Senin, 18 April 2016

Adu Mulut

Adu Mulut

Putu Setia ;   Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
                                                  KORAN TEMPO, 16 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Banyak ungkapan memakai kata adu. Misalnya, adu mulut, adu nasib, adu domba. Kalau adu domba sejati, masih ada di Jawa Barat. Kalau arti kiasannya, manusia yang mau dipertentangkan antarsesama. Entah kenapa dipakai domba, bukan hewan lain.

Adu mulut bukanlah mulut ketemu mulut. Ini kiasan murni untuk orang yang berbantahan. Namun berbantahan itu sendiri bukanlah tergolong aib. Para leluhur kita di masa lalu bisa berbantahan penuh tata krama, berkata sopan tanpa merendahkan lawannya. Mereka menyebutnya adu wicara, terjemahan masa kini: berdebat dengan sopan. Sedangkan yang berdebat dengan kata-kata jorok, memaki, saling hina—dan tak jarang dilanjutkan dengan perkelahian—disebut adu cangkem atau ungkapan lain cangkem gembur. Nah, yang terakhir ini, entah sejak kapan, diterjemahkan: adu mulut.

Orang yang suka adu mulut umumnya dianggap kurang wawasan, tidak berpendidikan, preman pasar (meski di desa itu tak ada pasar), dan biasa dilakukan di tempat umum, misalnya di rumah judi atau minimal di jalanan. Kalau adu wirasa, dilakukan di pendopo, balai sidang, juga di ruang tamu. Itu dulu, ketika Nusantara masih berbudaya luhur. Sekarang adu mulut pun dilakukan di balai sidang.

Ada kakek sepuh di desa saya yang terperanjat saat menonton televisi, melihat para wakil rakyat adu mulut sambil mengepalkan tangan dan merangsek maju ke meja pimpinan. "Astaganaga, memalukan. Mereka berpendidikan, apa yang salah?" tanya dia. Saya menjawab: "Yang salah kakek, masih ada tivi yang menyiarkan Mahabharata, kok menonton tivi berita?" Seolah tak mendengar jawaban saya, si kakek masih bertanya: "Apa yang terjadi kalau orang mengepal tangan itu tak dihalangi ke meja pimpinan?" Saya jawab: "Paling gebrak meja, tak akan ada perkelahian, itu cuma akting, supaya lebih dramatis dan disiarkan tivi. Sekarang tivi bebas menyiarkan adu mulut yang disertai adegan dramatis begitu, yang diblur kan hanya wanita berkebaya yang lehernya nampak."

Saya tak tahu bagaimana kalau si kakek menonton sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang disiarkan televisi baru-baru ini. Adu mulut (tentu saja bukan adu wirasa) berlanjut sampai ada seseorang berteriak, lalu dipanggul dan diamankan temannya. Pasti si kakek mengumpat. Apalagi kalau ia sampai tahu anggota DPD itu sedang berebut kuasa jadi pimpinan, dan gaji mereka Rp 71 juta lebih. Bisa-bisa si kakek menyuruh anaknya tak usah lagi membayar pajak tanah kebun. Yang paling celaka, kalau si kakek bertanya apa saja tugas dan hasil kerja senator itu, bagaimana saya bisa menjawab?

Kita sudah banyak berubah. Keluhuran budaya dan tradisi (termasuk aksara dan sastra lokal) semakin sirna karena kita konon sudah maju. Tapi Jepang jauh lebih maju, produk industrinya menyerbu negeri kita, kok budaya dan kearifan lokal mereka masih jelas? Adakah tatanan masyarakat kita sudah tak harmonis lagi? Para ulama, pendeta, sesepuh sudah tak lagi didengarkan dan berjarak jauh dengan penguasa negeri? Di era kerajaan dulu, para ulama dijadikan purohito (ada istilah lain: bhagawanta) oleh penguasa untuk dimintai nasihat dan pertimbangan. Di masa Orde Baru, ada istilah "ulama dan umaroh tak bisa dipisahkan". Kini, di dewan pertimbangan presiden ada juragan kapal.

Bisa jadi adu mulut makin sering dan seru di antara petinggi negeri. "BPK ngaco," kata Gubernur. "Laporkan, dong," jawab Ketua BPK. Adu mulut terus bersambung, tak ada yang coba menegur. Semua merasa benar dan semua merasa bersih, tapi hartanya muncul di Panama Papers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar