Merencanakan
Pembangunan
Yanuar Nugroho ; Akademisi di Universitas Manchester, Inggris; Asisten Ahli Kepala Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
|
KOMPAS,
06 Oktober 2014
BARANGKALI
tujuan paling penting bagi semua pemerintahan adalah melakukan pembangunan.
Bahkan, satu agenda pokok dunia adalah menentukan tujuan pembangunannya.
Dengan
berakhirnya Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) tahun 2015, dunia mulai
berdebat soal penerusnya. Seolah sederhana, tetapi juga di sini jantung
perkara: apakah pembangunan ditentukan lewat rencana dan metode, ataukah
lewat ideologi, atau justru angan belaka?
Pokok
ini, walau kelihatan jauh di sana, akan segera mendera kita. Merancang
pembangunan pada masa depan tak hanya perkara global, tetapi justru ada di
jantung persoalan nasional. Ada dua butir refleksi di sini: pemahaman kita
akan pembangunan dan problematikanya serta cara kita merencanakan pembangunan
dan implikasinya.
Satu
persoalan besar pembangunan dunia adalah kemiskinan. UNDP (2014) melaporkan,
lebih dari 5 miliar orang masih hidup di bawah 1,25 dollar AS per hari. Tak
hanya itu, setiap hari 22.000 anak-anak meninggal karena kemiskinan (Unicef,
2013), 27-28 persen anak di negara berkembang tinggi badannya tak sebanding
beratnya (WHO, 2014), dan 72 juta anak tidak pernah sekolah, dan 1 miliar
orang masih buta huruf (UNESCO, 2013). Selain itu, 40 juta orang terinfeksi
HIV/AIDS, 1 miliar orang tak bisa mendapat air bersih, dan 2,6 miliar tidak
bisa menikmati sarana sanitasi dasar (UNDP, 2013).
Padahal,
menurut OECD (2014), negara-negara donor mengucurkan lebih dari 134,8 miliar
dollar AS dana pembangunan ke negara miskin dan berkembang tahun 2013. Jumlah
ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, dana khusus
pencapaian MDG juga tersedia. Lantas, apa yang salah dalam cara pikir dunia
jika sampai kini kemiskinan tak juga mereda?
Kontras
di atas mungkin menunjuk fakta bahwa dunia gagal memahami kerumitan persoalan
pembangunan, seperti kemiskinan. Kemiskinan kini bukan soal uang belaka. Ia
memang selalu terkait dengan kesenjangan pendapatan dan belanja. Namun,
seperti dikatakan Amartya Sen (1981), kemiskinan sekaligus perkara kesehatan,
pendidikan, bahkan keadilan dan akses terhadap sumber daya. Begitu juga
persoalan pembangunan lainnya.
Untuk Indonesia baru
Gambaran
dunia, meskipun tak sama, tetap serupa muncul di Indonesia. Sementara ekonomi
bisa tumbuh 6-7 persen per tahun, lebih dari 11,25 persen penduduk ternyata
hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2013). Dengan angka kelahiran 4,5-5
juta per tahun dan angka kematian ibu melahirkan saat ini 359 per 100.000
kelahiran hidup, lebih dari 16.000 perempuan per tahun di republik ini
meninggal saat melahirkan. Saat ini, 5,7 persen penduduk menganggur dan lebih
dari 1,5 juta siswa tidak melanjutkan pendidikan lebih tinggi karena
kemiskinan (BPS, 2013).
Jelaslah,
kemiskinan di Nusantara adalah jalinan berbagai perkara: tiadanya akses
terhadap pangan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, jembatan,
kesempatan berusaha, akses terhadap pasar, dan masih banyak aspek lainnya.
Kemiskinan dan problem pembangunan lainnya selalu punya banyak rupa.
Namun,
lihatlah cara kita mengatasinya. Mungkin karena defisit imajinasi,
menggelontorkan dana dan berbagai turunan cash-transfer-nya segera jadi
primadona pembangunan kita. Sebut saja program serupa penyaluran beras untuk
rakyat miskin, pemberian beasiswa bagi siswa miskin, dan pelaksanaan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Namun,
justru di sini soalnya: kemiskinan tampaknya hanya dipahami sebagai angka
pendapatan dan pengeluaran. Maka, jangan heran dengan fakta berikut.
Pemerintah sudah mengeluarkan Rp 468,2 triliun (2007-2012) untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan turunannya. Hasilnya? Tak signifikan. Saat ini 11,25 persen
penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan, hanya turun dari 11,6 persen
pada 2012 dan 11,96 persen pada 2011 (BPS, 2012; 2013).
Maka,
perlulah bertanya: bagaimana kita merencanakan pembangunan? Pertanyaan ini
penting tak hanya bagi pembelajaran dari pemerintahan saat ini, tetapi justru
bagi pemerintahan baru yang harus membangun Indonesia baru.
Tiga hal kunci
Beberapa
perkara jadi kunci utama. Pertama, fokus pembangunan. Kini saatnya jargon dan
janji kampanye diterjemahkan menjadi prioritas, target, dan indikator konkret
pencapaian pembangunan. Apa saja prioritas pemerintahan mendatang?
Prioritas
pembangunan menunjukkan keberpihakan. Berikut beberapa catatan.
Memprioritaskan reformasi birokrasi dan penegakan hukum, misalnya memberi
sinyal bagaimana pemerintah mau dirinya ikut berbenah. Pemenuhan kebutuhan
dasar, seperti pangan, papan, air, dan kesehatan, menegaskan kesejahteraan
hak semua warga.
Memastikan
ketersediaan infrastruktur pembangunan dan teknologi di seluruh pelosok
negeri untuk membangun ekonomi mengirim pesan kesenjangan bisa dilawan.
Memberikan perhatian pada pendidikan, reformasi media, dan budaya menunjukkan
pemahaman perlunya mengembalikan keadaban publik. Menjaga lingkungan,
memberikan keyakinan bahwa sumber daya tidak boleh dikeruk serampangan atas
nama pembangunan.
Kedua,
bagaimana pembangunan dilakukan agar prioritas bisa diimplementasikan tuntas?
Ini terkait dengan target dan indikator spesifik yang harus dirumuskan serta
perlu diterjemahkan dalam angka dan kapan harus direalisasikan.
Ketiga,
untuk itu, membangun mesti dengan cara baru. Untuk memastikan jaminan
kesehatan, perlu pendekatan lintas kementerian yang melibatkan tak hanya
kesehatan, tetapi juga terkait keuangan, pekerjaan umum, kependudukan dan
perencanaan keluarga, informasi dan komunikasi, ketenagakerjaan, dan lain-
lain. Hal yang sama berlaku untuk semua: dari pangan, pendidikan, dan
lingkungan, hingga reformasi birokrasi, ekonomi, dan keuangan serta
investasi.
Jelaslah,
implikasinya adalah cara kerja pemerintah. Pembangunan memang kompleks dan
berliku. Karena itu, di tengah ingar-bingar persiapan pemerintah baru, ada
hal yang mutlak kita perlu tahu: jabatan publik strategis untuk melaksanakan
pembangunan mensyaratkan keterampilan teknis di samping pengaruh politis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar