Menyoal Pikiran Kisruh DPD
AM Fatwa ;
Ketua Badan Kehormatan DPD RI
|
REPUBLIKA, 15
April 2016
Tulisan Ikhsan
Darmawan berjudul "Menyoal Kisruh DPD" yang dimuat Harian
Republika, Kamis (14/4), pada alinea pertama menyebutkan bahwa DPD adalah
lembaga wakil rakyat. Pernyataan ini keliru karena berdasarkan Pasal 247 UU
MD3, DPD RI adalah lembaga wakil daerah, sedangkan untuk wakil rakyat ada DPR
dan DPRD.
Selain keliru
mendeskripsikan lembaga DPD, Ikhsan Darmawan juga terkesan terburu-buru mengambil
kesimpulan tentang fenomena politik mutakhir yang terjadi di lingkungan
internal DPD. Nah, tulisan ini saya maksudkan untuk meluruskan
kekeliruan-kekeliruan tersebut.
Ketua DPD RI Irman
Gusman yang memimpin sidang paripurna DPD pada 15 Januari 2016, tentu saja
mengetahui isi Rancangan Peraturan DPD tentang Tata Tertib yang dibuat pansus
yang diacarakan dan akan diputuskan pada sidang paripurna tersebut. Sebab,
setiap sidang paripurna didahului rapat panitia musyawarah (panmus) yang
dihadiri pimpinan DPD, pimpinan alat kelengkapan DPD lainnya, serta seorang
anggota dari provinsi yang belum terwakili sebagai ketua Alat Kelengkapan DPD
untuk membicarakan acara persidangan.
Lagi pula, ketua DPD
membuka persidangan dan ikut dalam pemungutan suara dalam sidang paripurna
DPD dimaksud. Ia cuma kalah suara dalam memilih Paket A.
Setelah diputuskan,
hasilnya bukan lagi Paket A atau Paket B, melainkan sudah jadi keputusan
sidang paripurna. Kemudian, disetujui untuk ditugaskan kepada Badan
Kehormatan DPD sebagai alat kelengkapan, yang salah satu tugasnya adalah
"melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan DPD tentang Tata Tertib
dan Kode Etik DPD" (Pasal 92 ayat (2) Tatib).
Dalam perjalanan
evaluasi dan penyempurnaan terhadap materi muatan peraturan Tata Tertib yang
telah diputuskan sidang paripurna DPD sebagai forum tertinggi, pengambilan
keputusan atas nama lembaga DPD itulah rupanya timbul kesadaran baru yang
terlambat dari pimpinan DPD. Kemudian, dengan berbagai alasan, tidak bersedia
menandatangani hasil evaluasi dan penyempurnaan Badan Kehormatan DPD dimaksud
yang juga diperkuat dengan penugasan sidang paripurna tanggal 15 Januari
2016, dengan membahas hanya terbatas penyempurnaan redaksional.
Di sinilah titik awal
di mana Badan Kehormatan (BK) DPD RI yang melaporkan hasil kerjanya di sidang
paripurna DPD 16 Maret 2016, menganggap pimpinan DPD RI tidak menghormati
hasil kerja BK DPD RI dan keputusan sidang paripurna DPD RI. Tiga peraturan
Tata Tertib DPD sebelumnya, yaitu tahun 2010, 2013, dan 2014, walaupun ada
pasal yang tidak sesuai dengan UU MD3 maupun UU P3, tetap saja ditandatangani
oleh ketua DPD yang sekarang ini, tanpa ada catatan atau keberatan. Hal ini
berbeda dengan peraturan Tata Tertib DPD pada 2016 karena terdapat pembatasan
masa jabatan pimpinan DPD, dari lima tahun menjadi dua tahun enam bulan.
Anomali sikap pimpinan
Sebenarnya, inilah
pokok persoalan dari berbagai upaya untuk menggagalkan keputusan sidang
paripurna DPD tanggal 15 Januari 2016 yang dipimpin ketua DPD tersebut.
Padahal, ada mekanisme untuk mengubah kembali suatu peraturan DPD tentang
tata tertib setelah ditandatangani ketua DPD.
Usul perubahan tata
tertib dan kode etik dapat diajukan setiap waktu ke sidang paripurna melalui
panitia musyawarah oleh: a) Badan Kehormatan; b) Paling sedikit dua alat
kelengkapan atau oleh anggota paling sedikit 30 persen yang mencerminkan
keterwakilan 10 provinsi dan tersebar di tiga wilayah secara proporsional.
Jadi, tidaklah sulit
bagi pimpinan untuk mengubah kembali tata tertib yang sudah menjadi peraturan
DPD tersebut, jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
ataupun tidak sreg secara personal.
Manuver pimpinan
Namun, pimpinan DPD
justru melakukan berbagai manuver untuk menggagalkan hasil keputusan sidang
paripurna DPD RI pada 15 Januari 2016 yang dipimpinnya. Hal itu bukan saja
tidak menghormati hasil keputusan sidang paripurna DPD RI, melainkan juga
tidak menghormati hasil kerja BK DPD RI yang mendapat amanat sidang paripurna
DPD RI.
Pimpinan DPD RI
meminta pendapat kepada Mahkamah Agung dengan menunjuk pasal yang mengatur
tentang konsultasi. Pimpinan DPD melakukan apa yang disebutnya konsultasi
tersebut, tanpa keputusan lembaga DPD. Padahal, di antara tugas pimpinan DPD
RI adalah mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara
lainnya sesuai dengan Peraturan DPD (Pasal 60 huruf e Tatib).
Tidak pernah adanya
keputusan sidang paripurna DPD yang menyetujui untuk mengonsultasikan masalah
ini. Apalagi, menggelar expert meeting dan lain-lain, seolah-olah pembatasan
masa jabatan pimpinan DPD adalah masalah hidup dan mati.
Sungguh menyedihkan!
Seorang negarawan tidak boleh takut kehilangan jabatan. Jabatan adalah amanah
yang jika tiba waktunya diambil oleh Yang Maha Kuasa, siapa pun tidak akan
sanggup menolaknya.
Sebagai akademisi,
tidak sewajarnya Ikhsan Darmawan membangun opini publik berdasarkan pandangan
subjektif pribadinya tanpa mengetahui detail persoalan yang sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar