasio realisasi investasi RRT di Indonesia, tentu menimbulkan berbagai pertanyaan.

Karena itu, respons publik di dalam negeri bisa menjadi elemen kontra-produktif bagi peningkatan kerja sama RI-RRT. Rasa kebangsaan publik diusik. Tidak hanya oleh tindak pelanggaran wilayah, lebih dari itu, pencurian aset negara secara masif ini bisa menimbulkan gerakan perlawanan, bahkan sentimen anti Tiongkok di tingkat akar rumput.

Di tengah tantangan seperti itu, Jakarta dan Beijing perlu melakukan terobosan diplomasi (baca: membuka area kerja sama baru) guna menumbuhkan kepercayaan yang rapuh. Faktor masa lalu hubungan RI-RRT, meski bukan faktor utama, bisa menjadi pendulum kepercayaan.

Langkah Tiongkok menghentikan pencurian ikan di teritori Indonesia adalah salah satu solusi tepat untuk memulihkan kepercayaan yang rapuh itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar