Kebijakan Pertumbuhan
YB Suhartoko ;
Kepala Program Studi Ekonomi
Pembangunan Keuangan dan Perbankan, FEB Unika Atma Jaya Jakarta
|
KOMPAS, 18 April
2016
Beberapa waktu lalu,
suku bunga acuan Bank Indonesia diturunkan dari 7,5 persen menjadi 6,75
persen. Selain itu, juga dilakukan penurunan giro wajib minimum atau GWM dari
7,5 persen menjadi 6,5 persen. Harapan penurunan itu adalah target penurunan
suku bunga kredit di bawah 10 persen, yang selanjutnya dapat memacu investasi
sehingga dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan fiskal yang
dilakukan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada saat ini juga
diharapkan lebih ekspansif. Pertanyaannya, mampukah kebijakan fiskal
dilakukan lebih ekspansif dan realistiskah target penurunan suku bunga di
bawah 10 persen?
Kebijakan fiskal ekspansif
Hampir semua negara di
dunia, termasuk negara-negara maju, konsumsi merupakan penyumbang terbesar
dalam pendapatan nasional (PDB). Badan Pusat Statistik menyatakan, kontribusi
konsumsi rumah tangga terhadap PDB sampai dengan kuartal IV-2015 sebesar
56,64 persen. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) menempati urutan kedua
dalam kontribusi terhadap PDB sebesar 34,97 persen. Keeratan hubungan antara
konsumsi rumah tangga dan investasi swasta menimbulkan kekhawatiran terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pelambatan ekonomi 2015 yang masih berlanjut pada 2016
akan menyulitkan dunia usaha melakukan investasi, bahkan disinyalir telah
terjadi pengurangan tenaga kerja di sektor riil. Dampaknya adalah penurunan daya
beli rumah tangga yang selanjutnya berdampak kembali ke pertumbuhan
investasi, dan akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan.
Masih ada dua sektor
lain yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu ekspor dan pengeluaran
pemerintah. Di tengah melemahnya harga komoditas serta menurunnya permintaan
negara mitra dagang, sulit mengharapkan ekspor menjadi penggerak pertumbuhan
ekonomi. Pengeluaran pemerintah saat ini sangat dibutuhkan untuk mendongkrak
pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur menjadi sesuatu yang relevan
dan harus dilakukan. Pengeluaran pemerintah ini dalam jangka pendek dapat
memberikan efek pengganda (multiplier) bagi konsumsi dan investasi.
Dalam jangka menengah
dan panjang, pembangunan infrastruktur yang lebih merata dengan berorientasi
ke daerah dapat memacu lebih cepat pertumbuhan sektor industri. Persoalannya
adalah konsistensi dan kemauan pemerintah dalam melakukan kebijakan. Periode
1994-1997, porsi anggaran infrastruktur mencapai 7,5 persen PDB, setelah itu
kurang dari 3 persen. Tahun 2015 dan 2016 menunjukkan peningkatan. Dari sisi
koefisien infrastrukturnya, efek tambahan 1 persen anggaran terhadap PDB
Indonesia cukup rendah, sebesar 0,17 persen, dibandingkan Tiongkok 0,33
persen dan India 0,21 persen.
Persoalan pembiayaan
juga menjadi kendala pembiayaan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur.
Tahun 2015, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 1.055 triliun atau sekitar
81,5 persen dari target Rp 1.294,25 triliun dalam APBN Perubahan. Dengan
kondisi ekonomi relatif tak berbeda dengan 2015, target pajak Rp 1.360,1
triliun sulit terealisasi. Target pajak yang realistis sekitar Rp 1.200
triliun dengan mengasumsikan pertumbuhan penerimaan pajak sekitar 10 persen
dari realisasi. Sumber pembiayaan lain, utang pemerintah, mesti lebih
ekspansif.
Berpedoman pada aturan
fiskal (fiscal rules) yang mengacu kepada Maastricht Treaty tahun 1992,
defisit APBN dan utang pemerintah kotor tak boleh melebihi 3 persen dan 60
persen dari PDB. Tahun 2015, defisit APBN kita sekitar 2,8 persen dari PDB,
sedangkan rasio utang pemerintah dan swasta masih dalam aman, sekitar 34,9
persen dari PDB, yang berarti juga rasio utang pemerintah terhadap PDB lebih
kecil lagi. Berdasarkan data tersebut, tampaknya ada ruang untuk meningkatkan
utang luar negeri untuk pembiayaan yang produktif. Peningkatan utang
pemerintah dapat menjadi pertimbangan pembiayaan infrastruktur dengan
peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan utang pemerintah yang
dibarengi dengan manajemen pengelolaan dan pengawasan yang baik akan
mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan. Inilah yang menjadi tugas dari
pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam pengelolaan APBN.
Kebijakan moneter ekspansif
Turunnya suku bunga
acuan BI menjadi 6,75 persen pada 18 Februari 2016 dan turunnya GWM dari 7,5
persen menjadi 6,5 persen pada 16 Maret 2016 merupakan langkah ekspansif yang
dimotori BI untuk menggerakkan sektor riil melalui jalur kredit dengan target
suku bunga kredit di bawah 10 persen. Persoalannya adalah apakah mekanisme transmisinya
berjalan dengan mulus dengan mengacu pada kondisi perbankan terakhir.
Mekanisme transmisi yang diharapkan melalui turunnya suku bunga acuan akan
mendorong penurunan suku bunga simpanan dan selanjutnya mendorong penurunan
suku bunga kredit, suku bunga surat berharga lain. Penurunan suku bunga
kredit akan meningkatkan investasi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi yang
berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan.
Respons perbankan
terkait dengan penurunan suku bunga acuan berhubungan dengan kemampuan bank
menekan biaya dana pihak ketiga (DPK). Jika DPK berbiaya mahal, mekanisme
transmisi penurunan suku bunga simpanan tidak akan berjalan lancar. Selain
itu, premi risiko yang ditetapkan secara subyektif oleh manajemen perbankan.
Data statistik
perbankan Indonesia pada 2014 dan 2016 menunjukkan, DPK didominasi deposito
berjangka sebesar Rp 1.369.195 miliar atau sekitar 44,59 persen dari total
DPK. Tahun 2015 meningkat menjadi Rp 2.029.513 miliar atau sekitar 45,99
persen dari total DPK. Persoalan ini akan diperberat jika deposito berjangka
didominasi nasabah-nasabah utama dengan jumlah simpanan besar. Karakteristik
nasabah seperti ini cukup elastis terhadap suku bunga. Deposito-deposito yang
akan jatuh tempo dapat saja berpindah ke investasi tak langsung yang tak
produktif di pasar sekunder. Jika hal ini yang terjadi, dapat dipastikan
perbankan akan kekurangan likuiditas sehingga kemampuan menghasilkan kredit
berkurang dan tentu saja peningkatan investasi yang diharapkan tak akan terjadi.
Suku bunga kredit dan struktur perbankan
Penurunan suku bunga
merupakan sesuatu yang harus disikapi positif, tetapi persoalannya adalah
apakah penurunan suku bunga kredit di bawah 10 persen cukup realistis jika
dilihat dari sisi cost of fund (biaya dana). DPK yang didominasi dana
berbiaya mahal akan menghasilkan biaya dana yang tinggi pula. Selain
dipengaruhi biaya dana, penentuan base lending rate (suku bunga kredit) juga
dipengaruhi cost of loanable fund (biaya dana yang dapat dipinjamkan), spread,
biaya overhead, dan premi risiko.
Biaya dana yang dapat
dipinjamkan ditentukan juga oleh cadangan wajib minimum (reserve
requirement/RR) yang ditentukan oleh BI. Walaupun dampaknya tidak begitu
besar terhadap penurunan biaya dana yang dapat dipinjamkan, kebijakan
pemerintah menurunkan RR ataupun GWM dapat dilakukan.
Penentuan spread
adalah selisih antara biaya dana dan tingkat bunga kredit. Secara sederhana,
penghitungan spread adalah perkiraan keuntungan dibagi rata-rata proyeksi
penyaluran kredit. Kondisi ini menunjukkan spread sama sekali di luar kendali
pemerintah dan sangat dipengaruhi kinerja perbankan. Komponen berikutnya
dalam suku bunga kredit adalah biaya overhead, yaitu semua biaya yang
dikeluarkan bank dalam kegiatan penghimpunan dana. Biaya ini jelas di luar
kendali pemerintah untuk mengaturnya dan sangat tergantung efisiensi
perbankan. Selanjutnya yang juga menentukan adalah premi risiko yang sangat
ditentukan oleh kualitas piutang perbankan. Semakin sedikit kredit macet,
semakin kecil premi risiko. Peran pemerintah dalam hal ini adalah pengawasan
kinerja kredit perbankan.
Penurunan suku bunga
kredit mempunyai celah untuk direalisasikan dari sudut pandang struktur pasar
industri perbankan Indonesia yang cenderung oligopolis dengan kepemimpinan
harga. Struktur perbankan Indonesia dari sisi DPK didominasi Bank BUKU 4
(modal intinya di atas Rp 30 triliun). Bank-bank tersebut tiga adalah bank
BUMN (Mandiri, BRI, dan BNI 1946) dan satu bank swasta nasional (BCA).
Keempat bank itu menguasai sekitar 46 persen DPK di seluruh perbankan
Indonesia. Struktur pasar oligopolis model kepemimpinan mempunyai potensi
penurunan suku bunga yang dimotori bank-bank BUMN yang akan diikuti bank-bank
lain. Model seperti "Gebrakan Sumarlin" untuk menambah likuiditas
di perbankan dapat membantu mendorong "keberanian" bank-bank itu
menurunkan suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. Penambahan likuiditas
berbiaya murah memberi sinyal beban penurunan suku bunga tak hanya di pundak
BUMN perbankan, tetapi juga BUMN secara keseluruhan.
Kredit yang akan
disalurkan oleh perbankan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kredit
kepada sektor yang produktif yang mempunyai multiplier besar. Data statistik
perbankan Indonesia menunjukkan, pada kuartal IV-2014 dan 2015, penyaluran
kredit ke sektor rumah tangga menempati urutan pertama masing-masing 22,66
persen dan 22,58 persen. Kredit ke sektor rumah tangga pada umumnya kredit
konsumsi yang kurang produktif. Urutan kedua adalah perdagangan besar dan
eceran sebesar 19,51 persen dan 19,53 persen. Sektor perdagangan besar dan
eceran tak berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Industri pengolahan
yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi menempati urutan ketiga, sebesar
17,98 persen pada kuartal IV-2014 dan 18,73 persen pada kuartal IV-2015.
Sementara penyaluran kredit di sektor lain, seperti pertanian, pertambangan,
listrik, gas, dan air, serta konstruksi, kurang dari 5 persen. Tampaknya,
dalam jangka menengah dan panjang, perlu semacam perangkat insentif untuk
mendorong penyaluran kredit di sektor-sektor produktif industri pengolahan
yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter tetap harus
dilakukan. Persoalan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif mau tidak mau
harus dilakukan dengan meningkatkan sumber penerimaan APBN berupa utang
pemerintah yang masih mempunyai celah untuk ditingkatkan. Dari sisi kebijakan
mendorong penurunan suku bunga kredit melalui kebijakan moneter, memang tak
bisa terjadi dalam jangka pendek peran kinerja dan efisiensi perbankan serta
pilihan investasi nasabah perlu mendapat perhatian tersendiri, tetapi
struktur pasar kredit perbankan yang oligopolis dalam kepemimpinan harga
menjadi celah untuk memperlancar mekanisme penurunan suku bunga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar