Jumat, 08 April 2016

Bidang Ilmu di Perguruan Tinggi

Bidang Ilmu di Perguruan Tinggi

Amich Alhumami ;   PhD Bidang Antropologi Lulusan University of Sussex, Inggris; Bekerja di Kementerian PPN/Bappenas
                                                        KOMPAS, 07 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perguruan Tinggi memiliki dua peran pokok: (1) memberikan layanan pendidikan bagi penduduk usia muda-produktif; dan (2) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui riset yang melahirkan invensi dan inovasi.

Kedua peran sentral ini berkaitan sangat erat dengan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi ditentukan, antara lain, oleh penduduk berpendidikan tinggi, berpengetahuan, memiliki keterampilan dan kemahiran teknis, serta menguasai teknologi.

Dalam konteks pembangunan ekonomi, Indonesia sedang tumbuh menjadi negara maju melalui transformasi struktural yang berlangsung sangat cepat. Transformasi struktural ini ditandai oleh perubahan struktur ekonomi, semula bertumpu pada pertanian lalu bergeser ke industri (manufaktur) dan jasa.

Kontribusi ketiga sektor itu pada produk domestik bruto (PDB) pun bergeser. Sektor pertanian terus turun. Data BPS (2014) menunjukkan, kontribusi menurut sektor adalah pertanian (14 persen), industri (21 persen), dan jasa (43 persen).

Peran sektor industri dan jasa yang kian dominan harus direspons perguruan tinggi dengan melahirkan SDM berkualitas, yang menguasai bidang ilmu tertentu yang diperlukan untuk mendukung pembangunan.

Bidang ilmu tak seimbang

Meski Indonesia negara agraris, pembangunan ekonomi kini justru berbasis pada industri dan jasa. Untuk itu, dibutuhkan tenaga kerja terdidik lulusan perguruan tinggi menurut bidang ilmu yang relevan guna menopang kegiatan ekonomi di sektor industri manufaktur, infrastruktur, dan jasa.

Tentu saja bidang ilmu yang relevan dan sangat dibutuhkan-untuk sebagian besar-adalah sains dan keteknikan. Namun, program studi menurut bidang ilmu yang dikembangkan di perguruan tinggi justru berkebalikan dengan tren perkembangan industri dan jasa.

Menurut data Forlap (2016) Kemenristekdikti, jumlah program studi yang ada di perguruan tinggi 23.747. Jumlah ini dikelompokkan ke dalam dua bidang ilmu: (i) sains-keteknikan yang mencakup, antara lain, MIPA, teknik, kedokteran, kesehatan, dan pertanian; dan (ii) ilmu-ilmu sosial-humaniora yang meliputi, antara lain, ekonomi, manajemen, politik, hukum, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan agama.

Jumlah program studi bidang sains-keteknikan lebih sedikit dibanding bidang ilmu sosial-humaniora, masing-masing 10.135 (43 persen) dan 13.611 (57 persen). Komposisi program studi menurut bidang ilmu ini jelas tak seimbang. Bahkan, jika dilihat dari jumlah mahasiswa menurut bidang ilmu pada tiap program studi, ketimpangan jauh lebih nyata lagi. Dari jumlah mahasiswa di seluruh perguruan tinggi sebanyak 5.228.561, yang menekuni bidang sains-keteknikan hanya 1.593.882 (30,5 persen), sedangkan yang menekuni bidang ilmu sosial-humaniora sebanyak 3.634.679 (69,5 persen).

Tak pelak sarjana-sarjana yang dihasilkan perguruan tinggi lebih didominasi mereka yang menekuni bidang ilmu-ilmu sosial-humaniora. Ketidaktepatan dalam mendesain komposisi program studi dan total student body menurut bidang ilmu telah memicu inflasi sarjana ilmu-ilmu sosial-humaniora.

Dalam konteks pasar kerja, terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan yang berdampak pada kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Sarjana ilmu-ilmu sosial-humaniora kelebihan pasokan, sedangkan sarjana sains-keteknikan justru mengalami peningkatan permintaan yang tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh perguruan tinggi.

Defisit sarjana teknik

Majalah terkemuka Inggris, The Economist (2015), merujuk data Persatuan Insinyur Indonesia (PII), mengulas dengan sangat terang bahwa dalam 10 tahun mendatang (2015-2025) Indonesia kekurangan insinyur rata-rata sekitar 15.000 per tahun. Pada periode antara tahun 2015-2020 dan 2020-2025, kebutuhan insinyur masing-masing sekitar 90.500 orang per tahun dan 129.500 orang per tahun.

Akan tetapi, perguruan tinggi hanya mampu menghasilkan sekitar 75.000 dan 120.000 orang. Data UNESCO Institute for Statistics (UIS, 2013-2015) menunjukkan rasio sarjana teknik per 1 juta penduduk di negeri ini sungguh rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, berturut-turut Indonesia (2.671), Malaysia (3.334), India (3.380), Thailand (4.421), dan Tiongkok (5.730). Bahkan, ilmuwan yang menekuni profesi sebagai peneliti jauh lebih sedikit lagi, tercermin pada rasio peneliti per 1 juta penduduk, berturut-turut Indonesia (1.070), Malaysia (2.590), Jepang (5.570), Singapura (7.115), dan Korea Selatan (8.105).

Kekurangan sarjana teknik berdampak nyata pada ketersediaan tenaga kerja berkeahlian khusus, terutama untuk sektor infrastruktur dan industri manufaktur. Ketika kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku pada Januari 2016, kekurangan sarjana teknik menjadi masalah sangat serius. Kini, mobilitas tenaga kerja antarnegara sudah terbuka sehingga Indonesia harus siap menerima kehadiran banyak insinyur dari negara-negara ASEAN untuk bekerja terutama di sektor infrastruktur.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah dan perguruan tinggi Indonesia, kecuali melakukan percepatan dalam menghasilkan sarjana-sarjana teknik. Kemenristekdikti dan perguruan tinggi harus mengambil kebijakan mendasar dengan mengubah proporsi program studi dan merancang jumlah mahasiswa antarbidang ilmu: sains-keteknikan dan sosial-humaniora. 

Tak ada superioritas

Mengubah proporsi program studi dan merancang jumlah mahasiswa menurut bidang ilmu sangat penting dilakukan agar lebih seimbang. Perubahan proporsi program studi ini sama sekali tidak berarti bahwa ada superioritas suatu bidang ilmu atas bidang ilmu yang lain. Kebijakan ini juga tidak mengindikasikan bahwa bidang ilmu sosial-humaniora merupakan subordinat bidang sains-keteknikan.

Langkah itu perlu ditempuh lebih karena pertimbangan pragmatis semata untuk mengatasi kekurangan sarjana teknik yang sangat dibutuhkan di sektor industri dan jasa sebagai tiang penyangga struktur ekonomi Indonesia.

Meski demikian, peran ilmu-ilmu sosial-humaniora tetap sangat penting dan sentral dalam konteks pembangunan nasional. Mengingat pembangunan berdimensi sangat luas dengan kompleksitas masalah yang sangat dalam pula, keterlibatan semua disiplin keilmuan mutlak diperlukan. Peran para ilmuwan Indonesia, terlebih lagi ilmuwan disiplin ilmu-ilmu sosial-humaniora, sungguh diperlukan. Para ilmuwan sosial-humaniora memiliki academic credentials yang sangat baik untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan dengan merujuk kredo ilmiah: knowledge for development.

Pertama,para ilmuwan sosial-humaniora bisa membuat analisis berdasarkan kajian ilmiah melalui penelitian empiris untuk memetakan masalah-masalah yang muncul di masyarakat dan menghimpun isu-isu strategis yang perlu diakomodasi dalam perencanaan pembangunan. Kajian ilmiah bisa dalam bentuk policy research yang memuat rekomendasi kebijakan untuk menangani problem-problem krusial dalam pembangunan.

Kedua, para ilmuwan sosial-humaniora juga bisa membuat analisis mengenai dampak negatif pembangunan di masyarakat. Para ilmuwan sosial-misal antropolog dan sosiolog-dapat memberikan masukan dan saran kebijakan agar dampak negatif proyek-proyek pembangunan dapat dihilangkan atau paling kurang diminimalisasi. Peran para ahli ilmu-ilmu sosial-humaniora sangat sentral untuk menunjukkan peta jalan agar pembangunan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Tidak diragukan, kedua bidang ilmu-sains-keteknikan dan sosial-humaniora-memiliki peran dan kontribusi yang sama dalam pembangunan. Kedua bidang ilmu sangat diperlukan menurut porsi masing-masing, yang tidak mungkin saling menggantikan satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar