Selasa, 14 Oktober 2014

Literasi dan Politisi

                                                  Literasi dan Politisi

Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya
KOMPAS,  13 Oktober 2014

                                                                                                                       


SALAH satu yang bikin kita takjub terhadap manusia pergerakan adalah mereka hadir ke gelanggang politik tidak dengan kepala hampa, tetapi justru dengan ilmu pengetahuan yang menjulang. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Soekarno, Sjahrir, M Yamin, Tan Malaka, Agus Salim, Hatta, Natsir, dan lainnya adalah sosok yang mencerminkan ”bangsawan pikir”. Akrab dengan literasi, aktif berdiskusi, dan terus melakukan kontak dengan massa. Dari penjara Sukamiskin, Bandung Timur, atas tuduhan pelanggaran UU Hukum Pidana pasal haatzaai artikelen, Soekarno menulis   Indonesia Menggugat, semula sebagai pleidoi di Gedung Landraad pemerintah kolonial Belanda di Bandung, 18 Agustus 1930.

Buku yang jadi dokumen sejarah politik Indonesia itu ditulis mendalam dengan banyak jejak literasi yang telah diendapkannya sebagai pertanda Soekarno muda rakus membaca sambil dihubungkan dengan dinamika peristiwa politik yang dialami bangsanya. Buku yang memiliki pengaruh besar bukan hanya terhadap takdir keindonesiaan, melainkan juga bangsa-bangsa lain yang masih dalam sekapan kaum kolonial meski pada akhirnya dia tetap dijatuhi hukuman.

Tan Malaka sebagai sosok yang produktif dan orang pertama yang menulis kata ”Indonesia merdeka” dalam Naar de Republiek Indonesia pada 1925 di negeri pembuangan—ketika dipenjara oleh Soekarno karena bersimpangan jalan secara ideologis—dengan intim dan penuh daya gugah menuliskan seluruh pengalaman hidupnya dan seluruh amal politik anti kolonialismenya yang total dalam tiga jilid buku berharga Dari Penjara ke Penjara dengan sebuah keyakinan yang tak bisa ditawar seperti dituliskan di bukunya.

”Buku ini saya namakan Dari Penjara ke Penjara. Memang saya rasa ada hubungannya antara penjara dan kemerdekaan sejati. Barang siapa yang sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri sendiri. Siapa ingin merdeka, ia harus siap dipenjara”. Dia juga menulis Gerpolek, Madilog, Massa Aksi, dan Menuju Republik.

Seorang bernama Hatta ketika berada di balik terali besi  di penjara Den Haag, Belanda (1927-1928), hari-harinya larut disibukkan dengan membaca banyak buku sambil menyiapkan ujian sidang di Rotterdamse Handel Hooge School. Saat menjadi manusia eksil di Boven Digoel, akhir 1935, lagi-lagi yang dijadikan teman setianya buku dalam jumlah tak terhitung. Puluhan dus diboyong dari rumahnya ke Digoel. Di Digoel semua buku itu dibaca cermat, dianalisis dengan dingin, dan kemudian dikeluarkan dalam bentuk tulisan yang dikirim ke berbagai media. Sebagai aktivis politik, ia masih sempat menulis Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi, Alam Pikiran Yunani (1943), dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (1964). 

Pewarisan tindakan

Mereka tidak hanya mewariskan tindakan politik yang penuh keteladanan: tentang kata yang selaras dengan perbuatan, etika yang dijadikan daulat utama, kejujuran yang dipegang teguh, kesetiaan dalam perkawanan, atau kesederhanaan dan asketisme yang dijadikan jalan kehidupan, tetapi juga dengan memukau mereka mewariskan banyak kitab yang bisa dibaca sampai hari ini. Maka tak heran ketika Indonesia diproklamasikan, mereka menjadi elite baru. Gedung konstituante dalam sekejap berubah menjadi arena perdebatan mencerahkan, menjadi panggung ilmiah adu ketangguhan mempertahankan pendapat dengan alasan yang akurat. Kuat dengan ilmu, menukik dalam telaah, dan jauh ke depan ketika memandang persoalan yang menyangkut hajat masa depan bangsa dan negara. Karena itu, produk UU yang dihasilkan pun sangat teruji, visioner, dan bermutu.

Wawasan yang luas tak hanya tecermin dari buku-buku yang telah ditulis, tetapi juga dari cara mereka merumuskan falsafah negara, menyelesaikan perdebatan, serta mencari jalan keluar yang disepakati semua secara lapang dan toleran. Semua sila dalam Pancasila, sebelum tampak seperti hari ini kita baca, lahir dari sebuah sengketa pemikiran yang panjang, argumentatif, dan ”panas”, termasuk pasal-pasal UUD 1945, Pembukaan, dan Piagam Jakarta. Karena saat itu kehormatan diletakkan di atas sikap keteguhan memegang prinsip kebenaran dan kejujuran, jarang kita temukan anggota konstituante dan atau anggota kabinet yang terjerat kasus korupsi, memburu proyek, bancakan anggaran, main perempuan, dan perbuatan naif lainnya.

Justru sebaliknya, kesederhanaan jadi bagian integral dari gaya hidup elite politik masa itu. Bagaimana setingkat Perdana Menteri Natsir, jasnya kelihatan sobek. Hatta sampai akhir hayatnya memendam cita-cita tak kesampaian memiliki sepatu Bally. Seorang diplomat ulung Agus Salim yang hidup tak ubahnya anak kos dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain sampai ajal menjemput.

Sjahrir yang sering kali pinjam uang. Tan Malaka yang tak sempat mencicipi buah manisnya kemerdekaan, tetapi hidup sebagai pelarian dari satu daerah ke daerah lain. Amir Sjarifudin, wakil PM Sjahrir, akhirnya harus terus berada dalam pelarian karena berbeda haluan dengan kekuasaan yang notabene kawan-kawannya sendiri.

Cermin hari ini
                                   
Setelah 69 tahun usia kemerdekaan, cerita itu tinggal kenangan, hanya ada dalam catatan sejarah yang sudah lusuh. Hari ini yang kita saksikan pemandangan berbanding terbalik. Gedung DPR di Senayan tak ubahnya showroom mobil-mobil mewah. Yang diparkir kebanyakan kendaraan dengan banderol miliaran  rupiah keluaran terakhir. Pelantikan anggota DPRD DKI jadi ajang kepongahan pamer kendaraan wah di tengah kebanyakan rakyat yang masih jelata.

Jangan bandingkan dengan kualitas persidangan manusia pergerakan. Yang terekam kini, perdebatan yang sebagian besar mencerminkan manusia yang tak karib dengan literasi. Bukan hanya bobot argumen yang dikedepankan dan produk legislasi yang dikeluarkan, dari cara berdiskusi mengajukan pertanyaan pun sangat mengecewakan. Militansi perjuangan itu hanya tampak digunakan untuk memperjuangkan UU yang dianggap sehaluan dengan kepentingan partai dan kaumnya. Kalau sudah menyangkut nasib partainya, apa pun dilakukan walaupun tak sepakat dengan rakyat yang telah memilihnya seperti dalam hiruk-pikuk UU Pilkada.

Lebih tragis lagi, tak sedikit manusia politik mutakhir setelah terpilih jadi anggota Dewan yang dilakukan tak lebih  cari obyekan di banyak kementerian. Menandai mata anggaran di APBN yang bisa ”dikerjasamakan” untuk kepentingan daerah pemilihannya. Selebihnya, duduk manis di kursi Senayan dengan mata terpejam. Sesekali studi banding ke luar negeri agar tampak kosmopolitan. ICW merilis, 48 caleg 2014-2019 terpilih tersangkut perkara korupsi. Dari jumlah itu, 26 orang akan menjabat anggota DPRD kabupaten/kota, 17 orang akan menjadi anggota DPRD provinsi, dan 5 orang akan dilantik sebagai anggota DPR (Kompas, 16/9). Zaman sudah berubah. Sayang perubahan itu bergeser ke arah atmosfer politik jahiliah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar