Minggu, 19 Oktober 2014

Indeks Kinerja Anggota DPR

                                    Indeks Kinerja Anggota DPR

Adnan Pandu Praja  ;   Komisioner KPK
KOMPAS,  14 Oktober 2014

                                                                                                                       


DIPERLUKAN parameter untuk bisa menilai kinerja anggota Dewan agar tak melupakan janji politiknya sehingga tidak kian mencederai konstituennya.
Vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Hampir tidak ada anggota DPR yang tidak memahami adagium tersebut. Sebagai warga terhormat, mereka sangat paham di mana posisi Tuhan, kapan menggunakan nama Tuhan, dan kapan mengabaikannya. Nama Tuhan akan semakin tergeser seiring dengan semakin kuatnya kepentingan politik yang tidak menyejahterakan rakyat. Semakin besar kepentingan politik, akan semakin besar peluang untuk ditunggangi kepentingan pribadi. Lantas di mana suara rakyat? Suara rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilu sekali dalam lima tahun. Mereka sangat berpotensi menyalahgunakan wewenangnya.

Agar tidak sembrono menyandang jabatan anggota Dewan, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang lama ataupun yang baru mewajibkan anggota Dewan bertanggung jawab  secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Namun, kenyataannya cenderung diabaikan. Bahkan, klausul yang mewajibkan fraksi mengevaluasi kinerja anggotanya dan melaporkan hasilnya kepada publik yang semula ada dihapus. UU MD3 yang baru tak mengakomodasi rekomendasi KPK agar pertanggungjawaban diperluas meliputi pula semua anggota DPRD. Sangat sulit dipahami anggota DPRD dibebaskan dari tanggung jawab ke konstituennya.

Parpol akan semakin mendapat manfaat jika anggota Dewan kian abai mempertanggungjawabkan mandat kepada konstituennya. Berbagai reaksi negatif terhadap UU MD3 dan UU Pilkada mengonfirmasi hasil survei, 65,5 persen masyarakat tak merasakan peran DPR dalam menghasilkan produk UU atau pembelaan yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat (INES, 2013). Sepertinya berbagai fenomena akhir-akhir ini cenderung semakin memburuk.

Tak ada pilihan lain, civil society harus membangun sistem sendiri yang dapat ”mengancam” anggota DPR agar setiap saat bisa diganti antarwaktu oleh partainya dan tak akan terpilih kembali pada pemilu mendatang, yaitu jika performa mereka dapat diukur dengan indeks kinerja.

Menyusun indeks kinerja

Setidaknya ada tiga hal penting yang jadi prasyarat dalam mewujudkan indeks itu. Pertama, Forum Konstituen, yaitu wahana dialog antara komunitas pemilih dan anggota DPR yang mewakilinya agar terbangun hubungan dialogis. Sedapat mungkin ditumbuhkan persaingan antar-anggota Dewan dari daerah pemilihan yang sama agar terbangun hubungan representasi yang lebih konstruktif. Semakin intens hubungan dialogis antara konstituen dan para anggota Dewan diyakini akan kian mempersempit peluang parpol dalam mengooptasi anggota Dewan.

Philip Thomas dkk merekomendasikan pola dialog yang konstruktif; 1) Dealing with complexity. Substansi dialog pada persoalan mendasar yang sedang menjadi perdebatan hangat di DPR. Tentu tak mudah mengelola isu-isu rumit dengan bahasa sederhana. Bisa jadi hanya akan melibatkan sedikit peserta aktif, tetapi akan menjadi pembelajaran bagi peserta pasif. Diperlukan moderator andal yang selalu dapat menyegarkan suasana agar tidak monoton.

2) Dialog bersifat koordinatif dan tidak instruktif untuk menghasilkan inovasi gagasan. Harus dibuka ruang kreasi seluas-luasnya agar tidak jumud. 3) Dialog agar mencapai hasil berkesinambungan dan menjawab persoalan. Bukan gagasan aneh yang tidak membumi dan terputus-putus (unsustainable result).

Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat dapat menyingkap tabir jarak dan waktu antara anggota DPR dan konstituennya, termasuk memperkecil peranan joki bagi anggota DPR yang tidak punya kompetensi. Rakyat akan dapat memantau lebih detail aktivitas anggota DPR sehari-hari, bahkan sampai peningkatan harta kekayaannya. Sebaliknya bagi anggota DPR yang kompeten, akan menjadi sarana publikasi efektif tanpa biaya dengan menggunakan moda komunikasi seperti telekonferensi, Twitter, Facebook, dan Google Hangout.

Kedua, keterbukaan Sekretariat Jenderal DPR menjadi syarat mutlak menilai kinerja anggota Dewan. Rakyat harus mendapat akses luas memantau aktivitas anggota Dewan sejak mengisi daftar hadir sampai akhir  dalam rangka menjawab hasil survei. Sebanyak 93 persen masyarakat tidak merasa terwakili oleh anggota DPR (Formappi, 2011). Keterbukaan akses kegiatan dan kinerja tak termasuk kategori yang dikecualikan berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008.

Ketiga, peranan penilai yang akan mengeluarkan indeks sangat vital sehingga harus memiliki kompetensi dan kredibilitas memadai. Lembaga survei kiranya dapat menjalankan fungsi penilai. Peranan lembaga survei sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pada akhir proses pilpres lalu. Publik sudah bisa membedakan mana yang profesional dan abal-abal. Komunitas lembaga survei bahkan sudah punya kode perilaku. Indeks merupakan outcome dari hubungan dialogis antara anggota DPR dan konstituennya.

Ketiga hal di atas harus tersaji di laman yang menampilkan dinamika hubungan dialogis antara anggota DPR dan konstituennya. Pengelola laman haruslah punya integritas, nonpartisan, dan tidak diskriminatif merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Pada saatnya nanti pengelola laman juga harus diakreditasi. Indeks diyakini dapat memaksa anggota DPR taat pada aturan main di lingkungan partainya ataupun Tata Tertib DPR. Jika semua anggota DPR dapat diukur kinerjanya, diharapkan tidak ada calon anggota DPR yang nekat bersaing lima tahun mendatang tanpa kompetensi memadai.

Dari sudut pandang partai politik, indeks akan sangat membantu partai mengevaluasi kinerja anggotanya, bahkan dapat menjadikan indeks sebagai alasan untuk mengganti antarwaktu anggotanya yang memperoleh indeks di bawah standar partai. Dengan begitu, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap parpol akan tumbuh dan memudahkan masyarakat memilih partai yang lebih berkomitmen terhadap kepentingan rakyat yang saat ini masih sangat langka. Bahkan, apabila semua parpol berkomplot menolak indeks kinerja anggotanya di DPR, masyarakat akan memiliki parameter yang jelas pada saat memilih wakilnya lima tahun mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar