Sabtu, 07 Maret 2015

Mengubah Perilaku Bangsa

Mengubah Perilaku Bangsa

Sudjito  ;  Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO, 06 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

KORAN SINDO menurunkan Tajuk berjudul ”Negeri Gaduh” (28/2/15). Sorotan terhadap realitas politik, sosial, hukum, anggaran, dan kriminalitas cukup merepresentasikan kondisi negeri ini sebagai negeri gaduh.

Konflik Polri versus KPK terus berulang dan berkepanjangan, tak jelas muaranya. Terlepas dengan sikap yang telah diambil Presiden, kita tidak begitu yakin penegakan hukum di negeri ini semakin membaik. Tidak lain karena perilaku bangsa sudah telanjur korup. Sungguh dikhawatirkan, aktivitas pemberantasan korupsi masih terkendala karakter bangsa dan berbagai implikasi negatif konflik laten tersebut.

Perlu digarisbawahi bahwa karena kegaduhan itu, energi bangsa terkuras, para pejabat dan aparat negara tidak fokus menjalankan tugas. Fungsi-fungsi penting yang merupakan tugas pokok masing-masing bahkan sering diabaikan dan ditinggalkan. Pelayanan publik jadi kurang baik dan tentu saja merugikan masyarakat.

Pada hemat saya, untuk mengubah negeri ini dari gaduh menjadi teduh, perlu diawali dengan mengubah perilaku bangsa, dari korup menjadi jujur, dari kufur menjadi syukur. Kita sadar bahwa keinginan sebagian besar masyarakat agar kegaduhan segera diakhiri masih sulit terwujud. Ini semua bukan pekerjaan mudah dan sederhana, melainkan pekerjaan berat dan kompleks.

Tidak lain karena perilaku kufur dan korup telah mewabah, merambah berbagai kalangan penyelenggara negara maupun warga negara, di pusat maupun daerah. Kasus-kasus yang dideskripsikan Tajuk tersebut sarat dengan perilaku nista pihak-pihak terkait. BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dugaan korupsi. Ahok berseteru dengan DPRD DKI karena dugaan anggaran siluman.

Begal sepeda motor dibakar karena masyarakat habis kesabarannya. Ego individu, ego kelompok, maupun ego kelembagaan justru dipertontonkan para elite tanpa rasa bersalah, tanpa upaya pengendalian diri dan introspeksi. Dengan mengedepankan ungkapan ”politik itu dinamis”, perilaku politisi sulit dipegang konsistensinya. Orang Jawa bilang: ”esok dele, sore tempe, alias leda-lede, mencla-mencle”.

Secercah sinar terang muncul ketika Presiden Joko Widodo mengemukakan tekadnya untuk melakukan revolusi mental. Dalam rangka mengubah perilaku bangsa, pemerintah sudah menyediakan dana Rp149 miliar untuk anggaran revolusi mental. Dana sebesar itu akan digunakan untuk kampanye ubah perilaku misal melalui iklan, film, dialog publik, dan menyuruh tokoh-tokoh agama bicara perubahan perilaku.

Dana diberikan kepada Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan dan pelaksanaannya akan dibagikan kepada kementerian-kementerian terkait. Akankah revolusi mental berhasil, sementara program dan indikator keberhasilannya belum jelas?

Sekadar urun-rembuk, revolusi mental sebenarnya dapat disederhanakan sebagai program pengubahan perilaku bangsa agar senantiasa mengedepankan perilaku syukur atas dua hal yaitu: (1) rahmat Tuhan berupa kemerdekaan, dan; (2) penguasaan tanah, air, serta sumber daya alam melimpah. Syukur di sini dalam maknanya ”menggunakan atau mengolah nikmat yang dilimpahkan Tuhan sesuai dengan tujuan dianugerahkannya”.

Sebagai bangsa, kita yakin dengan daya kreasi atau inisiasi yang melekat pada jiwa setiap warga negara bahwa kemerdekaan dapat dijadikan peluang untuk membangun negara. Sumber daya alam melimpah, laksana jamrud khatulistiwa, bila digunakan dan diolah bangsa sendiri secara bijak, pastilah mendatangkan kesejahteraan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Cinta Tanah Air dan berdaulat atas negeri sendiri merupakan manifestasi perilaku syukur dan keberhasilan revolusi mental. Boleh jadi kita galau, resah, gelisah melihat realitas bahwa neokolonialisasi negara atau perusahaan asing atas negeri ini semakin membelenggu. Utang luar negeri terus bertumpuk.

Data terbaru Bank Indonesia yang dirilis 19 Februari 2015 per kuartal keempat 2014 sebesar Rp3.759 triliun. Sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, listrik, gas, dan air bersih menjadi penyumbang utang terbesar swasta. Dalam penguasaan sumber daya alam, Freeport menguasai emas, tembaga, dan hasil tambang lain di Bumi Cenderawasih, sementara pemerintah hanya memperoleh 10% dari seluruh hasilnya.

Hutan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dibagi-bagi melalui hak pengelolaan hutan kepada para petinggi dan dikerjasamakan dengan perusahaan asing. Negara hanya memperoleh bagian sekitar 20% dari iuran hasil hutan dan pajak. Dari tambang batu bara dan hasil tambang lain, negara hanya memperoleh sekitar 30%, sementara 70% lainnya menjadi hak pemegang konsesi.

Data kasar tersebut cukup memberi gambaran bahwa kita belum berdaulat atas negeri sendiri. Dalam perspektif teologi hukum, gelisah atas nasib negeri merupakan bagian dari siksa Tuhan di dunia. Mengapa bangsa ini disiksa? Tentu karena pelanggaran terhadap norma-norma yang ditetapkan-Nya. Nafsu menumpuk harta, ingin cepat kaya, ingin langgeng berkuasa, adalah contoh-contoh perilaku nista yang dibenci Tuhan dan makhluk-Nya.

Apalagi, seiring bergolaknya nafsu duniawi, hukum direkayasa melalui aktivitas politik dan bisnis, agar perilakunya seolah-olah legal, padahal yang demikian itu amoral. Di dalam Pancasila, nilai-nilai keadaban dan keadilan menjadi dasar dan sumber membentuk perilaku syukur. Pada jiwa manusia beradab tertanam budi luhur dan melalui pendayagunaan cipta, rasa, dan karsanya dihasilkan kebudayaan.

Perilaku korup, jelas bukan budaya, bukan lahir dari keluhuran budi, melainkan mentalitas sesat dan rakus terhadap uang negara. DPR, Polri, dan Badan Pertanahan Nasional ditengarai merupakan lembaga-lembaga terkorup, sementara KPK tergolong lembaga paling bersih. Barangkali akan efektif bilamana revolusi mental diprioritaskan terhadap lembaga-lembaga negara terkorup tersebut.

Perubahan perilaku bangsa dapat diamati keberhasilannya ketika dari hamparan laut luas, segenap komponen bangsa dapat makan ikan segar dengan harga murah, memakai perhiasan nan indah, dapat berlayar dengan aman dan nyaman, serta menikmati indahnya mata hari terbit maupun tenggelam. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar