"Aku" dan "Saya"
Indra Tranggono ;
Penulis Cerpen
|
KOMPAS, 16 April
2016
Seperti manusia,
bahasa Indonesia juga punya jiwa. Kita menjadi kenal jiwa bahasa ketika
menggunakannya. Kita harus tepat memilih kata karena di dalam komunikasi
lisan dan tulis ada etiket yang harus ditaati agar kita dianggap tidak
sombong atau tidak santun. Contohnya tersua di dalam penggunaan kata
"aku" dan "saya".
Presiden pertama RI,
Sukarno, sering menggunakan kata "aku" di dalam pidatonya yang
retoris dan memikat. Contohnya, "Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya
akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan
kuguncangkan dunia."
Sukarno menggunakan
kata "aku" karena ia ingin membangun hubungan yang akrab dan
egaliter dengan massa (rakyat). Selain itu, ia pun ingin tampil secara
otoritatif sebagai sosok pemimpin dan panutan rakyat. Otomatis posisi
sosialnya menjadi lebih tinggi daripada rakyat. Karena itu, ia merasa pantas
memberikan wejangan, nasihat, dan gemblengan kepada rakyat. Rakyat diposisikan
sebagai anak-anaknya secara politis dan ideologis.
Adapun kata
"saya" lebih sering digunakan Sukarno saat berpidato di depan para
pemimpin baik tingkat nasional maupun internasional. Tujuannya adalah
merendahkan diri dan menghormati orang lain yang tingkat status dan posisinya
setara atau lebih tinggi.
Ilustrasi itu
menunjukkan bahwa kata "saya" dan "aku" sesungguhnya
memiliki posisi sama, sama-sama kata ganti orang pertama tunggal. Namun, ada
beda di dalam jiwa dan penggunaannya. Kata "saya" yang berasal dari
"sahaya" memiliki arti "hamba". Sejatinya kata
"saya" merupakan penggalan kata majemuk "hamba sahaya".
Karena itu, kata "saya" tepat digunakan di dalam berkomunikasi
dengan orang yang lebih tua atau lebih tinggi status sosialnya. Contohnya,
"Saya berharap Bapak Guru berkenan menerima dan mendidik anak saya di
sekolah ini." Kalimat itu memberi muatan etis, santun, dan menimbulkan
suasana nyaman dalam komunikasi. Bandingkan jika kata "saya" dalam
kalimat itu diganti dengan "aku". Pasti timbul suasana tidak
nyaman.
"Aku" lebih
personal, lebih eksistensial, dan lebih otoritatif. Karena itu, Chairil Anwar
menggunakan kata "aku" dalam larik puisi, "aku ini binatang
jalang dari kumpulannya terbuang". Kalimat itu terasa heroik, gagah,
bergelora, penuh semangat pemberontakan atas kemapanan dan provokatif.
Bandingkan jika yang digunakan bukan "aku", tetapi
"saya", pasti puisi itu akan terasa lembek dan tidak menggugah
jiwa.
Kini tak sedikit anak
muda menggunakan kata "aku" di dalam berkomunikasi dengan orang
yang lebih tua atau berposisi sosial lebih tinggi. Di dalam forum-forum
diskusi pun anak-anak muda secara sengaja menggunakan kata "aku".
Misalnya, "Aku sengaja tidak memandang budaya tradisi sebagai entitas
penting karena bagi aku, budaya tradisi identik dengan masa lalu. Out of
date. Arkais. Kuno. Jadul."
Dengan menggunakan
kata "aku", anak-anak muda itu merasa lebih egaliter, lebih gagah,
lebih personal, dan lebih otoritatif. Yang tidak terbiasa mendengar kalimat
anak-anak muda itu otomatis menilai mereka sombong. Namun, yang sudah
terbiasa cenderung menganggap mereka tidak tahu etiket berbahasa atau sengaja
melabraknya demi menggempur feodalisme berbahasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar