Bima
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 03 April
2016
Dalam pewayangan, Bima
adalah nomor dua dari lima bersaudara Pandawa. Seperti tokoh-tokoh wayang
lainnya, Bima juga punya banyak nama alias, di antaranya yang terkenal adalah
Bratasena, Werkudara, dan Kusumayuda atau Kusumadilaga.
Dua yang terakhir
berarti bunga peperangan atau pahlawan perang (”kusuma” artinya bunga, ”yuda”
atau ”laga” artinya perang) dan yang diperangi oleh para Pandawa adalah
kemungkaran, kebatilan, dan kejahatan. Werkudara, nama lain Bima, berarti
perut serigala, yaitu perut yang dalam istilah anak muda sekarang dinamakan six pack, kencang, berotot, dan tampak
seperti enam kotak, tiga di kiri dan tiga di kanan, jauh dari gendut.
Adapun tubuh Bima
paling tinggi besar di antara saudara-saudaranya. Bahkan di antara semua
sosok wayang kulit yang dijejer di layar (pekayon), sosok Bima paling
menonjol. Di antara senjatanya yang sakti adalah Gada Rujakpala yang bisa
menghancurkan kepala raksasa sebesar gunung dan Kuku Pancanaka yang melekat
di kedua ibu jari tangannya yang mampu memburaikan usus dari perut penjahat
yang paling sakti sekalipun.
Yang juga menjadi ciri
khas Bima adalah bahwa dia tidak bisa berbahasa Jawa kromo (halus, tingkat
tinggi), apalagi kromo inggil (tingkat bahasa Jawa tertinggi yang biasanya
diucapkan hanya kepada raja atau orang yang sangat dihormati). Bima hanya
bisa berbahasa Jawa ngoko, yaitu bahasa Jawa kasar, tingkat rendah yang biasa
digunakan oleh sesama pemulung di Solo atau oleh bangsawan terhadap hamba
sahayanya.
Bahkan kepada Dewa
yang turun dari kayangan Bima berbicara ngoko, sementara semua tokoh wayang
yang lain, termasuk kakaknya, Yudhistira (sulung dari Pandawa) dan Batara
Kresna (manusia setengah dewa, penasihat Pandawa) berbahasa kromo inggil
kepada sang Dewa. Tapi tidak ada yang marah kepada Bima, apalagi membully dia
melalui Twitter karena semua orang tahu bahwa Bima berhati lembut, baik hati,
welas asih kepada yang lemah, membela orang kecil, dan yang terpenting Bima
selalu berbicara apa adanya, selalu jujur, tidak pernah berbohong, tidak
pernah ”menusuk dari belakang”.
Bahkan dalam lakon
Bale sigala-gala Bima menangis sampai mencucurkan air mata ketika menunggui
ibu dan saudara-saudaranya yang ketiduran berbantalkan batu karena kelelahan
ketika keluarga Pandawa diusir ke hutan selama 12 tahun oleh saudara- saudara
sepupu mereka para Kurawa.
Dalang kondang Ki
Narto Sabdo (almarhum) yang dianggap empu dari semua dalang menggambarkan
Bima dalam pocapan -nya (kalimat indah untuk memperkenalkan sosok atau
menggambarkan situasi tertentu) dengan kata-kata, ”Yen atos kaya waja, yen
lemes kaya kinarya tali” (kalau keras bagaikan baja, tetapi kalau lemah
lembut bagaikan tali). Jadi Bima ini memang salah satu tokoh yang luar biasa
dalam dunia pewayangan, khususnya dalam kisah Mahabarata. Walau demikian, itu
belum segalanya.
Yang paling inti dari
kepribadian Bima adalah pencarian Bima untuk menemukan, bertemu dan berdialog
dengan Yang Maha Tahu. Ia ingin mencari tahu siapa dirinya dan ingin mencari
kebenaran yang paling sejati. Maka Bima pun berangkat melanglang buana untuk
memenuhi rasa penasarannya. Waktu itu belum ada Transjakarta, apalagi pesawat
Garuda, jadi dia cuma mengandalkan langkahnya yang secepat angin karena Bima
adalah titisan Betara Bayu (Dewa Angin).
Singkat cerita,
setelah kelelahan dan hampir putus asa, akhirnya Bima menemukan apa yang
dicarinya di dasar samudra yang terdalam, yaitu suatu sosok bernama Dewa
Ruci, yang ternyata sangat mirip dengan dirinya, tetapi dalam versi mini.
Ternyata Bima sebenarnya tidak perlu jauh-jauh mencari karena Dewa Ruci itu
adalah hati nurani sendiri.
Sebagai penggemar
wayang, dalam konstelasi politik menjelang Pilgub DKI saat ini, saya jadi
teringat kepada sosok Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama atau BTP (seperti
wayang, namanya pun pakai banyak alias). Kebetulan BTP ini bertubuh tinggi
besar. Di antara kerumunan, BTP paling mudah dikenali karena kepalanya paling
mencuat di antara yang lainnya. Badannya pun atletis.
Ngomongnya juga kasar
dan keras. Kadang-kadang bahkan katakata jorok keluar dari mulutnya, yang
ditujukan kepada orangorang atau anak buahnya yang curang, tidak jujur,
menipu, pokoknya jahatlah, tetapi membuat orang lain yang mendengar (yang
bukan sasaran kemarahan BTP) ikut merahpadam mukanya dan degdegan jantungnya.
Berkalikali kawan-kawannya menasihati BTP untuk mengendalikan mulutnya,
tetapi tidak mempan, bahkan di suatu acara live show di TV, saking marahnya
kepada orang-orang tertentu, BTP mengucapkan kata-kata paling kotor sedunia
yang membuat saya pun terkaget-kaget menontonnya dari rumah.
Tapi itulah BTP alias
Ahok. Tidak banyak yang bisa kita perbuat untuk mengubahnya. Walau demikian,
BTP punya ciri ke-Bima-an seperti yang diucapkan empu dalang Ki Narto Sabdo,
”Yen atos kaya waja, yen lemes kaya kinarya tali.” Betapa tidak. Untuk warga
DKI yang terpaksa kena gusur karena program bebas dari banjir seperti di
Kampung Pulo dan Kalijodo, BTP selaku gubernur Pemprov DKI menyiapkan
unit-unit di rumah susun untuk menampung mereka.
Menampung bukan
sekadar menampung, tetapi menyiapkan hunian yang layak, lengkap dengan
perizinan sampai perabotan rumah. Bukan itu saja, ia mengumrahkan para takmir
(pengurus) masjid se-DKI, padahal BTP sendiri bukan muslim. Bahkan terhadap
agama sendiri dia tidak hanya membeo. Dia kritik ajaran atau kebiasaan
agamanya yang menurut dia salah. Karena ukuran moral, ukuran baik-buruk untuk
BTP adalah hati nurani sendiri.
Persis seperti Bima
dengan sang Dewa Rucinya. Mungkin hanya istrinya yang tahu apakah BTP juga
menangis pada malam hari ketika melihat masih banyak warga Jakarta yang masih
menderita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar