Menyoal Kisruh DPD
Ikhsan Darmawan ;
Dosen Departemen Ilmu Politik
FISIP UI
|
REPUBLIKA, 14
April 2016
Pertengahan Maret
lalu, masyarakat digegerkan oleh kisruh yang terjadi di Senayan. Lembaga
wakil rakyat dari tiap provinsi di bawah Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
disibukkan oleh aksi sejumlah anggota DPD yang meminta Ketua DPD
menandatangani Rancangan Perubahan Tata Tertib DPD yang disusun oleh Panitia
Khusus (Pansus) Tata Tertib DPD.
Fenomena itu tentu
cukup mengagetkan, mengingat selama ini DPD dikenal adem ayem. Tentu saja,
ribut-ribut itu tidak elok di mata publik. Apalagi, belakangan ini DPD
sebagai lembaga sedang mendorong perluasan wewenang lewat amendemen UUD 1945.
Apa yang terjadi pada
17 Maret 2016 lalu hanyalah puncak dari proses di dalam DPD yang tidak
sebentar. Berawal dari adanya Pansus Rancangan Peraturan tentang Perubahan
Tatib (RP Perubahan Tatib) yang mendapat amanat membahas empat hal, yaitu
pertama, proses legislasi; kedua, mitra kerja; ketiga, proses pengawasan
keuangan negara; dan keempat, redaksional. Dalam rapat Panitia Musyawarah
(Panmus) tanggal 29 Oktober 2016 dibahas masa kerja Pansus RP Perubahan Tatib
akan berakhir pada 17 Januari 2016.
Dalam perkembangannya,
Pansus RP Perubahan Tatib ternyata melebarkan pembahasan di luar dari empat
isu di atas. Naskah hasil kerja Pansus ternyata bukan berisikan
"Rancangan Peraturan tentang Perubahan Tatib" sebagaimana
dipersyaratkan oleh UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, melainkan "Daftar Inventarisasi Draf Tatib".
Naskah tersebut pun baru dibagikan kepada anggota DPD satu hari sebelum
sidang paripurna dalam bentuk dua naskah, yaitu "Opsi A" dan
"Opsi B".
Pada rapat Paripurna
Luar Biasa tanggal 15 Januari 2016 diagendakan kegiatan penyampaian Laporan
Hasil Kerja Pansus Tatib. Akan tetapi, beberapa anggota DPD mendesak draf
yang diserahkan Pansus Tatib seperti disebutkan di atas dapat diputuskan
langsung alternatif A atau B. Putusan rapat Paripurna tanggal 15 Januari 2016
berbunyi tidak hanya memutuskan voting untuk memilih opsi A atau B, tetapi
draf tatib yang terpilih tidak boleh bertentangan dengan UU.
Untuk mendapat
kepastian bahwa draf tatib yang terpilih tidak bertentangan dengan UU, DPD
sebagai lembaga telah meminta dilakukan pengkajian secara material maupun
formal. Hasil dari kajiannya menyebutkan bahwa naskah rancangan tatib tidak
dapat diundangkan karena cacat hukum, baik material maupun formal, serta
tidak dapat dieksekusi.
Di dalam DPD sendiri,
ada kelompok yang ingin mendorong proses politik terkait ini terus berjalan
meskipun apa yang diusulkan dinilai bermasalah dari sisi hukum. Kelompok ini
berpendapat bahwa walaupun ada pertentangan ketentuan dalam tatib dengan
undang-undang, proses politik tetap dapat berjalan. Sementara, untuk
pengajuan keabsahannya melalui mekanisme hukum dapat dilakukan setelahnya
(uji materi oleh lembaga yang berwenang).
Pada 16 Maret 2016
telah ada pertemuan internal DPD yang berujung pada tawaran opsi duduk
bersama mengkaji serta meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas sengkarut ini.
Namun, sehari setelahnya dalam rapat Paripurna DPD, sekelompok anggota DPD
mengajukan kepada pimpinan DPD agar menandatangani draf tatib, padahal
sebelumnya juga tidak ada rapat yang memutuskan untuk meminta tanda tangan
pimpinan DPD di draf tatib yang telah dibuat.
Dalam buku Problem of Democratic Transition and
Consolidation, Juan Linz dan Alfred Stepan (1996) menyebutkan bahwa
demokrasi dapat dianggap berhasil ketika demokrasi secara perilaku, pikiran,
dan konstitusi dianggap sebagai the
only game in town. Untuk hal ini, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi.
Pertama, ketika
demokrasi tidak mendapat dukungan dari rakyat atau orang-orang di dalamnya
maka demokrasi tidak dapat secara perilaku dan pikiran menjadi satu-satunya aturan
main. Kedua, ketika para pemimpin tidak mengikuti konstitusi dan membangun
aturan atau lembaga maka tidak mungkin demokrasi dapat terkonsolidasi.
Ketiga, demokrasi akan bekerja hanya ketika setiap orang bekerja sama dan
mengusahakan demokrasi bekerja.
Persoalan internal DPD
ini harus dilihat dalam kacamata seperti disebutkan di atas. Dengan kata
lain, demokrasi harus berjalan dalam dua koridor, yaitu substansi dan
prosedur. Kelompok yang ingin menyuarakan substansi perubahan dalam draf
tatib tidak dapat memaksakan kehendak tanpa melalui prosedur yang sesuai yang
telah diatur.
Selain itu, seperti
disebutkan Linz dan Stepan di atas, konstitusi haruslah diikuti oleh semua
pihak. Mendorong usulan yang bertentangan dengan konstitusi tidak dapat
dibenarkan dalam kacamata demokrasi. Terlepas dari perdebatan di atas, proses
yang diusulkan untuk dapat menjadi usulan solusi dan jalan keluar, yaitu
meminta fatwa kepada MA pada akhir Maret 2016 lalu, harus dihormati oleh
semua pihak di DPD.
Secara singkat dapat
disebutkan bahwa substansi pokok permasalahan yang dimintakan fatwa ke MA
berkisar pada tiga hal. Pertama, apakah sebuah rancangan Peraturan DPD
tentang Tatib memuat ketentuan yang bertentangan dengan UU tentang MD3.
Kedua, apakah
diperbolehkan rancangan Peraturan DPD tentang Tatib mengubah dan memotong
masa jabatan Pimpinan DPD dari sebelumnya lima tahun menjadi 2,5 tahun
meskipun di rapat paripurna pada Oktober 2014 ditetapkan masa jabatan
pimpinan DPD adalah lima tahun. Ketiga, apakah sebuah rancangan Peraturan DPD
tentang Tatib yang tidak memenuhi syarat material dan formal harus tetap
ditandatangani pimpinan DPD.
Sebagai penutup,
terlepas dari proses yang sedang berjalan, penulis hanya berharap para
legislator di DPD lebih baik mengikuti 'saudara kandungnya', yaitu DPR, yang
saat ini lebih fokus untuk bekerja menjalankan tiga fungsi utamanya.
Masyarakat luas tentu saja lebih berharap ke depannya dipertontonkan oleh
kinerja moncer DPD sebagai lembaga dan anggotanya ketimbang drama politik
yang cenderung kontraproduktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar