OKI dan Manuver Saudi
Musthafa Abd Rahman ;
Wartawan KOMPAS, di Mesir Kairo
|
KOMPAS, 18 April
2016
Sudah diduga, konflik
sengit Iran-Arab Saudi saat ini akan mewarnai jalannya dan hasil Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Ke-13 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul,
Turki, yang telah berakhir Jumat (15/4) lalu. Deklarasi Istanbul, hasil KTT
OKI itu, mencerminkan posisi hegemoni Arab Saudi saat ini di dunia Islam dan
Arab.
Arab Saudi dengan
kekayaannya akhir-akhir ini memang merancang memegang kendali dunia Arab dan
Islam, untuk kemudian dikondisikan sebagai jaringan kekuatan melawan musuh
bebuyutan regionalnya, Iran. Arab Saudi pun cukup berhasil mengooptasi
panggung KTT OKI di Istanbul untuk kepentingan geopolitiknya tersebut.
Sedikitnya 5 dari 218
butir yang tertuang dalam Deklarasi Istanbul mengecam intervensi Iran dan
Hezbollah di sejumlah negara Arab. Hal itu yang memaksa Presiden Hassan
Rouhani dan delegasi Iran pada forum KTT OKI itu memilih walk out dari arena
sidang ketika Deklarasi Istanbul hendak dibacakan.
Sebagian besar media
massa di sejumlah negara Arab pro Arab Saudi edisi hari Sabtu lalu menurunkan
berita utama berjudul "KTT OKI Kecam Intervensi Iran dan
Hezbollah". Forum OKI pun sudah serta-merta seperti Liga Arab dan Dewan
Kerja Sama Teluk (GCC), yang menjadi panggung untuk mengecam intervensi Iran
dan Hezbollah. Bahkan, Liga Arab dan GCC pada awal Maret lalu telah
menetapkan Hezbollah sebagai organisasi teroris.
Pemerintah Mesir
menjelang kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz ke Kairo, 7-11
April lalu, membatalkan sewa stasiun televisi Al-Manar milik Hezbollah atas
satelit NileSat milik Mesir. Hal itu bisa menghentikan siaran televisi
Al-Manar sebelum menemukan tempat sewa satelit baru.
Sungguh ironis, forum
KTT OKI bukannya diberdayakan untuk ajang rekonsiliasi, tetapi dimanfaatkan
oleh suatu negara untuk menggebuk negara lawan politiknya.
Turki, sebagai tuan
rumah KTT OKI, tampak membiarkan aksi manuver Arab Saudi menggunakan forum
KTT itu untuk menyerang Iran dan Hezbollah. Turki dan Arab Saudi kini memang
berada dalam satu barisan dalam upaya menumbangkan rezim Presiden Bashar
al-Assad di Suriah.
Sebaliknya, Iran dan
Hezbollah berjuang mati-matian mempertahankan rezim Presiden Assad. Bahkan,
milisi Hezbollah dan satuan pasukan elite Iran dari Brigade 65 kini sedang
terlibat pertempuran sengit dengan milisi oposisi dukungan Turki dan Arab
Saudi di Aleppo dan sekitarnya.
Karena itu,
pertempuran di Aleppo ikut berandil besar pula dalam memengaruhi hasil KTT
OKI tersebut. Jarak antara Istanbul dan Aleppo cukup dekat, bisa ditempuh
hanya satu jam perjalanan dengan pesawat terbang, seperti jarak
Jakarta-Surabaya. Maka, maklum saja, secara psikologis bunyi tembakan
artileri dan serangan udara pesawat tempur di Aleppo cukup terasa di kota
Istanbul.
Karena itu juga, lain
Istanbul, lain pula Jakarta. Pemerintah Indonesia dalam forum KTT Luar Biasa
OKI di Jakarta pada awal Maret lalu cukup berhasil menggiring KTT tersebut
fokus membahas isu Palestina, sesuai dengan agenda. Arab Saudi tampak tidak
bermain di KTT Luar Biasa OKI di Jakarta.
Namun, Pemerintah
Indonesia tidak bisa lagi meletakkan isu Palestina menjadi perhatian utama
dalam forum KTT OKI di Istanbul karena berhadapan dengan kepentingan negara
besar di kawasan, yaitu Arab Saudi.
Maka dipertanyakan,
masa depan nasib Deklarasi Jakarta yang dihasilkan KTT Luar Biasa OKI di
Jakarta pasca keluarnya Deklarasi Istanbul. Deklarasi Jakarta adalah cermin
dari kebijakan politik Indonesia. Adapun Deklarasi Istanbul adalah hasil
manuver Arab Saudi yang didukung Turki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar