Jumat, 06 Maret 2015

Menumpas Begal Anggaran

Menumpas Begal Anggaran

Reza Syawawi  ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 05 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Belakangan ini, publik dibuat risau oleh maraknya aksi pembegalan di jalanan. Penegak hukum dibuat seolah tak berdaya sehingga memancing reaksi publik untuk melakukan tindakan "main hakim sendiri".

Dalam konteks kejahatan kerah putih (white collar crime), praktek "begal" juga semakin terbuka. Salah satu yang paling mutakhir adalah munculnya "anggaran siluman" dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun anggaran 2015.

Publik harus memahami bahwa praktek pembegalan dalam konteks anggaran tidak sekadar menguasai secara illegal harta milik individu, melainkan perampokan terhadap harta benda dan kekayaan masyarakat. APBD yang disahkan setiap tahun adalah uang masyarakat yang seyogianya dialokasikan sesuai dengan kebutuhan publik.

Praktek mafia anggaran semakin masif, mereka tak segan-segan menggunakan kuasa politik untuk menutupi perbuatan jahat yang dilakukan. Ini seolah menjadi isyarat bahwa konsolidasi elite mafia semakin mapan, di lain pihak terjadi pelemahan terhadap institusi hukum, termasuk terhadap institusi politik dan birokrasi yang melawan praktek mafia anggaran.

Dari segi kekuasaan penganggaran (budgeting), lembaga legislatif menjadi penentu pengesahan anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah. Lembaga legislatif memiliki hak veto untuk menolak rancangan APBN/D yang diajukan eksekutif. Kuasa ini begitu dominan, sehingga potensi barter atau persekongkolan dalam penganggaran lebih didominasi oleh lembaga legislatif.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XI/2013 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara setidaknya menyampaikan pesan bahwa kuasa lembaga legislatif dalam penganggaran perlu dibatasi. Tidak berlebihan kiranya jika pemohon pengujian undang-undang tersebut meminta MK membubarkan Badan Anggaran, karena dinilai menjadi sentral praktek pembegalan anggaran.

Sekalipun permohonan untuk membubarkan Badan Anggaran tidak dikabulkan, MK dalam putusannya menegaskan bahwa kewenangan lembaga legislatif untuk membahas anggaran hingga satuan tiga (kegiatan, jenis belanja) adalah sesuatu yang melanggar konstitusi. MK berpendapat bahwa sistem check and balance di antara kekuasaan negara, termasuk dalam hal pelaksanaan fungsi anggaran, didasarkan pada prinsip kekuasaan yang dibatasi kekuasaan (power limited by power), bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan yang lain (power supervises other powers), apalagi kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan yang lain (power controls other powers).

Maka fungsi anggaran lembaga legislatif hanyalah sebatas memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana yang diajukan oleh eksekutif. Sebab, dimensi perencanaan yang sifatnya sangat rinci adalah ranah kekuasaan eksekutif, sehingga lembaga legislatif "diharamkan" oleh konstitusi untuk mencampuri urusan tersebut.

Pengujian konstitusionalitas atas fungsi anggaran lembaga legislatif tersebut tentu tidak sekadar soal membatasi kekuasaan, tapi bagaimana fungsi anggaran tersebut tidak menjadi pintu masuk terjadinya praktek pembegalan anggaran. Apa yang terjadi di DKI Jakarta adalah bukti nyata bahwa praktek mafia anggaran masih menjadi momok dalam setiap pembahasan anggaran.

Upaya mengurangi praktek korupsi dalam pembahasan anggaran yang dilakukan melalui e-budgeting layak diapresiasi. Namun, sebagai sebuah sistem, perangkat teknologi tidak akan berdampak jika pemegang kuasa masih menggunakan muslihat jahat untuk "membegal" anggaran.

Hal yang sama juga berlaku terhadap e-procurement. Sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik ini hanya memutus komunikasi langsung antara peserta lelang (perusahaan) dengan panitia pengadaan. Namun sistem tidak akan pernah bisa menghalangi komunikasi yang dilakukan secara tertutup, apalagi telah melibatkan pihak ketiga dan seterusnya.

Langkah Gubernur DKI Jakarta untuk memantau sistem secara kontinu yang mengungkap adanya "dana siluman" patut dijadikan contoh oleh kepala daerah lainnya. Sebagai pengguna anggaran, baik kepala daerah, menteri, atau pemimpin lembaga/badan sudah semestinya mengontrol birokrasi, agar tidak bersekongkol dengan politikus di lembaga legislatif maupun dengan pebisnis korup.

Ada begitu banyak pekerjaan rumah di sektor anggaran yang patut terus diawasi, terutama oleh masyarakat. Keterbukaan anggaran yang diinisiasi oleh pemerintah sudah seharusnya dimanfaatkan oleh warga untuk ikut mengawasi pelaksanaannya.

Partisipasi aktif warga dalam mengawasi anggaran adalah pilihan paling realistis ketika lembaga politik justru menjadi bagian dari praktek mafia anggaran. Fungsi representasi yang telah dibajak untuk memanipulasi anggaran publik seharusnya disadari sebagai sebuah ancaman bagi keberlangsungan kepentingan banyak orang. Maka tidak ada pilihan lain bagi warga untuk secara bersama satu padu dalam gerakan menumpas pembegalan anggaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar