Peran RI di Timur Tengah
Ibnu Burdah ;
Pengamat Timur Tengah
|
REPUBLIKA, 16
April 2016
Gelombang kekacauan di
Timur Tengah sangat berpengaruh terhadap jalan perjuangan Palestina untuk
merdeka. Perhatian negara-negara kawasan terhadap perjuangan Palestina
tiba-tiba menurun drastis.
Mesir yang sejak lama
jadi motor terdepan seolah absen selama lebih lima tahun terakhir. Negara ini
sibuk dengan ancaman keamanan, stabilitas, dan merosotnya kemampuan
ekonominya akibat konflik politik begitu tajam. Proses pembangunan demokrasi
di negara itu seperti menabrak jalan buntu.
Secara umum, peran
Mesir di fora regional maupun internasional menurun drastis.
Arab Saudi yang
biasanya juga memainkan peran strategis mengalami hal yang kurang lebih sama.
Kerajaan ini sibuk untuk mempertahankan survival-nya.
Turki juga menghadapi
persoalan serupa.
Mereka terlibat perang
yang luas di perbatasannya di selatan. Yang mereka hadapi adalah ISIS dan
separatis Kurdi.Sedikit tenaga tersisa untuk perhatian pada Palestina.
Perhatian
negara-negara berpenduduk Muslim di luar Timur Tengah juga tertuju ke Yaman,
Suriah, dan Libya. Mereka harus bekerja keras menghadapi ancaman imbas
perpecahan sektarian dan ekstremisme. Demikian pula aktor-aktor
internasional, seperti AS, Rusia, Uni Eropa, PBB, dan seterusnya.
Mereka adalah
"langganan sponsor" proses perdamaian Palestina-Israel selama dua
dekade lebih. Mereka yang kini lebih memerhatikan isu mendesak perdamaian
Suriah itu seperti sudah frustrasi dengan kegagalan- kegagalan di meja
negosiasi Palestina-Israel.
Kendati ada arah
Prancis akan mengambil peran mendorong proses perdamaian, "rating"
isu Palestina begitu dominan kini terjun bebas. Sedikit sekali aktor penting
di kawasan maupun dunia internasional memberi perhatian besar.
Di tengah miskinnya
perhatian terhadap Palestina itulah, upaya yang terus digalang Pe merintah
Indonesia beberapa bulan terakhir begitu signifikan. Setelah KTT Luar Biasa
OKI di Jakarta (6-7 Maret 2016) dan pembukaan konsul kehormatan di Ramallah,
kini Indonesia berupaya keras turut serta proses perdamaian yang diinisiasi
Prancis.
Isu Palestina juga
menjadi salah satu pembicaraan dalam lawatan Presiden Joko Widodo ke Eropa
kali ini. Dalam KTT OKI di Istanbul, Turki (14-15 April), Indonesia juga akan
menyuarakan kembali hasil-hasil dari Deklarasi Jakarta. Bahkan, hasil KTT
Luar Biasa di Jakarta pada Maret lalu disebut-sebut akan menjadi rujukan bagi
upaya OKI mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.
Indonesia dipandang
memiliki kapasitas untuk mengembalikan isu Palestina ke atas meja diplomasi
internasional. Ketegasan dan sikap "galak" Menlu RI terhadap Israel
selama ini adalah tepat. Kita berharap saat ini awal bagi Indonesia memainkan
peran strategis dalam upaya penyelesaian damai di Palestina dan di Timur
Tengah secara umum.
Di tengah terpuruknya
aktor-aktor lain, capaian Indonesia dalam banyak hal khususnya pembangunan
demokrasi, stabilitas keamanan, dan ekonomi menjadi modal penting. Indonesia
layak berdiri tegak, mengerek posturnya setinggi mungkin dalam pergaulan
internasional khususnya di Timur Tengah.
Peran itu bisa dimulai
dari sekarang.
Masalah Palestina
khususnya rekonsiliasi Hamas-Fatah bisa menjadi pintu penting sebab komitmen
dan konsistensi Indonesia dalam mendukung Palestina sudah tak diragukan lagi.
Indonesia mungkin menjadi negara yang paling mampu menjaga netralitasnya
terhadap perselisihan Hamas-Fatah.
Peluang itu, meski
pasti tak mudah, terbuka lebar bagi Indonesia saat ini.
Namun, harus disadari
persoalan Palestina sungguh pelik. Sudah terlalu banyak aktor-aktor besar
terlibat dalam upaya mewujudkan Palestina merdeka melalui perundingan damai
dengan Israel. Sudah banyak formula yang dicoba dalam upaya perdamaian mulai
dari Madrid 1989, Oslo I 1993, Oslo II 1995, Camp David 2000, dan seterusnya.
Hasilnya tentu ada,
tetapi sangat minimal. Sejak Oslo II 1995, hampir tak ada lagi kemajuan
signifikan di lapangan sehingga Palestina kemudian memilih jalan politik
unilateral di PBB. Jalur perjuangan ini memang sedikit membawa hasil, bendera
Palestina bisa berkibar di luar markas PBB.
Namun, Palestina
merdeka yang jadi tujuan utama masih sangat jauh dari nyata. Mewujudkan
kemerdekaan Palestina melalui PBB mungkin mendekati mustahil. Persoalannya
dua lapis sekaligus, yakni anggota tetap Dewan Keamanan yang memiliki hak
veto dan implementasinya di lapangan.
Persoalan pertama
terkait dengan AS, salah satu pemilik hak veto, yang sejauh ini merasa
dikecewakan oleh Palestina yang memilih jalur unilateral. Persoalan kedua
terkait dengan Israel yang secara de facto masih mengontrol wilayah-wilayah
Palestina.
Keduanya berkukuh tak
menerima kemerdekaan Palestina kecuali melalui meja perundingan. Padahal,
Israel selama sekitar enam tahun terakhir hampir tak memberi tawaran konsesi
atau terobosan penting bagi penyelesaian damai itu. Mereka bahkan mem bangun
permukiman baru di wilayah-wilayah konflik secara ekstensif.
Di tengah kebuntuan
itu, penting bagi Indonesia untuk membuat terobosan kreatif dan realistis
dalam dukungannya terhadap perjuangan Palestina merdeka. Setidaknya mendorong
rekonsiliasi Hamas-Fatah bisa menjadi agenda penting pertama.
Menggemakan lagi
dukungan perjuangan Palestina tentu penting. Tapi, itu jangan hanya jadi
rutinitas tanpa langkah nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar