Korupsi, Korporasi, dan Kebijakan Publik
Zainal Arifin Mochtar ;
Dosen Ilmu Hukum dan Ketua
PuKAT Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta
|
MEDIA IDONESIA, 04
April 2016
KOMISI Pemberantasan
Korupsi (KPK) tengah berjibaku dengan kasus korupsi yang menyeret Ketua
Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi.
Banyak yang menduga
ini hanyalah sebuah kasus suap biasa dengan skala rendah, yakni hanya anggota
DPRD dan dalam skala provinsi.
Dugaan yang tak
sepenuhnya benar.
Jika diselisik, kasus
ini sebenarnya termasuk grand corruption, korupsi dalam skala besar. Korupsi,
dalam bahasa Desta (2006), sebenarnya dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu
definisi yang berpusat pada jabatan publik, definisi yang berpusat pada
pasar, serta definisi yang berpusat pada kepentingan publik.
Hal yang dilakukan
Sanusi sangat dekat dengan korupsi dalam definisi yang berpusat pada
kepentingan publik, yaitu pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang
kekuasaan yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan sesuatu, kemudian
akibat diberi uang atau hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, mendukung
atau mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan orang yang memberinya
hadiah.
Perbuatannya tersebut
merusak kepentingan publik (Frederich, 1966).
Hal yang dilakukan
Sanusi diperkirakan berkaitan dengan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta
2015-2035 serta Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta
Utara. Kebijakan publik telah dijual demi kepentingan tertentu. Kebijakan
publik yang dibuat ialah pesanan korporasi yang menginginan sesuatu berjalan
sesuai dengan keinginan mereka.
Karena itulah, KPK
telah menetapkan tiga tersangka setelah melakukan operasi tangkap tangan di
salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Mereka ialah Sanusi sebagai
penerima, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Ariesman Widjaja sebagai
pemberi, dan karyawannya berinisial TPT sebagai perantara.
Dalam hal ini,
setidaknya ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan.
Pertama, bagaimana
spektrum korupsi ini. Kedua, magnitudo peran partai politik kasus ini. Ketiga,
hal yang penting untuk dilakukan KPK dalam menangani kasus ini.
Korupsi dan lingkungan hidup
Isu korupsinya tentu
ialah hal yang sudah sangat kental. Dalam hal tertangkap tangan, sudah sangat
sulit bagi siapa pun yang tertangkap tangan untuk menghindar dari tanggung
jawab hukum yang ada. Kasus korupsi tentu saja hal yang harus ditangani
dengan serius. Namun, yang tak kalah menarik untuk dipikirkan ialah problem
lingkungan hidup yang melatari kasus tersebut. Dalam kasus ini, punya
keterkaitan erat dengan bos perusahaan properti dan reklamasi yang dilakukan
di teluk Jakarta.
Ada problem serius di
dalamnya, karena menjadi semacam 'masalah dua kali lipat'.
Masalah yang pertama
tentu saja ialah kegiatan dan ide di balik reklamasi itu sendiri serta
bagaimana itu digunakan pihak-pihak tertentu untuk mengakumulasi modal dan
kekayaan di balik ide reklamasi. Selalu ada pertarungan gagasan di balik reklamasi,
yakni antara isu kerusakan lingkungan hidup dan banjir yang mengancam
Jakarta, serta ide tentang bisnis reklamasi yang mendatangkan keuntungan.
Artinya, inilah hal
yang harus didudukkan sedari awal dalam kasus ini. Apakah kebijakan publik
yakni reklamasi yang sedang diusung oleh negara memang merupakan kebijakan
publik yang benar berguna dan penting bagi negara ini. Jika hal itu sudah
terjawab, baru kemudian diperiksa apakah proses keputusan negara di balik
proses reklamasi sudah dipenuhi secara administratif dan benar, termasuk
tentang siapakah yang sebenarnya memiliki kewenangan penentu untuk melakukan
zonasi wilayah berkaitan cita-cita reklamasi. Hal yang sebenarnya tak boleh
dibalik logikanya. Semisal dengan mengatakan bahwa hanya karena sudah
dilakukan sedari dulu, ini kebijakan yang dilanjutkan sebagai bagian dari
kebijakan yang sudah dilakukan dari dahulu. Karena dalam pengambilan
kebijakan publik, include di dalamnya ialah evaluasi dari kebijakan publik
tersebut.
Siapa pun yang
memiliki kuasa atas kebijakan itu, evaluasi menjadi penting dengan
mendudukkan kembali isu besar yang ada dan menjadi pemetaan dalam pengambilan
langkah berikutnya. Jangan sampai isu logika formal hukum kemudian
mengaburkan fakta kebijakan reklamasi yang akan menguntungkan atau hanya akan
merusak.
Kuatnya aroma partai
Kasus korupsinya
sendiri ialah hal yang menarik karena memiliki potret besar dalam lanskap
kasus-kasus korupsi di Indonesia. Lihat saja, misalnya, penangkapan ini
merupakan kasus 'pecah telur' bagi Partai Gerindra. Sebelumnya, Gerindra
ialah partai yang sering kali menjual ide Partai Gerindra yang masih bersih
dari kasus korupsi. Namun, kasus ini makin menunjukkan tesis yang menyatakan
partai dan aktor-aktor di dalamnya sebagai predator dalam gerak bangsa ini
makin memperlihatkan faktanya.
Penangkapan Sanusi
merupakan potret besar bagaimana partai dan petinggi partai secara jamak
menggunakan sarana partai untuk merebut kekuasaan dan kemudian
memperdagangkan kekuasaan itu melalui kewenangan yang dimilikinya, salah
satunya dalam membuat kebijakan publik.
Artinya, tagihan besar
tentu saja dikembalikan ke partai-partai yang sering kali menggunakan sarana
itu bukan untuk perbaikan negara, melainkan untuk kepentingan pribadi dan
golongan. Petinggi partai yang korup memperlihatkan betapa rentannya partai
dalam godaan memperdagangkan kekuasaan.
Dalam hal ini, sulit
untuk ditolak adanya gerakan-gerakan belakangan yang mencoba melakukan
independenisasi jabatan publik dari bau partai politik. Gerakan Joint (Jogjakarta Independent), yang mau
mengusung calon independen bagi jabatan wali kota di Yogyakarta, misalnya,
menjadi bahasan menarik yang memperlihatkan kemuakan publik kepada perilaku
partai yang main-main dengan kekuasaan. Artinya, inilah saat bagi partai untuk
berbenah. Gerakan independenisasi ini janganlah dipandang sebagai
deparpolisasi karena secara logika demokrasi dan ketatanegaraan mustahil
menegasikan peran partai. Model ini harus dimaknai sebagai teguran buat
partai untuk berbenah.
Publik sudah bosan dan
jemu dengan kondisi partai yang bermain dengan kewenangannya.
Maka harus ada tawaran
konsep yang mumpuni untuk kembali membuat partai menjadi menarik dan
menjanjikan dalam proses demokrasi dan ketatanegaraan.
Menangani korupsi kebijakan
Kasus ini sesungguhnya
merupakan ujian yang baik untuk KPK jilid mutakhir kali ini. Apakah mereka
mampu menangani kasusnya secara baik dan berperan sebagai 'pemberantas
korupsi' dan tidak hanya sebagai 'pemadam korupsi'. Ada beda yang besar di
antara kedua konsep itu.
KPK hingga saat ini
masih sering kali berpola 'pemadam korupsi' yang menangkapi dan melakukan
upaya pro justitia atas suatu
pelanggaran hukum. Mematikan api korupsi yang tengah berkobar, tapi masih
sering kali gagal untuk membangun potret pemberantasan yang punya resep
merasuk hingga ke akar-akarnya.
Tantangan bagi KPK
tentu saja ialah dengan memberikan peta yang besar di balik kasus ini. Seperti
yang dituliskan di atas, bukan hanya dalam kasus jualan kewenangan penyusunan
perda, melainkan juga hingga kongkalikong besar di balik permainan yang
mungkin ada dalam proses reklamasi. KPK harus memberikan peta indikatif yang
besar dan lebar betapa pentingnya sektor permainan antara korupsi, korporasi,
dan kebijakan publik diselesaikan.
KPK punya tanggung jawab
besar untuk memola itu. Hal itu bisa dimulai dengan memetakan permainan
antara penjual kepentingan dan pembeli kepentingan. Penjual kepentingan tentu
saja DPRD yang rasanya dalam kasus ini sangat mungkin untuk dilakukan secara
berkelompok dan bukan individual semata.
Melacak dan memetakan
ialah langkah yang baik untuk memperlihatkan kelompok penjual kewenangan ini,
termasuk tentu saja pihak pembelinya.
KPK bahkan harus
dengan lantang menyebutkan apakah ini memang permainan korporasi besar di
balik upaya pembelian kebijakan publik.
Artinya, inilah
saatnya bagi KPK dan para pemerhati hukum kembali melakukan pengayaan perihal
pertanggungjawaban korporasi di dalam kasus korupsi.
Kita sudah punya
aturan tanggung jawab pidana korporasi tetapi masih sangat jarang dipakai dan
dipergunakan, padahal sering kali terlihat dalam aroma pidana korporasi.
Kasus kejahatan kerah
putih korupsi ialah separuh peta jalan untuk menghilangkan kejadian serupa
terulang. Inilah saatnya untuk menyelesaikannya. Dalam kasus ini, tentu saja
kebijakan reklamasi itu, permainan petinggi partai politik serta politisasi
kebijakan publik dan korporasi nakal yang merusak negara. Kita semua menanti
penyelesaiannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar