Minggu, 03 April 2016

Air dalam Wahana Kebudayaan

Air dalam Wahana Kebudayaan

Riki Dhamparan Putra ;  Menulis puisi, artikel budaya dan sastra; Beberapa tulisan pernah tersiar di beberapa surat kabar; Kini tinggal di Jakarta
                                                        KOMPAS, 02 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pengetahuan dasar saya tentang air sebagai wahana kebudayaan berasal dari dua sumber, yakni ilmu agama dan ilmu bahasa. Sumber pertama tentang air wudhu yang saya pelajari kira-kira dua tahun menjelang masuk sekolah dasar. Kata guru mengaji saya ada dua jenis air. Keduanya suci, tetapi membawa sifat berlainan. Ada air suci yang mensucikan, ada air suci yang tidak mensucikan. Yang pertama contohnya air dari mata air dan air hujan. Itu boleh digunakan untuk berwudhu. Jenis berikutnya ada air laut, air kelapa, air enau. Itu semua suci, tetapi tidak dapat membersihkan.

Sumber kedua, ilmu peribahasa, mulai diajarkan tatkala kelas empat SD. Dalam peribahasa, air tidak dipahami dari segi unsur materialnya, melainkan sebagai perumpamaan pribadi manusia dan sifat-sifatnya. Air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan, kata Bu Guru menasihati murid-muridnya agar jangan suka pamer kepandaian. Air juga melarang kami bergosip melalui ungkapan: jangan menapik air di dulang. Banyak lagi kiasan lain, seperti misalnya pandai berminyak air, bagai minyak dan air, gila-gila air, sambil menyelam minum air. Semua itu menjadi penanda kedekatan bahasa Indonesia dengan air.

Dari lingkup terdekat ini, yakni tubuh (saat kena air wudhu) dan jiwa (saat tersindir peribahasa), saya pun mulai menjelajah hakikat air ke semesta yang lebih luas di luar diri saya. Suatu hari, akibat terlalu sering menonton film laga, saya ingin sekali menjadi orang sakti. Ingin kebal parang, ingin kebal api. Nasib baik, seorang dukun di mudik kampung bersedia mengajar saya ilmu itu. Diceritakannya asal besi itu air, asal api itu air. Kalau saya mengetahui asal besi, asal api, katanya saya dapat mematahkan golok dengan tangan, tak terbakar oleh api.

Singkat kisah, saya mencoba ilmu yang ia ajarkan. Hasilnya sungguh luar biasa, daging lengan saya sobek karena memancungnya dengan parang dan jangat saya terbakar karena membiarkan api lampu damar menjilatinya. Inyik saya yang mengetahui hal itu marah tak terkira. Dicarinya dukun yang mengajar saya itu, hingga si dukun memohon-mohon ampun karena pori-porinya mengeluarkan darah selama beberapa hari tak henti-henti. Kata orang, ia "tersapa". Namun syukurlah, ia sembuh setelah Inyik saya memaafkannya.

Ternyata, setelah kejadian itu, air mulai mengenalkan hakikatnya kepada saya pelan-pelan. Mungkin karena dianggap pikiran saya telah rusak akibat mempelajari ilmu besi dan tahan api itu, saya dimandikan selama tujuh hari.

Setiap parak siang sebelum burung-burung bangun, saya dibawa oleh Inyik saya ke lubuk dangkal yang tak jauh dari pondoknya. Di lubuk itu, seluruh tubuh saya dibenamkan selama kira-kira sepuluh tarikan napas, diangkat, lalu dibenamkan kembali hingga tiga kali berulang-ulang. Di rumah, selama tujuh hari itu saya umpama seorang raja. Bantal saya tak boleh sama dengan orang lain, piring makan saya, gelas minum saya. Ada pantangan antara lain pantang berjalan di bawah tali jemuran, tikar tidur saya harus baru walaupun hanya pandan.

Melukat

Belakangan, saya menyadari bahwa itu adalah prosesi melukat menurut istilah Melayu. Namun, di kampung saya itu disebut mandi dan menghanyut. Kesucian hati dan ketulusan doa orang yang melukat kita menjadi prasyarat kesuksesan prosesi ini. Syarat pokok lainnya adalah izin ibu dan keluarga kita.

Faktanya, ada pertalian nyata antara air dan pikiran (di kampung saya disebut pangana) yang tak dapat diterangkan dengan penjelasan akademis. Pada saya, kesadaran atas pertalian itu telah membuat pangana itu memasuki fase barunya. Ia mulai mampu melihat keadaan yang "menghijab sumangeknya", umpama ia melihat sebuah biduk yang dibebani oleh sepuluh jenis penumpang gelap yang disebut kizib, kitman, khianat, baladu, riya, sama'ah, takabur, hasad, loba, toma'ah.

Tumbuh hasrat untuk mengosongkan perahu itu. Sebab, kata inyiknya, penumpang sejati perahu itu aslinya terdiri dari sepuluh perkara: siddiq, amanah, tablig, fatonah, khusyu', tawadlu', rida, sabar, pangasih, panyayang. Tugas si pengayuh perahu adalah menemukannya. Namun, di manakah mereka? Dengan kekuatan apa si pangana akan menemuinya? Sebab, si pangana tiba-tiba merasa sendirian di laut luas yang belum pernah dilihatnya. Laut yang anginnya keras ombaknya cabuh/pulaunya jauh tempat berlabuh.

Ia tiada kekuatan, tiada ilmu, tiada pemandu untuk mengusir penumpang-penumpang gelap itu. Ia merasa tak punya suluh, tak punya navigator yang akan memandunya menemukan penumpang-penumpang sejati itu. Dalam keadaan demikian, terkenanglah ia pada sebait nazam:

Kaji tarekat nan dipintak

Untuk sembahyang petang dan pagi

Awak lata amalan tidak

Bagaimana akan pulang ke negeri

Maka tiada cara lain yang bisa diperbuat kecuali memasrahkan dirinya. Ia bersimpuh dan beristighfar. Hingga suatu kali ia melihat biduk itu pergi dengan satu bait dari "Madah Kelana".

Alun membawa bidukku pelahan

Dalam kesunyian malam waktu

Tidak berpawang tidak berkawan

Entah kemana aku tak tahu

("Dibawa Gelombang", Sanusi Pane)

Umur saya belum 17 tahun ketika puisi di atas mulai mengisi ruang kosong di dalam pangana saya. Ia menjelma menjadi teman kesunyian, menjadi kesukaan. Pelan-pelan, setahap demi setahap, hakikat air yang saya cari-cari mulai tampak wujudnya dalam kesukaan saya pada kata-kata itu. Sepanjang siang, sepanjang malam, saya melelahkan diri dengan menulis munajat yang sunyi sepi rasanya. Seakan tiada kegembiraan lain selain berhasil menuliskan satu bait saja.

Sebagian dari munajat malam-malam itu saya kirimkan dan telah dimuat di koran-koran Singgalang, Semangat,dan Canang yang terbit di kota Padang. Sekali waktu bahkan saya menulis tujuh naskah prosa liris untuk dipentaskan dalam musim Sandiwara Liburan di kampung saya. Saya menjadi terkenal walaupun honor yang dijanjikan panitia untuk penulisan naskah sandiwara itu dikorupsi oleh bendahara karang taruna desa saya. Namun, saya tidak memedulikannya.

Selama satu tahun, saya telah berhasil menulis lebih dari seratus puisi. Satu dari buku tulis yang berisi puisi-puisi itu kelak akan saya bawa ke Bali, untuk menemui takdirnya tercoret-coret oleh gaya editing para penyair senior di Sanggar Minum Kopi Bali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar