Memikirkan Kembali Makna Kemajuan Bangsa
Bambang Setiaji ;
Rektor Universitas Muhammadiyah
Surakarta
|
REPUBLIKA, 11
April 2016
Membandingkan kemajuan
ekonomi yang diperoleh oleh Turki dengan pendapatan per kapita pada 2015
sebesar 9.290 dolar AS dibanding Mesir 3.400-an dolar AS seperti juga
Indonesia di angka yang hampir sama, perlu diajukan menjelang perlunya haluan
negara diadakan lagi. Boleh dikatakan Turki menikmati kemajuan ekonomi 2,5
kali lipat dibanding dua negara yang lain, Mesir dan Indonesia.
Ketiga negara ini
merupakan negara besar dan negara inti di dunia Islam. Namun, perlu
direnungkan kemajuan ekonomi yang lebih komprehenshif untuk menjamin
kesejahteraan sampai lapisan terbawah.
Apabila kita
mengobservasi dengan gegabah, melihat Kota Istanbul yang lebih tertata dengan
taman bunga tulip yang indah di musim semi, serasa kota di Eropa, tentu Turki
lebih dipilih menjadi model. Sebaliknya, dengan kota tua Kairo yang penuh
debu gurun sehingga flat-flatnya yang khas berwarna cokelat dibiarkan tanpa
cat, dengan mobil angkot tua berseliweran, dengan suara sopir yang keras, dan
kita kira sedang bertengkar mencari atau berebut penumpang, ibu pedagang
pulang keluar Kota Kairo kulakan naik pick up tua bak terbuka, menerjang debu
gurun yang sering menyesakkan, semakin mantap menjadikan Turki model idola.
Benarkah demikian?
Tidak boleh disangkal
bahwa Turki dengan 2,5 kali lipat capaian Mesir atau Indonesia merupakan peta
tujuan. Namun, bagaimana kelompok rakyat terbawah bisa menikmati kemajuan
ekonomi merupakan persoalan inti dari setiap pembangunan ekonomi.
Perkembangan ekonomi yang hanya dinikmati kelompok menengah atas kurang
berguna karena mereka memang sudah bisa hidup layak.
Ekonomi pasar yang
diadopsi dari Barat dan Amerika hanya tepat bagi lingkungan sosial ekonomi
mereka. Pendidikan yang relatif baik dan kewirausahaan yang merata
menyebabkan tersedianya pekerjaan yang relatif cukup. Ditambah dengan upah
minimum yang tinggi dan pelaksanaan yang lebih ketat, lapisan terbawah masyarakat
dapat menikmati kemajuan ekonominya.
Di negara dunia ketiga
dengan penduduk yang besar, dipenuhi kewirausahaan informal yang tak
terjangkau peraturan upah minimum, rakyat tidak bisa akses kepada kemajuan.
Lapisan besar masyarakat dibayar sangat rendah di bawah upah minimum dan
hanya mampu mengonsumsi barang dan jasa dengan harga murah. Bisa dibayangkan
betapa stres dan kesengsaraan lapisan terbawah di negara maju dengan harga
pangan dan kebutuhan dasar lain yang sudah tinggi.
Rantai baru seperti
pangan yang murah sungguh diperlukan. Rezim subsidi pangan masih diperlukan,
mengingat lapisan berdaya beli rendah masih besar. Inilah rahasia mengapa
rakyat Mesir dan Indonesia lebih berbahagia dibanding Turki, misalnya, bahkan
mungkin yang jauh lebih maju seperti Korea Selatan dengan pendapatan per
kapita 27 ribu dolar AS, Taiwan 22 ribu dolar AS, dan Singapura 53 ribu dolar
AS.
Biaya hidup murah,
kehangatan sosial, dan religiusitas tak ternilai harganya. Indeks kebahagiaan
tentu berbeda dengan indeks pendapatan per kapita. Survei di berbagai forum
memperlihatkan banyak orang memilih terlahir di Indonesia karena punya
kesempatan memperoleh relasi sosial dan religius daripada terlahir di negara
kaya yang memiliki indeks keduanya lebih rendah.
Untuk mempertahankan
kebutuhan sosial dan religius mengorbankan waktu, seperti rapat RT, hajatan
ini dan itu, serta jamaah shalat lima waktu, bagaimanapun produktivitas
bangsa seperti ini lebih rendah. Namun, demikian tujuan dan pilihan corak
kemajuannya harus dirumuskan berbeda. Kebahagiaan harus diindeks lebih
komprehensif dengan mengambil pengalaman betapa stres para pekerja dan rakyat
menghadapi biaya hidup yang begitu tinggi di negara maju.
Struktur anggaran
pemerintahan di mana pos subsidi pangan dan pupuk serta BBM yang besar masih
diperlukan, mengingat banyak lapisan yang tidak bisa mengakses pekerjaan baik
dan berupah tinggi. Di Mesir, rakyat bisa hidup dengan lima pound sehari
(sekitar Rp 7.500) dengan mengandalkan roti dan kuah falafel yang disubsidi
negara. Namun, pemerintah memberikan subsidi untuk roti dan menjamin tetap
berharga murah.
Subsidi yang diberikan
bebas merupakan kesalahan besar karena subsidi pupuk sebagian besar dinikmati
pengusaha perkebunan dan milik asing. Sistem kupon harus diberlakukan sehingga
sasaran yang berhak memperoleh subsidi bisa diarahkan.
Sistem kupon akan
mengurangi subsidi pupuk, pangan, dan BBM. Subsidi untuk lapisan rakyat
diperlukan, tetapi diperlukan teknologi supaya tepat sasaran. Dengan sistem
kupon bisa dihemat setengah atau lebih subsidi kita.
Tanpa mengembangkan
teknologi distribusi subsidi, yang pada era IT merupakan hal yang tak sulit,
merupakan kesalahan besar dan fatal yang bisa menjerumuskan keuangan negara
dan krisis. Subsidi masih diperlukan, tetapi harus terarah kepada lapisan
terbawah.
Sistem subsidi silang
kesehatan dan sekolah saat ini merupakan langkah besar yang perlu
diapresiasi. Dengan tetap mempertahankan premi kesehatan yang rendah untuk
lapisan terbawah, tetapi perlu diwaspadai jangan sampai lapisan atas
mengakses yang murah dan pada saat sakit pindah kelas.
Demikian juga sekolah.
Sekolah yang baik memerlukan laboratorium, buku mutakhir, komputer, dan
internet. Lapisan yang kaya mestinya boleh membayar kebutuhan ini. Pemerintah
mestinya mengizinkan sekolah tertentu berbayar.
Untuk lapisan bawah
disediakan sekolah gratis dengan subsidi penuh. Sekolah swasta bisa ditunjuk
menjadi provider karena banyak sekolah swasta kekurangan siswa. Mendirikan
sekolah negeri baru secara nasional merupakan kerugian karena masyarakat
sudah menyediakan tanah, gedung, dan sebagian guru. Negara harus dimaknai
lebih luas dari negeri.
Perguruan tinggi kita
juga harus lebih menyatu dan bermanfaat untuk usaha rakyat. Riset dan
pengabdian masyarakat di perguruan tinggi selama ini seperti tak berbekas
untuk menjadi motor kemajuan bangsa. Bahkan, banyak riset tidak relevan
dengan kebutuhan riil di masyarakat.
Bentuk masyarakat
dengan intensitas sosial dan religius tinggi, pendapatan per kapita menengah
dengan sistem subsidinya yang terarah berteknologi, kiranya merupakan pilihan
model kemajuan atau pembangunan yang tepat. Ditambah dengan pemerintahan yang
bersih dan kiprah KPK yang seharusnya membuat pejabat publik lebih baik,
demokratis di mana rakyat jelata bisa mentransformasi diri menjadi pemimpin
tertinggi, serta kedamaian antaretnik yang begitu beragam pantas diajukan
oleh Indonesia menjadi model terbaik di dunia Islam dan dunia ketiga pada
umumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar