Jalan
Panjang Pilkada
Irfan Ridwan Maksum ; Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi,
FISIP, UI, Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah RI
|
KORAN
SINDO, 10 Oktober 2014
Berlalu sudah keputusan oleh DPR RI terhadap RUU mengenai pilkada
diambil. Sistem ini boleh dikatakan telah mengalami pasang-surut dalam bumi
NKRI. Pilkada langsung ataupun tidak langsung adalah strategis dalam NKRI,
karena melalui proses ini didapat pemimpin bangsa di tingkat lokal.
Intinya dalam proses tersebut adalah diperolehnya kepala daerah yang
berkualitas. Kepala daerah yang mengerti tugastugas pemerintahan, mampu
mengoperasionalkan kebijakan pusat di tempatnya, dan mampu mendorong kemajuan
daerahnya. Soal mekanismenya, yang sekarang dikenal dengan pilkada, berubah-ubah
caranya sepanjang sejarah NKRI. Pertanyaannya selalu dimunculkan, tepatkah
secara sistematis dengan bangun NKRI?
Tidak
Kompatibel
Dalam masa-masa awal kemerdekaan, karena serbataktis manajemen republik
ini membawa pengisian jabatan kepala daerah melalui pilkada amatlah sederhana
termasuk jabatan anggota DPRD. Jabatan kepala daerah masih bervariasi
polanya. Di beberapa tempat faktor keturunan menjadi mekanisme, di beberapa
tempat ex-officio, di beberapa
tempat diangkat pemerintah pusat. Namun, semuanya disahkan pemerintah pusat.
Secara normatif sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memiliki sejumlah
UU Pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur soal pilkada.
Undang-undang pertama, UU No 1 Tahun 1945, adalah UU yang paling
sederhana dan tidak terlalu jelas mengatur soal ini. Praktiknya juga
mencerminkan keadaan negara yang masih baru lepas dari kemerdekaan. Banyak
kepala daerah adalah hasil masa penjajahan. Kepala daerah yang mengikuti UU
tersebut umumnya ex-officio pejabat
pusat di daerah, terdapat pula kepala daerah yang merupakan mantan pejuang
dalam Komite Nasional Indonesia di Daerah. Undang-undang berikutnya, UU No 22
Tahun 1948, diatur bahwa pilkada oleh DPRD.
Undang-undang ini menyatakan bahwa kepala daerah tidak berdiri sendiri
dalam menjalankan pemerintahan daerah. Kepala daerah memimpin sebuah dewan
terdiri dari beberapa orang berjumlah ganjil termasuk dengan dirinya. Anggota
yang lain tersebut diambil dari anggota DPRD untuk menjalankan pemerintahan
daerah. Maka dikenal sistem “plural executive“ sama dengan di masa UU
sebelumnya. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kepala daerah baik di
provinsi maupun kabupaten/kota saat itu, sebagai perpanjangan tangan
pemerintah pusat (wakil pemerintah).
Dikenal dengan sistem prefektur dan bersifat fused sehingga terjadi
peran ganda pada seorang kepala daerah. UU No 22 Tahun 1948 diganti oleh UU
No 1 Tahun 1957. UU pengganti ini mengatur pilkada langsung dan tidak
mengenal kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pusat, baik gubernur
maupun bupati/ wali kota. Tidak ada wakil pemerintah di daerah pada masa UU
ini. Namun, UU tersebut masih mengenal “plural
executive“. Kepala daerah memimpin dewan pemerintah daerah sebagai elemen
tertinggi dalam pemerintah daerah.
Anggotanya diambil dari anggota DPRD sebagian yang terpilih dan
berjumlah ganjil. Pada saat itu, di tingkat nasional terjadi pergantian
sistem presidensial menjadi parlementer. Di tingkat nasional menganut sistem
multipartai. Di tingkat nasional terjadi perpecahan antara Bung Karno dan
Bung Hatta. Bung Hatta keluar dari kabinet karena ketidaksetujuannya terhadap
sistem pilkada langsung tersebut. Praktiknya sampai UU tersebut dicabut
kembali, pilkada langsung yang diatur oleh UU tidak pernah terlaksana. Hampir
semua kepala daerah adalah hasil pemilihan melalui DPRD hasil UU sebelumnya.
Undang-undang berikutnya, UU No 18 Tahun 1965, mencabut kembali sistem
pilkada langsung yang sampai masa Pak Harto dianut. Pilkada saat itu melalui
DPRD. Pada saat UU 18/1965, pimpinan DPRD wajib diisi oleh Nasakom sesuai UU tersebut.
Kepala daerah masa Pak Karno ini, semua diisi oleh unsur Nasakom. Dalam masa
ini, eksekutif bersifat tunggal karena tidak bersama-sama memimpin dengan
suatu badan atau dewan seperti pada masa sebelumnya. Kepala daerah kembali dual-role. Menurut UU, di samping
sebagai kepala daerah, juga merangkap sebagai wakil pemerintah pusat.
Bahkan, DPRD tunduk kepada wakil pemerintah pusat. Pada masa ini
justru, DPRD memberi laporan kepada Wakil pemerintah. Secara nasional,
terjadi pergeseran sistem presidensial kembali. Multipartai masih diacu
dengan dominasi Nasakom. Sistem pilkada oleh DPRD diteruskan oleh UU No 5 Tahun
1974. Masa ini menganut eksekutif tunggal seperti UU sebelumnya. Dual-role
juga demikian, tetap diacu dengan keadaan nasional telah berubah. Multipartai
tidak dianut, hanya tiga partai. Dominasi eksekutif sangat kuat dengan tetap
diacunya presidensial.
Pemilihan kepala daerah cenderung rekayasa pemerintah pusat. Dalam hal
ini, DPRD sangat lemah. Undang-undang penggantinya, UU No 22 Tahun 1999,
pilkada tetap melalui DPRD ditambah hak impeach DPRD atas kepala daerah.
Dikenal istilah legislative heavy.
Stagnasi pemerintahan terjadi karena hubungan antara DPRD dan kepala daerah
sering kali dispute. Gubernur
bertindak pula sebagai wakil pemerintah, sedangkan bupati/walikota tidak. Di
tingkat nasional tetap dianut sistem presidensial hanya menganut multipartai.
Keadaan di tingkat daerah yang tidak kondusif membawa keinginan
merevisi UU tersebut. Keinginan yang kuat adalah mengubah Pilkada melalui
DPRD ke pilkada langsung. Akhirnya, pilkada langsung dianut oleh UU No 32
Tahun 2004 pengganti UU 22/1999. Sistem wakil pemerintah masih berlaku hanya
di pundak gubernur, sedangkan bupati/wali kota berkedudukan sebagai kepala
daerah semata. Sistem multipartai dianut dan legislative heavy masih mewarnai di tingkat nasional.
Pilkada di tangan DPRD masa UU No 22/1999 dan pilkada langsung masa UU
No 32/ 2004, semuanya menganut sistem paket. Dalam kedua sistem, dipilih
kepala daerah bersama-sama seorang wakil kepala daerah. Dua UU terakhir yang
dilahirkan sejak masa reformasi ini dikenal dengan UU pengubah momentum pelaksanaan
otonomi daerah di bumi NKRI yang mengacu ‘local-democratic
model’. Keduanya tergolong hasil big-bang
approach dalam desentralisasi di Indonesia.
Pelajaran
Berharga
Pilkada langsung di bumi NKRI diacu oleh para pendiri negara dan
penerusnya dengan memperhatikan sistem yang berkembang, tidak sepenggal-sepenggal
hanya memikirkan nilai demokrasi. Nilai demokrasi jika dipikirkan semata,
tentu Inggris, Australia, Prancis, Jerman sebagai negara-negara sangat
demokratis seharusnya memilih pilkada langsung. Buktinya mereka tidak
menganutnya, bahkan sebagian besar pemerintah daerah di Amerika Serikat pun
tidak dengan pilkada langsung.
Sistem wakil pemerintah pun menjadi acuan. Negara-negara di mana dianut
wakil pemerintah, maka tidak dianut pilkada langsung. Pendiri negara memahami
betul soal ini. Sistem kepartaian harus diperbaiki. Seharusnya DPRD pun dapat
diisi oleh kalangan nonpartai agar mampu menampung calon independen. Ini
semua soal kekompakan antarsubsistem pemerintahan dalam NKRI. Dengan demikian,
pilkada melalui DPRD juga memiliki agenda perbaikan, pilkada langsung pun
demikian terhadap bangun NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar