Demografi
dan Korupsi
Sonny Harry B Harmadi ; Kepala
Lembaga Demografi FEB UI;
Ketua Umum Koalisi Kependudukan
|
KOMPAS,
11 Maret 2015
Beberapa tahun terakhir, isu korupsi tak henti menjadi
pemberitaan media. Namun, belum ada analisis yang menghubungkan korupsi
dengan kondisi demografi di Indonesia. Padahal, banyak penelitian di negara
lain yang menelaah kaitan korupsi dan demografi.
Di tengah maraknya korupsi, Indonesia sebenarnya sedang
berada dalam periode bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif
(15-64 tahun) mencapai lebih dari 67 persen penduduk Indonesia. Namun,
potensi bonus demografi bisa gagal kita manfaatkan jika korupsi berlangsung
masif.
Memahami demografi sangat penting bagi penyusunan strategi
pembangunan, termasuk upaya pencegahan korupsi. International Union for the Scientific Study of Population
mendefinisikan demografi sebagai studi ilmiah masalah penduduk yang berkaitan
dengan jumlah, struktur, dan pertumbuhannya. Adapun korupsi didefinisikan
sebagai setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No 31/1999 juncto UU No
20/ 2001).
Namun, sebelum lebih jauh memahami hubungan korupsi dengan
demografi, kita perlu menyadari keterkaitan korupsi dengan data kependudukan.
Data penduduk yang valid dan reliable adalah prasyarat utama pembangunan yang
efektif dan berkeadilan. Karena itu, manipulasi dan korupsi berawal dari data
kependudukan yang tak akurat.
Struktur penduduk
Penelitian Farzanegan dan Witthuhn (2014) menunjukkan
bahwa dinamika demografi dan instabilitas politik suatu negara sangat
ditentukan oleh tingkat korupsinya. Artinya, Indonesia dengan jumlah penduduk
usia produktif besar (sejak 2012 masuk periode bonus demografi) akan
menghadapi instabilitas politik jika tingkat korupsi tinggi.
Korupsi akan mengurangi kesempatan kerja, mendorong
terjadinya kesenjangan akibat manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati
kelompok menengah ke atas yang dekat dengan kekuasaan maupun yang berkuasa.
Korupsi menyebabkan kemampuan pemerintah dalam pembiayaan investasi publik
berkurang. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rendah
sehingga angka pengangguran tinggi dan menjadi sumber instabilitas politik.
Jumlah penduduk usia produktif yang besar menciptakan
tekanan di pasar kerja. Persaingan untuk memperoleh pekerjaan semakin ketat.
Dampaknya adalah tingginya pengangguran usia muda. Kelompok muda akan menyuarakan
protes terhadap korupsi, karena mereka terkena dampak langsung korupsi.
Situasi politik yang tidak stabil akan menurunkan minat
investor berinvestasi, ujungnya berdampak pada rendahnya penciptaan lapangan
kerja baru. Belajar dari fenomena ”Arab Spring” di Timur Tengah dan Afrika
Utara, instabilitas politik itu dipicu oleh melimpahnya jumlah penduduk usia
produktif, mahalnya harga pangan, dan tingginya tingkat pengangguran.
Kita juga harus menyadari bahwa struktur penduduk
Indonesia saat ini didominasi oleh mereka yang lahir setelah kemerdekaan.
Tentu ada perbedaan values antara generasi yang lahir sebelum dan setelah
kemerdekaan. Sebagian generasi saat ini mengutamakan materi sehingga
berpotensi melakukan korupsi.
Pertumbuhan penduduk
Korupsi jelas berdampak langsung terhadap efektivitas
kebijakan publik. Berkurangnya kemampuan pengeluaran pemerintah akibat
korupsi memengaruhi kualitas maupun kuantitas pelayanan dan barang publik
yang disediakan pemerintah.
Buruknya pelayanan kesehatan, misalnya, bisa berdampak
pada tingginya angka kematian balita dan rendahnya tingkat keberlangsungan
hidup anak. Padahal, setiap keluarga dihadapkan pada memilih keputusan antara
kuantitas atau kualitas anak. Jika kualitas pelayanan kesehatan anak buruk,
maka keluarga cenderung mengambil keputusan untuk memiliki anak dalam jumlah
yang lebih banyak.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa orangtua memiliki
jumlah anak banyak. Pertama, buruknya akses pelayanan kesehatan menyebabkan
tingkat keberlangsungan hidup anak menjadi rendah. Akibat risiko kematian
anak yang tinggi, keluarga memilih untuk mengurangi risiko tersebut dengan
memiliki banyak anak.
Kedua, anak merupakan faktor produksi yang dapat membantu
orangtuanya untuk bekerja dan memperoleh pendapatan.
Ketiga, dalam kondisi ketiadaan jaminan hari tua, orangtua
hanya mengandalkan jaminan hari tua dari anak-anaknya sehingga semakin besar
jumlah anak, semakin besar pula jaminan hari tuanya.
Korupsi secara tidak langsung dapat berdampak pada naiknya
angka kelahiran sehingga laju pertumbuhan penduduk akan naik pula. Akan
terjadi shifting dari paradigma yang mengedepankan kualitas anak menjadi
orientasi pada kuantitas anak. Pembentukan modal manusia bisa terhambat
pemerintahan yang korup. Keberhasilan program keluarga berencana dapat hilang
akibat korupsi.
Migrasi
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa korupsi yang masif
di suatu wilayah dapat menjadi faktor pendorong migrasi ke luar. Penduduk
yang memiliki keterampilan serta pendidikan tinggi cenderung pergi ke wilayah
lain untuk bekerja.
Jika para pekerja terampil melakukan mobilitas ke daerah
lain, tentunya berdampak buruk bagi pembangunan daerah asalnya. Untuk kasus
Indonesia, daerah-daerah dengan tingkat korupsi tinggi berpotensi
ditinggalkan oleh penduduknya yang memiliki keterampilan serta pendidikan
yang baik. Hal ini akan memperburuk kesenjangan pembangunan antardaerah dalam
jangka panjang.
Sudah jelas bahwa korupsi menjadi ”musuh” kita bersama
dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Korupsi berimplikasi buruk terhadap
dinamika penduduk suatu negara maupun daerah. Tentu masih banyak analisis
dari sudut pandang selain demografi untuk menunjukkan betapa buruknya korupsi
bagi kehidupan kita semua.
Semoga momentum bonus demografi saat ini dapat kita
optimalkan dengan terus memerangi korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar