Negara Besar Saja Tidak Cukup
James Luhulima ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 16 April
2016
Sewaktu mendengar ada
10 pelaut Indonesia diculik oleh Kelompok Abu Sayyaf dan dibawa ke Filipina,
sulit bagi kita untuk memercayai kebenaran berita itu. Ternyata, berita itu
memang benar. Pada 26 Maret lalu, kelompok Abu Sayyaf menculik awak kapal
tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12 berkebangsaan Indonesia yang berjumlah
10 orang dan menuntut uang tebusan Rp 14,3 miliar.
Reaksi pertama, bagaimana
mungkin Indonesia menerima perlakuan seperti itu? Bukankah pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), Indonesia sempat
menawarkan diri untuk membantu menengahi pertikaian di antara Pemerintah
Filipina di Manila dan kelompok-kelompok Muslim di bagian selatan Filipina,
termasuk Kelompok Abu Sayyaf yang bersembunyi di Pulau Sulu, pulau terpencil
di bagian selatan Filipina.
Dengan jumlah penduduk
Muslim terbesar di dunia, baik Indonesia sendiri maupun negara-negara lain,
menganggap Indonesia dapat memainkan peranan sebagai penengah untuk
menyelesaikan pertikaian di antara Pemerintah Filipina dengan
kelompok-kelompok Muslim di bagian selatan Filipina. Selain itu juga penengah
untuk menyelesaikan pertikaian Pemerintah Thailand di Bangkok dengan kelompok
Muslim di bagian selatan Thailand.
Bahkan, Indonesia
sempat memfasilitasi pertemuan antara delegasi Pemerintah Thailand yang
dipimpin Jenderal Khwanchart Klahan dan perwakilan kelompok Muslim dari
selatan Thailand, 20 September 2008, di Istana Bogor, Jawa Barat. Pertemuan
itu dimaksudkan untuk mencari penyelesaian damai atas konflik di selatan
Thailand yang sudah berlangsung lama itu.
Pertanyaan susulan,
mengapa Kelompok Abu Sayyaf sama sekali tidak memandang "muka"
Indonesia? Ternyata, Abu Sayyaf adalah kelompok militan Islam Filipina yang
kerap mengadakan aksi peledakan bom dan penculikan serta menyatakan masuk
dalam jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang dimusuhi banyak
negara.
Indonesia sering
merasa terpanggil untuk menyelesaikan pertikaian yang terjadi di negara lain.
Salah satu alasan yang selalu digunakan adalah menjalankan amanat Mukadimah
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Namun, pengalaman
menunjukkan bahwa negara besar saja tidak cukup untuk menyelesaikan
pertikaian atau konflik di negara lain, juga diperlukan negara kaya yang
dapat memberi kompensasi atas kesediaan salah satu pihak yang mengalah, dan
jaminan dari dunia internasional. Salah satu contoh ketika Indonesia mencoba
membantu penyelesaian konflik Kamboja pada tahun 1988 melalui Jakarta
Informal Meeting (JIM). Sebelum mengajak pihak-pihak yang berkonflik di
Kamboja ke Jakarta, Indonesia mendekati faksi-faksi Kamboja yang bersengketa,
pihak yang terlibat (Vietnam), dan pihak yang berkepentingan ASEAN.
Sejak tahun 1985,
secara de facto Perdana Menteri Hun Sen yang didukung Vietnam berkuasa di
Kamboja. Dengan bersedia menyelesaikan konflik Kamboja, maka Vietnam-lah yang
memberikan konsesi terbesar. Nah, pertanyaannya adalah apa yang dapat
diberikan Indonesia kepada Vietnam sebagai kompensasi. Pada saat itu,
Indonesia tidak mampu memberikan kompensasi atas kesediaan Vietnam untuk
mengalah. Satu-satunya harapan adalah membujuk Amerika Serikat (AS) untuk
memberikan kompensasi kepada Vietnam, dengan mengangkat embargo terhadap
Vietnam.
Menteri Luar Negeri
Mochtar Kusumaatmadja (1978-1988) segera mendekati AS dan bertanya,
bersediakah AS mengangkat embargo terhadap Vietnam jika negara itu
menyelesaikan konflik Kamboja? Jawaban AS, selain menyelesaikan konflik
Kamboja, AS pun menuntut agar persoalan personel militer AS yang hilang di
Vietnam (MIA) diselesaikan. Mochtar pun menanyakan kesediaan Vietnam untuk menyelesaikan
masalah MIA. Walaupun lambat, Vietnam menunjukkan itikad untuk menyelesaikan
masalah itu. Berdasarkan pendekatan itulah, Mochtar menjamin embargo AS akan
diangkat begitu masalah Kamboja selesai.
Pada tahun 1998, Menlu
Mochtar digantikan oleh Menlu Ali Alatas (1988-1999). Pada tahun 1988, JIM I
diselenggarakan di Istana Bogor, Jawa Barat, yang dilanjutkan dengan JIM II
di Jakarta. Jalan menuju ke arah penyelesaian konflik Kamboja semakin terang.
Akan tetapi, tetap saja, negara besar, seperti Indonesia, tidak dapat menjadi
tempat penyelesaian konflik Kamboja, tetap diperlukan negara kaya yang dapat
memberikan kompensasi dan jaminan internasional. Itu sebabnya, Indonesia pun
harus merelakan penyelesaian konflik Kamboja dilanjutkan ke Paris, Perancis,
melalui International Conference on
Kambodia (ICK), 23 Oktober 1991.
Perlu disadari
Ke depan, jika
Indonesia merasa terpanggil untuk menyelesaikan konflik di negara lain, ada
hal-hal lain yang perlu diingat, di antaranya menyiapkan kompensasi
"yang memadai" bagi kelompok yang bersedia mengalah atau memberikan
konsesi.
Dalam penyelesaian
konflik di Aceh pun, tanpa bermaksud meniadakan peran penting Wakil Presiden
Jusuf Kalla yang piawai dalam mendekati dan berunding dengan pihak-pihak yang
bertikai sehingga dihormati oleh mereka, ada kompensasi yang diberikan untuk
menjamin kelanggengan perdamaian. Kompensasi itu sangat penting dalam
menyelesaikan suatu konflik di mana pun juga. Kalau tidak sanggup memberikan
kompensasi, mungkin cara Menlu Mochtar dapat ditiru.
Selain itu, Indonesia
juga perlu yakin bahwa pihak-pihak yang bertikai menghormati dan bersedia
ditengahi Indonesia. Dapat dibayangkan apa yang terjadi, jika Indonesia
tengah menengahi konflik di suatu negara, dan tiba-tiba ada warga Indonesia
yang diculik oleh salah satu pihak yang bersengketa di negara itu, serta
meminta tebusan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar