Rabu, 18 Maret 2015

Melawan Keraguan Eksekusi Mati

Melawan Keraguan Eksekusi Mati

Jawahir Thontowi  ;  Profesor Ilmu Hukum dan Direktur Centre for Local Law Development Studies, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
MEDIA INDONESIA, 18 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

BEBERAPA anggota DPR RI mulai meragukan tekad Presiden Jokowi melakukan eksekusi mati terpidana narkotika. Menunggu putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung untuk terpidana Mary Jane Fiesta Veloso, Martin Anderson dari Ghana, dan Serge Arezki Atlaoui dari Prancis merupakan sikap bijak. Jaksa Agung mendesak percepat PK ke MA dengan harapan tidak ada masalah ketika sudah eksekusi (Media Indonesia, 17/3).

Namun, ide tersebut menjadi kurang tepat. Jika MA menggunakan masa optimal PK selama 3 bulan, berarti kerja terburu-buru. Praktik PK tergesa-gesa dapat menimbulkan putusan MA yang tidak berkeadilan. Jauh lebih baik, Jaksa Agung segera mengeksekusi 7 orang terpidana mati yang sudah final. Penundaan akibat PK tiga orang terpidana bisa tidak relevan mengingat persiapan sudah 100%.

Sangat menggiurkan ketika Australia meminta barter pembebasan terhadap dua terpidana mati, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dengan biaya rehabilitasi narkotika dan pembiayaan perdagangan orang. Itu merupakan diplomasi yang menggoda. Presiden Jokowi menolak penghentian hukuman mati dari negara-negara sahabat. Namun, kebanggaan terhadap Presiden bisa memudar jika eksekusi terus tertunda.

Kewajiban negara dalam diplomasi eksekusi mati terpidana warga negara asing tergolong urusan kedaulatan negara secara domestik. Tidak ada kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk mengabulkan permohonan negara sahabat. Konvensi Wina 1961 tentang Hukum Diplomatik, Pasal 41 ayat (1) menegaskan bahwa negara-negara pengirim diwajibkan untuk menghormati hukum dan peraturan hukum lainnya dari negara penerima (The duty to respect the laws and regulations of the receiving state).

Baik pemerintah Australia, Belanda, Brasil, maupun juga Filipina wajib menghormati eksekusi mati dalam sistem hukum Indonesia. Namun, kewajiban melindungi warga negara yang dipaksakan, sebagaimana dilakukan Brasil dan Australia bisa kontraproduktif. Kasus penolakan wakil diplomatik Indonesia oleh Presiden Brasil yang sudah tiba di negerinya berbuntut panjang. Tindakan Presiden Brasil bukan hanya tidak pantas, melainkan juga merupakan penjatuhan sanksi `persona non-grata' tanpa alasan hukum jelas. Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961 berbunyi, `..., notify the sending State that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is persona non grata or that any other member of the staff of the mission is not acceptable.' 

Berbeda halnya dengan Australia yang mengajukan pembebasan dua narapidana. Barter narapidana atau ekstradisi sebagaimana Pemerintah Australia bisa dilakukan. Namun, dalam realisasinya sulit digunakan. Sejak 1992, Indonesia dengan Australia memiliki perjanjian ekstradisi. Prinsip double criminality, yaitu jenis kejahatan narkotika sama-sama terlarang di kedua negara dapat digunakan sebagai argumentasi dimungkinkannya barter narapidana. Indonesia tetap menolak permohonan Australia, mengingat sistem hukum Australia mengualifikasi narkotika bukan kejahatan luar biasa dan tidak mengenal hukuman mati.

Tidak kalah pentingnya, jika pengunduran eksekusi mati dikaitkan dengan peninjauan kembali (PK) untuk terpidana Mary Jane Fiesta Veloso dinilai sangat bijak. Adanya novum, yaitu unsur bahasa yang digunakan di pengadilan tidak dipahami terpidana wajib dipertimbangkan. Namun, tidak boleh menghalangi tekad bulat eksekusi mati 9 warga negara asing-warga negara Indonesia narapidana yang sudah in kracht.

Adanya novum dari aspek bahasa sungguh signifikan untuk secara tepat mengujikan bahan putusan.Marc Glucksman Antropolog di Manchester University, Inggris, menyatakan bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan dalam hukum, bahasa merupakan sarana keadilan. Keyakinan menerapkan eksekusi mati tidaklah sendirian.Argumentasi negara-negara modern yang tunduk pada HAM universal terbebas hukuman mati tidak sepenuhnya benar. Lebih dari 40 negara anggota PBB masih menerapkannya.

Karena itu, tidak perlu ada keraguan lagi bagi Presiden Jokowi. Khusus Jaksa Agung, untuk segera melakukan eksekusi, terkecuali mereka yang belum in kracht. Penolakan aktivis HAM Indonesia atas hukuman mati tidak dapat dipersalahkan. Indonesia tergolong negara pihak Konvensi Internasional tentang Penyiksaan dan Penghukuman yang kejam telah diratifikasi dengan UU Nomor 5 Tahun 1998.Tidak kurang dari 144 negara telah meratifikasinya. AS, sebagai negara paling getol menyuarakan HAM dan antihukuman mati, gagal menghentikan eksekusi mati di negara-negara bagiannya. Kini, Presiden Jokowi jauh lebih utama mendengarkan suara rakyat dan wakil-wakilnya. Beberapa argumentasi sudah lebih signifikan untuk melawan ragu eksekusi mati.

Pertama, eksekusi mati merupakan sanksi terberat dalam sistem hukum Indonesia. Dalam hukum Indonesia, kejahatan dengan pidana mati, yaitu kejahatan teroris (UU Nomor 15 Tahun 2003), kejahatan narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), kejahatan korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999), dalam kejahatan makar Pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa. Semakin yakin pula bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi, mengingat Putusan MK No 34/PPUU/XI/2013 yang menolak usulan penghapusan hukuman mati.

Kedua, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tidak hanya didasarkan pada hukum rasional, tetapi kepada sistem nilai, hukum yang hidup dan budaya masyarakat. Nilai-nilai religius demi perlindungan terhadap korban narkotika.
Pemerintah untuk tidak ragu-ragu melakukan eksekusi mati. Ketiga, lebih utama dilakukan pemerintah Indonesia ialah mencegah kerusakan bencana narkoba bagi generasi muda di masa mendatang. Data Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia dengan BNN 2014, sebanyak 33 orang meninggal setiap harinya.

Akhir kata, praktik diplomasi negara-negara sahabat untuk menghentikan hukuman mati narkotika tidak perlu membuat Presiden Jokowi ragu. Model diplomasi Brasil dan Australia sesungguhnya telah melanggar Konvensi Wina dan merusak hubungan diplomasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar