Jumat, 08 April 2016

GBHN dan Konsep Pembangunan

GBHN dan Konsep Pembangunan

Daoed Joesoef ;   Alumnus Universite Pluridisciplinaires Panthenon-Sorbonne
                                                        KOMPAS, 07 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan ini ramai dibicarakan rasionale pemberlakuan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara. Ia dipicu ketidakpuasan terhadap kinerja dan konsep pembangunan nasional yang dianggap bergonta-ganti sesuai visi negarawan yang sedang berkuasa.

Bagaimana mungkin kita mengultuskan ide Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bila pembangunan yang mengecewakan itu bersumber pada keterbatasan pengertian dari GBHN itu sendiri. Pengertiannya tidak mencakup, mengabaikan, satu faktor penting yang juga memerlukan panduan bagi perkembangannya yang ideal. Pengabaian yang tidak disadari oleh perumus awalnya, siapapun dia, membuat pengertian GBHN misleading begitu rupa hingga menjadi salah kaprah, suatu kekeliruan mencetuskan kekeliruan lain dan demikian seterusnya. Anomali inilah yang kiranya hendak diingatkan Aristoteles dengan mengatakan bahwa kesalahan kecil menjadi besar bila dibiarkan berlarut-larut.

Proklamasi kemerdekaan yang dinyatakan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945 berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Karena itu, ada kesan bahwa proklamasi kemerdekaan hanya melahirkan bangsa, yaitu Bangsa Indonesia. Negara tidak disebut secara eksplisit menurut namanya, tetapi disinggung secara tersirat dalam kalimat "... Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan..." Yang dimaksud dengan ungkapan "hal-hal" tadi adalah Negara, karena kenyataan memang menunjukkan bahwa pemindahan yang dilakukan dengan saksama dalam waktu yang sesingkat mungkin itu adalah penguasaan terhadap negara, baik yuridis maupun administratif. Dengan kata lain, yang dilahirkan proklamasi kemerdekaan kita bukan hanya "bangsa", tetapi "Negara-Bangsa", dua entitas yang punya pengertian berbeda, tetapi tak terpisahkan, bagai lepat dengan daun.

"Negara" adalah bangsa yang terorganisasi. Justru "Bangsa" ini luput dari pengertian yang dicakup istilah GBHN. Seharusnya dengan sadar dan sengaja ia dirumuskan selaku Garis-garis Besar Haluan Negara-Bangsa (GBHNB). Bukankah yang namanya "bangsa" bisa mengorganisasikan "negara" dalam bentuk apa saja sesuai dengan impian kemerdekaannya. Negara adalah suatu imagined community, sedangkan bangsa adalah "kelompok manusia yang mengimajinasikannya". Jadi, dalam berimajinasi itu bangsa-bangsa yang bersangkutan memerlukan juga suatu panduan demi pengarahan pembentukannya yang ideal.

Pengarahan pembentukan bangsa yang ideal itu memang diniscayakan. Menurut ajaran Ernest Renan (1882), pengertian "bangsa" bukan deskriptif. Suatu bangsa bukanlah satu fakta. Ia berupa suatu status nascendi yang permanen. Menurut naturnya ia selalu in potentia, tidak pernah in acru. Istilah bangsa bukan menyatakan keadaan, tetapi suatu gerakan, suatu usaha, suatu kemauan, "une volonté d'être ensemble", the will to be together.

Jadi, panduan dalam proses berbangsa juga diperlukan, tak hanya panduan dalam bernegara. Karena itu, GBHNB bukan GBHN saja.

Kalau syarat bernegara cukup dengan punya wilayah dan berpenduduk (population), suatu bangsa demi eksistensinya butuh citizen (warga bangsa). Dengan kata lain suatu negeri, negara, adalah bagai sebuah "hotel", berupa satu lokalitas fisik. Keberadaannya memerlukan penghuni (penduduk). Bangsa bukan sekadar lokalitas fisik. Eksistensinya butuh citizen. Berarti suatu pemerintahan yang mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang (maunya) demokratis harus bisa berfungsi sekaligus sebagai pelayan, servant, dan pembimbing (tutor), karena kewarganegaraan adalah suatu alam pikiran dan keadaan kejiwaan, citizenship is a mindset and a state of the soul.

Upaya kolektif isi kemerdekaan

Kalau melalui pemberlakuan kembali GBHN kita hendak mengembalikan kedaulatan rakyat, kita menyinggung ide demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena itu, ide pemerintah sebagai pembimbing tidak hanya sekadar pelayan, menjadi krusial, lebih-lebih saat demokrasi tidak lagi bisa dibuat langsung, seperti pada pertumbuhan awalnya dulu di Athena pada zaman Yunani purba.

Penduduk tidak dengan sendirinya menjadi warga Negara-Bangsa, apalagi warga di alam demokrasi. Dia baru merasa turut memiliki republik setelah merasa dirinya diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan keturunan, suku, agama dan kepercayaan, warna kulit, kedudukan sosial.

Dahulu orang mengira bahwa untuk merasa tergolong pada Negara-Bangsa rakyat cukup puas dengan turut menikmati perlindungan dan kemakmurannya. Di zaman modern sekarang, ide ketergolongan meliputi dimensi tambahan, berupa partisipasi dalam pemerintahan yang intinya adalah turut mengambil keputusan. Peluang bagi partisipasi tersebut sebenarnya terbuka dalam kerja kolektif besar-besaran yang disebut "pembangunan nasional".

Berarti rakyat akan merasa bermartabat selaku citizen kalau sistem pembangunan dikonsepkan begitu rupa di mana sang rakyat itu sendiri diminta turut membicarakan setiap proyek pembangunan -pusat atau daerah-yang berlokasi di wilayah pemukimannya. Dia sendiri harus hadir, tak boleh mewakilkan atau diwakili, turut bermusyawarah, ikut bermufakat memutuskan. Jadi, di level akar rumput ada demokrasi langsung, katakanlah suatu demokrasi kontinu, di saat berlaku demokrasi tak langsung di level nasional. Jika ada kesan penduduk lokal yang bersangkutan tidak cukup tercerahkan untuk berdemokrasi langsung, obatnya bukanlah membatalkan hak partisipasinya, melainkan mencerdaskannya melalui bimbingan formal, yang berarti pemerintah menjalankan fungsinya selaku tutor.

Pembangunan nasional sebenarnya sudah dipikirkan juga oleh para pendiri Negara-Bangsa kita. Aksi besar-besaran ini dikualifikasi sebagai upaya kolektif mengisi kemerdekaan. Kata kerja "mengisi" ini lagi-lagi menimbulkan suatu model mental (gambaran) yang keliru, yaitu kemerdekaan sebagai sebuah wadah yang sudah mapan, tinggal diisi karena masih kosong. Padahal, pembangunan nasional itu justru untuk mengukuhkan wadah tersebut agar bisa berfungsi sewajarnya.

Kekeliruan lain, yang tidak kalah fatal, menyusul ketika pembangunan nasional ditransformasikan menjadi pembangunan ekonomi kaum teknokrat. Walaupun lembaga formal yang ditugasi mengurus pembangunan nasional tidak diubah namanya, yaitu "Badan Perencanaan Pembangunan Nasional" (Bappenas), pembangunan Negara-Bangsa diwujudkan berdasarkan hukum-hukum ekonomika pure and simple dengan asumsi-lagi-lagi keliru-bahwa pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan kenaikan pendapatan (PNB, PDB, rata-rata pendapatan) adalah bagai air pasang yang serentak mengangkat semua perahu sama-sama ke level yang lebih tinggi. Ternyata hasilnya tidak demikian. Terjadilah urbanisasi, penggundulan hutan, spesies liar menghilang bersamaan dengan degradasi lingkungan, sedangkan rakyat lokal tetap menjadi penonton pasif, bukan peserta aktif pembangunan. Tentu saja timbul kekecewaan, tidak hanya individual, tetapi meluas bagai tetesan minyak. Kalau begini, dunia seperti apa yang bakal kita wariskan kepada anak cucu?

Pemunculan "Yayasan Raja Sultan Nusantara" (Yarastra), "Ikatan Cendekiawan Keraton Nusantara", dan "Aliansi Masyarakat Adat Nusantara" (AMAN) adalah manifestasi dari kekecewaan kolektif tadi. Mereka bukan berniat menghidupkan kembali sistem feodalisme prakemerdekaan. Namun, bagaimana mereka tidak tampil reaktif kalau mereka melihat bagaimana politikus parpol yang berpretensi sebagai kampiun demokrasi (baca: kerakyatan) berusaha membentuk monarki baru, kedinastian keluarga keturunan tokoh besar nasional, yang merasa "by the grace of God" ditakdirkan memimpin negara terus-menerus.

Bagaimana aliansi adat se-Nusantara tidak tampil reaktif kalau menyaksikan kearifan lokal nenek moyang disepelekan begitu saja. Dahulu manifestasi kekecewaan terhadap pembangunan "diamankan" melalui operasi militer karena dianggap sebagai gerakan separatis. Memang pemerintah pusat "menang", tetapi telah meninggalkan bekas luka yang menonjol, sulit untuk dilupakan dengan janji-janji muluk baru.

Penyempurnaan GBHNB

Nah, apa sekarang perlu diberlakukan kembali GBHN? Tergantung. Tergantung pada apakah kita, setelah menyadari kekurangan fatalnya, bersedia menyempurnakannya menjadi GBHNB. Dalam melakukan penyempurnaan itu kita perlu menyadari sedang membuat suatu prediksi sebagai landasan pembangunan jangka panjang. Sedangkan membuat prediksi sendiri menurut Niels Böhr tak gampang, khususnya prediksi mengenai masa depan. Apakah dasar moral yang membenarkan kita menghalangi anak-cucu untuk berbuat sesuatu yang sesuai dengan pembawaan khas zamannya yang luput dari prediksi kita itu?

Moral adalah penjembatanan antara pikiran dan perbuatan, antara niat dan pelaksanaan niat. Baik niat maupun pelaksanaannya bisa terpuji kalau dilakukan tanpa pamrih material, tetapi dengan pertimbangan nurani, sarat dengan idealisme. berarti kaum intelektual yang terutama terpanggil untuk menyusun GBHNB karena, per definisi, mereka adalah orang-orang yang bukan mata duitan apalagi penjilat, bukan pemburu imbalan material, tidak rakus jabatan formal. Imbalan perbuatannya adalah kepuasan batin karena sudah berbuat seperti yang diharapkan orang-orang awam dari mereka, berupa kebajikan kepada komunitas di mana mereka tergolong, kepada sesama manusia.

Bila mereka menampik harapan tersebut, dengan alasan apa pun, terjadilah apa yang pernah dikecam Julien Benda (1927), sebagai "la trahison des clercs" - the betrayal of the intelectuals, pengkhianatan para intelektual.

GBHNB ini harus berupa satu konsep pembangunan yang berkelanjutan yang bertujuan tidak sekadar menambah plus-value-of-things (income), tetapi lebih-lebih meningkatkan nilai tambah manusia (to be more, penyempurnaan diri, diuwongke). Meningkatkan nilai lebih manusia dilakukan pula oleh pemerintah melalui fungsinya sebagai tutor, dengan jalan membangun jiwa jauh lebih dahulu daripada membangun badan sebagaimana yang dinarasikan himne nasional "Indonesia Raya". Dengan kata lain kita perlu menguasai keterampilan bernegara-bangsa sebagai kemahiran berjiwa-nation-statecraft as soulcraft.

"To govern is to foresee". Seorang negarawan sejati adalah pemimpin yang bisa mengatakan kepada orang-orang (rakyat) yang dipimpinnya apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka sebelum mereka menyadarinya sendiri. Karena itu, memang perlu kebebasan bagi calon presiden kita, selama kampanye pemilihan, memaparkan kebijakan-kebijakan apa yang akan diambilnya bila terpilih. Bukankah semua kebijakan itu berlaku hanya selama masa jabatannya. Kalau kita memang tulus menegakkan kembali kedaulatan rakyat, ya, biarkan rakyat memilih/memutuskan berdasarkan kedaulatannya itu.

Namun, harus kita akui bahwa sebagian besar, kalau tidak terbesar, pemilih tersebut terdiri atas para warga yang berpendidikan rendah, nyaris buta politik karena waktunya habis disita dengan kegiatan mencari nafkah, hidup di bawah garis kemiskinan, cukup terbujuk memilih kandidat hanya dengan imbalan baju kaos oblong. Begitu rupa hingga negarawan dan politikus korup masih bisa cuap-cuap, masih dielu-elukan bahkan dicium tangannya. Kondisi kita yang pasti dewasa ini adalah bahwa batas limit potensi kekayaan bumi kita masih jauh di depan. Namun, kita terhenti, mati langkah, karena sudah mentok di batas limit keintelektualan kita. Ini jelas menjadi tantangan utama yang harus bisa dijawab oleh pendidikan nasional kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar