Minggu, 03 April 2016

"Dia Meninggalkan Saya"

"Dia Meninggalkan Saya"

Sawitri Supardi Sadarjoen ;  Penulis Kolom PSIKOLOGI Kompas Sabtu
                                                        KOMPAS, 02 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jika kita memiliki kecenderungan otomatis untuk mengiba-iba dan memohon seseorang yang menginginkan berjarak sementara dengan kita untuk kembali kepada diri kita, maka kita akan terbelenggu dengan pola tersebut yang sulit kita atasi. Walaupun pada dasarnya pola perilaku tersebut lebih condong dimiliki oleh perempuan.

Kasus

"Ibu, saya merasa sangat kehilangan istri saya. Ia meninggalkan rumah saya dengan alasan bahwa ia ingin memiliki jeda waktu tertentu untuk lepas dari diri saya sementara waktu dan akan tinggal di rumah orangtuanya kembali." Demikian M (34) mengeluhkan masalahnya. M dan istrinya, J (32), sudah selama empat tahun menjalani kehidupan perkawinan.

"Terus terang, saya berpikir dan menduga bahwa istri saya saat ini sedang menjalani hubungan kasih baru dengan lelaki lain," lanjut M dengan mata berkaca-kaca.

Saat pertama saya bertemu dengan M, ia tampak lesu, kurang gairah, dan kusut air mukanya. Ia menggambarkan dirinya sebagai seorang yang kalah perang karena salah strategi. Ia merasa bahwa selama ini ia hanya memusatkan perhatian pada pekerjaannya dan mengabaikan kesepian J, istrinya.

Sebenarnya setahun yang lalu M merasa telah membawa istri untuk pindah ke rumah impiannya yang ternyata sama sekali bukan impian istrinya sehingga relasi di antara mereka semakin lama menjadi semakin memburuk. Memang mereka jadi sering bertengkar. Namun, J cenderung mengakomodasi apa yang M katakan dan rasakan, tanpa reaksi yang sesuai dengan perasaan J sendiri, sehingga saat J tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka, M kaget dan M benar-benar mengalami shock berat, kehilangan J, secara tiba-tiba. M merasa hancur hatinya. Ia menghubungi J beberapa kali dalam satu hari dan meminta J kembali ke rumah, mengemis agar J pulang dan menjanjikan perubahan sikap M kepada J. Sementara respons J dingin saja dan bergeming, sambil kemudian menyampaikan bahwa J baru akan kembali ke rumah apabila ia siap mental dan sama sekali tidak mau dikontak, apalagi bertemu dan bercakap-cakap dengan M.

Saat M kembali menemui saya, ia mengatakan bahwa tetap mau berusaha keras seperti berada di medan perang mati-matian untuk memenangkan J kembali ke rumah. M mengirim e-mail, mengirim SMS berlanjut, dan mengiba-iba, bahkan meminta tolong kepada sahabat-sahabat J untuk menyampaikan harapan M agar J kembali ke rumah. Kemudian meyakinkan teman-teman J bahwa M akan membuat J pulang dan menetap kembali di rumah mereka.

Pada dasarnya apabila kita sampai pada titik peka yang paling tinggi, hendaknya kita berusaha keras untuk membuat diri kita kembali tenang. Namun, ternyata muncul protes keras dalam diri M untuk kemudian diikuti dengan perilaku adiktif untuk mengiba kembalinya J ke rumah, yang justru membuat J semakin menjauh. Perilaku dan gerak mendekat yang dilakukan M justru meningkatkan kadar reaksi negatif pada pihak J.

Memang benar, M membutuhkan perhatian dan dukungan lingkungan untuk kondisi emosi negatifnya. Namun, apabila tujuannya adalah sukses dalam kehidupan perkawinannya, ia harus beralih dari pikiran tentang J ke arah pikiran yang ditujukan pada diri sendiri. Apa yang saya sarankan adalah agar M berdiskusi dengan teman pria di kantornya yang mengalami kejadian sama dengannya dan berakhir dengan perceraian yang menyakitkan diri teman tersebut. Saya juga menyarankan agar ia berani mengutarakan kesedihannya kepada keluarga dekatnya yang mampu mendukungnya. Sebab, seperti pada umumnya, lelaki memang tidak punya pengalaman dalam berbagi kesedihan baik dengan teman maupun dengan orangtuanya sendiri. Kemauan M untuk berbagi kesedihan kepada kawan dekatnya, keluarga, dan orangtuanya ternyata memberikan dampak perubahan besar pada diri M. M menjadi lebih tenang dan lebih mampu berpikir matang.

Setelah M merasa lebih tenang karena mendapat dukungan emosional dari keluarga dan teman-teman dekatnya, maka ia mulai dapat berpikir lebih strategis dalam mengatasi masalah perkawinannya. Ia menulis surat singkat yang ditujukan kepada J, istri tercintanya. Isi surat yang M tulis benar-benar membuktikan bahwa sudah terjadi perubahan dalam dirinya, yang membuatnya sangat berbeda dalam cara berkomunikasi dengan cara berkomunikasi sebelumnya. Kata-katanya benar-benar hasil pemikiran yang matang dan terpusat pada dirinya sendiri sebagai berikut:

J yang tercinta,

Saya minta maaf akan ketidaksadaran saya akan kebutuhan kamu untuk menjaga jarak sementara dengan saya. Saya merasa tersudut dan untuk itu saya telah mengikuti rangkaian psikoterapi yang sesuai dengan kebutuhan saya. Krisis mental yang saya hadapi sepeninggal kamu mendorong saya untuk melihat bahwa saya juga memiliki kontribusi besar dalam masalah perkawinan yang kita hadapi selama ini. Saya melihat kenyataan bahwa memang saya saat ini harus fokus pada diri sendiri dulu. Saya tahu kita punya banyak hal untuk dipikirkan dan tentu saja saya mendukung apa pun kebutuhan kamu untuk dirimu sendiri. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa saya sedang mengarah pada kondisi okey dan saya juga saat ini mengarahkan perhatian pada diri saya. Saya mencintai dirimu dan saya harap perkawinan kita bisa menjadi lebih membaik di masa mendatang. Bila kamu merasa sudah siap untuk membuka pembicaraan dengan saya, segeralah kontak saya.

Dengan penuh kasih,

M.

Sebenarnya M merasa bahwa apa yang ditulis di atas adalah berlawanan dengan kondisi perasaan yang sebenarnya ia hayati. Namun, ternyata setelah ia baca kembali beberapa kali, akhirnya ia merasa bahwa inilah "kebenaran" diri yang seharusnya ia tampilkan. Dan, ungkapan dalam surat pendeknya tersebut adalah gambaran kematangan jiwa yang pada dasarnya M juga inginkan.

Cara menulis dengan landasan kematangan emosional tersebut ternyata adalah cara khusus yang harus kita lakukan apabila kita benar-benar menginginkan orang lain (apakah istri, anggota keluarga lain, atau siapa pun) berpikir, merasakan, dan berperilaku dengan cara lain, yang sesuai dengan harapan kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar