"Dia Meninggalkan Saya"
Sawitri Supardi Sadarjoen ;
Penulis Kolom PSIKOLOGI Kompas Sabtu
|
KOMPAS, 02 April
2016
Jika kita memiliki kecenderungan otomatis untuk mengiba-iba dan
memohon seseorang yang menginginkan berjarak sementara dengan kita untuk
kembali kepada diri kita, maka kita akan terbelenggu dengan pola tersebut
yang sulit kita atasi. Walaupun pada dasarnya pola perilaku tersebut lebih
condong dimiliki oleh perempuan.
Kasus
"Ibu, saya merasa
sangat kehilangan istri saya. Ia meninggalkan rumah saya dengan alasan bahwa
ia ingin memiliki jeda waktu tertentu untuk lepas dari diri saya sementara
waktu dan akan tinggal di rumah orangtuanya kembali." Demikian M (34) mengeluhkan masalahnya. M dan istrinya, J (32),
sudah selama empat tahun menjalani kehidupan perkawinan.
"Terus terang, saya
berpikir dan menduga bahwa istri saya saat ini sedang menjalani hubungan
kasih baru dengan lelaki lain," lanjut M
dengan mata berkaca-kaca.
Saat pertama saya bertemu dengan M, ia tampak lesu, kurang gairah,
dan kusut air mukanya. Ia menggambarkan dirinya sebagai seorang yang kalah
perang karena salah strategi. Ia merasa bahwa selama ini ia hanya memusatkan
perhatian pada pekerjaannya dan mengabaikan kesepian J, istrinya.
Sebenarnya setahun yang lalu M merasa telah membawa istri untuk
pindah ke rumah impiannya yang ternyata sama sekali bukan impian istrinya
sehingga relasi di antara mereka semakin lama menjadi semakin memburuk.
Memang mereka jadi sering bertengkar. Namun, J cenderung mengakomodasi apa yang
M katakan dan rasakan, tanpa reaksi yang sesuai dengan perasaan J sendiri,
sehingga saat J tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka, M kaget
dan M benar-benar mengalami shock berat, kehilangan J, secara tiba-tiba. M
merasa hancur hatinya. Ia menghubungi J beberapa kali dalam satu hari dan
meminta J kembali ke rumah, mengemis agar J pulang dan menjanjikan perubahan
sikap M kepada J. Sementara respons J dingin saja dan bergeming, sambil
kemudian menyampaikan bahwa J baru akan kembali ke rumah apabila ia siap
mental dan sama sekali tidak mau dikontak, apalagi bertemu dan bercakap-cakap
dengan M.
Saat M kembali menemui saya, ia mengatakan bahwa tetap mau
berusaha keras seperti berada di medan perang mati-matian untuk memenangkan J
kembali ke rumah. M mengirim e-mail, mengirim SMS berlanjut, dan mengiba-iba,
bahkan meminta tolong kepada sahabat-sahabat J untuk menyampaikan harapan M
agar J kembali ke rumah. Kemudian meyakinkan teman-teman J bahwa M akan
membuat J pulang dan menetap kembali di rumah mereka.
Pada dasarnya apabila kita sampai pada titik peka yang paling
tinggi, hendaknya kita berusaha keras untuk membuat diri kita kembali tenang.
Namun, ternyata muncul protes keras dalam diri M untuk kemudian diikuti
dengan perilaku adiktif untuk mengiba kembalinya J ke rumah, yang justru
membuat J semakin menjauh. Perilaku dan gerak mendekat yang dilakukan M
justru meningkatkan kadar reaksi negatif pada pihak J.
Memang benar, M membutuhkan perhatian dan dukungan lingkungan
untuk kondisi emosi negatifnya. Namun, apabila tujuannya adalah sukses dalam
kehidupan perkawinannya, ia harus beralih dari pikiran tentang J ke arah
pikiran yang ditujukan pada diri sendiri. Apa yang saya sarankan adalah agar
M berdiskusi dengan teman pria di kantornya yang mengalami kejadian sama
dengannya dan berakhir dengan perceraian yang menyakitkan diri teman
tersebut. Saya juga menyarankan agar ia berani mengutarakan kesedihannya
kepada keluarga dekatnya yang mampu mendukungnya. Sebab, seperti pada
umumnya, lelaki memang tidak punya pengalaman dalam berbagi kesedihan baik
dengan teman maupun dengan orangtuanya sendiri. Kemauan M untuk berbagi
kesedihan kepada kawan dekatnya, keluarga, dan orangtuanya ternyata
memberikan dampak perubahan besar pada diri M. M menjadi lebih tenang dan
lebih mampu berpikir matang.
Setelah M merasa lebih tenang karena mendapat dukungan emosional
dari keluarga dan teman-teman dekatnya, maka ia mulai dapat berpikir lebih
strategis dalam mengatasi masalah perkawinannya. Ia menulis surat singkat
yang ditujukan kepada J, istri tercintanya. Isi surat yang M tulis
benar-benar membuktikan bahwa sudah terjadi perubahan dalam dirinya, yang
membuatnya sangat berbeda dalam cara berkomunikasi dengan cara berkomunikasi
sebelumnya. Kata-katanya benar-benar hasil pemikiran yang matang dan terpusat
pada dirinya sendiri sebagai berikut:
J yang tercinta,
Saya minta maaf akan
ketidaksadaran saya akan kebutuhan kamu untuk menjaga jarak sementara dengan
saya. Saya merasa tersudut dan untuk itu saya telah mengikuti rangkaian
psikoterapi yang sesuai dengan kebutuhan saya. Krisis mental yang saya hadapi
sepeninggal kamu mendorong saya untuk melihat bahwa saya juga memiliki
kontribusi besar dalam masalah perkawinan yang kita hadapi selama ini. Saya
melihat kenyataan bahwa memang saya saat ini harus fokus pada diri sendiri
dulu. Saya tahu kita punya banyak hal untuk dipikirkan dan tentu saja saya
mendukung apa pun kebutuhan kamu untuk dirimu sendiri. Saya hanya ingin
memberi tahu bahwa saya sedang mengarah pada kondisi okey dan saya juga saat
ini mengarahkan perhatian pada diri saya. Saya mencintai dirimu dan saya
harap perkawinan kita bisa menjadi lebih membaik di masa mendatang. Bila kamu
merasa sudah siap untuk membuka pembicaraan dengan saya, segeralah kontak
saya.
Dengan penuh kasih,
M.
Sebenarnya M merasa bahwa apa yang ditulis di atas adalah
berlawanan dengan kondisi perasaan yang sebenarnya ia hayati. Namun, ternyata
setelah ia baca kembali beberapa kali, akhirnya ia merasa bahwa inilah
"kebenaran" diri yang seharusnya ia tampilkan. Dan, ungkapan dalam
surat pendeknya tersebut adalah gambaran kematangan jiwa yang pada dasarnya M
juga inginkan.
Cara menulis dengan landasan kematangan emosional tersebut
ternyata adalah cara khusus yang harus kita lakukan apabila kita benar-benar
menginginkan orang lain (apakah istri, anggota keluarga lain, atau siapa pun)
berpikir, merasakan, dan berperilaku dengan cara lain, yang sesuai dengan
harapan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar