Rabu, 01 April 2015

Obstacle Industri Indonesia : Birokrasi Perizinan

Obstacle Industri Indonesia : Birokrasi Perizinan

Hendrik Kawilarang Luntungan  ;  Wakil Sekjen Bidang Ekonomi
DPP Partai Perindo
KORAN SINDO, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengintrodusir kembali gagasan pentingnya Indonesia beralih menjadi negara industri. Modalnya sudah ada: kekayaan alam, bonus demografi, dan letak strategis di peta ekonomi dunia mengingat pergerakan ekonomi global kini berada di Asia-Pasifik.

Alam kita dahsyat. Diibaratkan JK, tanam tongkat saja bisa tumbuh. Mengingatkan lagu Nusantara Koes Plus. Sayangnya, selama ini pembangunan hanya mengandalkan sektor pertanian. Padahal sektor pertanian tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja. Di Jawa atau daerah lain misalnya rata-rata satu keluarga hanya punya 0,3 hektare. Itu pun hanya bisa untuk kerja dua orang.

Tapi, itu terbukti belum mampu menghapus kemiskinan. Tingkat kemiskinan yang tinggi justru terjadi di daerah pertanian. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebanyak 28,55 juta orang atau 11,47%, meningkat 480.000 orang dibandingkan Maret 2013. Sekitar 63% penduduk miskin negeri itu tinggal di perdesaan. Mudah diduga, sebagian besar mereka adalah petani dan buruh tani.

Faktanya jelas, hingga kini sektor pertanian tetap menjadi kantong kemiskinan. Para saudara kita itu sangat rentan dengan dinamika ekonomi makro. Jika ada gejolak sedikit seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) atau inflasi, mereka segera terkena dampaknya. Seorang peneliti menggambarkan: ada desa-desa di mana posisi penduduk perdesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkan mereka.

Kalau mau dikurangi petani, harus ada alternatif. Satu-satunya alternatif adalah industri. Jika hanya mengandalkan sektor pertanian tanpa disokong industri, kita akan sulit keluar dari masalah itu. Bila ingin ada penyerapan tenaga kerja besar-besaran jawabannya adalah industri. Sektor industri bisa menghasilkan multiplier effect tiga kali. Pabrik baja butuh kontraktor, restoran, tempat hiburan, warteg, dan lain-lain.

Industri jelas butuh investasi karena tiap investasi akan menimbulkan kegiatan ekonomi tiga kali lipatnya. Hasilnya sebenarnya sudah terasa. Pada 2014 industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar 24% terhadap produk domestik bruto nasional. Peningkatan pun terus terjadi pada sektor pengolahan nonmigas. Dari sini kita mulai menemukan solusi, namun bukan tanpa masalah.

Kendati Indonesia merupakan negara agraris, tetap diperlukan pembangunan industri untuk memberi nilai tambah pada produk pertanian agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di samping penyediaan lapangan kerja. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang sekalipun tetap mengembangkan pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya.

Pembangunan industri nasional ke depan harus mendapat perhatian yang serius dengan keterlibatan pemerintah yang lebih intensif. Tidak hanya pada kebijakan, tapi juga pembangunan sarana dan prasarana. Selama ini banyak pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan industri dibangun oleh swasta. Pemerintah harus betul-betul berperan dalam pembangunan industri, bukan hanya diserahkan pada mekanisme pasar.

Investasi adalah faktor penting di sektor industri. Peningkatan investasi harus berjalan di segala lini dan sektor, khususnya di luar Pulau Jawa. Kementerian Perindustrian menargetkan penyebaran industri di luar Pulau Jawa terus meningkat, dari yang saat ini hanya sekitar 29% menjadi 45% pada 2035. Namun, kita tidak bisa menutup mata. Masalah birokrasi perizinan masih jadi hambatan utama investasi.

Birokrasi pemerintahan kita sudah terkenal dengan deretan puluhan meja dan berbelit-belit. Urusan di pusat tidak sama dengan di daerah. Masalah perizinan adalah satu benang kusut dalam sektor ini, di antara masalah lain seperti ketenagakerjaan, pasokan energi, dan insentif fiskal. Panjangnya proses birokrasi perizinan memang menjadi salah satu minus Indonesia di mata investor.

Ini menjadi salah satu komponen yang menambah biaya produksi. Jika rantai perizinan bisa dipangkas, bisa lebih bersaing. Walau perizinan sifatnya hanya one time, namun jika Indonesia bisa melayani dengan lebih efisien, jadi dampaknya langsung ke daya saing. Sudah jadi rahasia umum: berinvestasi di Indonesia tidak mudah.

Banyak ranjau yang harus dilalui sebelum sebuah proyek investasi dapat direalisasikan. Dengar saja keluhan berbagai investor atas sulitnya berinvestasi di Indonesia. Salah satu masalah yang menjadi keluhan mereka adalah ribet dan kompleksnya sistem dan proseduru ntuk mendapatkan izin atau permit.

Di sektor migas misalnya. Untuk satu proyek pengeboran minyak di daerah membutuhkan sedikitnya 89 perizinan. Untuk memenuhi itu, semua memerlukan waktu bertahun-tahun. Industri makanan minuman butuh 27 izin. Dalam aturan resmi butuh waktu 730 hari. Tapi, pemerintah pun belum bias memastikan seberapa cepat: apakah lebih lama atau lebih cepat.

Di balik ketidakpastian perizinan dan investasi ini rupanya menyuburkan perilaku suap kalangan swasta kepada pejabat publik atau birokrasi. Suap dilakukan untuk mendapatkan kemudahan (fasilitas) dan keuntungan secara tidak fair, memenangkan persaingan secara tidak fair, mengamankan dan memproteksi investasi yang dilakukan.

Akibat tradisi ini, muncul oknum-oknum di lembaga publik (birokrasi) yang terbiasa melakukan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) demi keuntungan pribadi atau kelompok antara lain melalui pemberian informasi yang bersifat rahasia (rencana tender, rencana kebijakan/ regulasi, data pesaing).

Pungutan liar dalam proses perizinan dan investasi juga memunculkan oknum-oknum pihak ketiga (rent seekers) yang menjembatani pihak investor dan pejabat publik dalam rangka kemudahan perizinan dan investasi yang dilakukan secara tidak fair.

Buktinya, banyak pengusaha yang hanya bermodalkan kedekatan dengan pejabat di daerah mendapatkan izin saja di bidang pertambangan mineral dan batu bara, namun tidak bermaksud melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi, melainkan hanya untuk mendapatkan pendanaan atau dijual ke pihak lain. Itu antara lain kenyataan di balik rumit dan berbelit-belitnya perizinan di negeri ini.

Masalah birokrasi perizinan ini tampaknya menjadi masalah abadi bersama abadinya persoalan korupsi di Indonesia. Seperti sengaja dipelihara. Ada ungkapan sindiran yang sering kita dengar di kalangan birokrasi: ”kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah” Di sinilah ruang bagi para birokrat untuk bermain. Bila investor mau mempermudah, mempercepat proses perizinan, ada ”harga” yang harus dikeluarkan pelaku bisnis yaitu fulus (uang).

Praktik-praktik seperti ini kita bisa dengar, lihat, dan baca dan bahkan mungkin mengalami sendiri. Kondisi ini yang membuat investor dan pelaku bisnis terkadang hanya gelenggeleng kepala dan membuat mereka dilema. Ada yang sabar mengambil jalan lurus sesuai aturan dan permainan birokrasi, tapi lama. Dampaknya, mereka kehilangan momentum.

Ada yang terpaksa mengambil jalan pintas dengan berbagai cara asalkan apa yang diinginkan dapat diperoleh (perizinan). Sejumlah pelaku usaha menilai, pemerintah terkesan lambat merespons hasil-hasil survei pemeringkatan kemudahan berusaha atau” Doing Business” diIndonesia. Jika pada 2013 peringkat Indonesia berada pada posisi ke-128, kini hanya naik delapan peringkat pada ”Doing Business 2014”, menempati peringkat ke- 120 dari 189 negara yang disurvei.

Di level ASEAN peringkat Indonesia berada di posisi ketujuh, di bawah Singapura (peringkat 1 dunia), Malaysia (6), Thailand (18), Brunei Darussalam (59), Vietnam (99), dan Filipina (108). Semua obstacle harus dihilangkan, dimulai dari birokrasi perizinan. Kalau industri tidak tumbuh, hanya ada sektor, yang didagangkan di dalam negeri nanti adalah barang impor.

Rakyat Indonesia hanya dijadikan konsumen dan buruh atau kuli. Padahal pendiri bangsa Bung Karno tidak pernah menginginkan bangsa Indonesia menjadi bangsa koeli: ”een natie van koelis en een koeli van naties”, bangsa yang terdiri atas kuli-kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar