“Zaman
Normal” Orde Baru
Retor AW Kaligis ; Koordinator Link
(Lingkaran Komunikasi) Nusantara;
Doktor Sosiologi Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 07 April 2014
Pagi
hari Sabtu 27 Juli 1996, kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro diambil paksa
dari pendukung Megawati. Penguasa berani mengambil risiko karena merasa tidak
memiliki pilihan menghentikan akumulasi dukungan berbagai elemen masyarakat,
yang disalurkan melalui mimbar bebas di tempat tersebut sejak sekitar sebulan
sebelumnya.
Namun,
perlawanan terhadap Orde Baru tak bisa dihentikan, malah kian menggelinding
dan mencapai puncaknya saat krisis ekonomi 1998. Mereka sudah pengap terhadap
pengekangan aspirasi politik, serta pemusatan dan kesenjangan ekonomi yang
dihadirkan Orde Baru selama puluhan tahun.
Era
Reformasi menjadi harapan bagi pemberdayaan rakyat. Namun, harapan itu
terkikis ketika orientasi elite politik terpisah dari kepentingan rakyat.
Di
tengah impitan beban kehidupan ekonomi, rakyat menyaksikan rangkaian
pemberitaan korupsi yang berulang dan melibatkan berbagai kalangan,serta
kepemimpinan pemerintahan dan birokrasi yang inefisien, hingga semakin
mahalnya rasa aman di masyarakat. Banyak orang lalu meromantisme masa Orde
Baru yang dikatakan serba terjamin dan teratur.
Hingga
lima tahun lalu, tak terbayang muncul slogan bergambar almarhum mantan
Presiden Soeharto dengan kalimat, “Piye
kabare? Enak zamanku to?”
Dalam
kampanyenya sebagai calon anggota legislatif (caleg), salah satu putri
Soeharto, Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto), menyatakan saat ini
masyarakat merindukan suasana aman, tenteram, dan stabil dengan kebutuhan
hidup yang terjangkau.
Pada
siaran tertulisnya, Titiek menjelaskan, “Kemunculan
slogan, poster, dan berbagai bentuk ekspresi kerinduan masyarakat kepada era
Presiden Soeharto, saya nilai sebagai protes sosial secara damai.”
Ia
melanjutkan, protes sosial tersebut menunjukkan saat ini masyarakat sudah
jenuh. Setelah Orde Baru tumbang, negara ini selalu dibayangi persitegangan
politik dan nyaris tak ada hasil pembangunan yang nyata.
Pengulangan Sejarah
Orde
Baru memang berhasil menciptakan stabilitas keamanan dan pertumbuhan ekonomi.
Tidak semua hal yang dibuat Orde Baru juga buruk.
Namun,
tidak terlalu dalamnya memori kolektif bangsa kita membuat banyak orang lebih
mampu membayangkan hal-hal yang dianggap enak pada masa lalu, ketimbang
belajar dari endapan pengalaman untuk membangun cita-cita yang harus
dirintis.
Orang-orang
tua zaman dulu terbiasa menyebut era Politis Etis hingga sekitar 1930 sebagai
“zaman normal”. Pada 1951 pendapatan per kapita orang Indonesia hanya 28,3
gulden, lebih rendah ketimbang 1930 yang mencapai 30 gulden. Dengan uang 10
sen gulden orang bisa makan layak tiga kali sehari.
Pada “zaman normal” hidup teratur dan
keamanan lebih terjamin ketimbang era 1950-an yang diisi gejolak sosial,
konflik politik, dan keamanan yang rawan di sejumlah daerah.
Namun,
sejarah mencatat pada “zaman normal”
bangsa Indonesia bukanlah tuan di negeri sendiri dan mengalami diskriminasi.
Hindia Belanda dieksploitasi untuk kepentingan kolonial, dari sumber daya
alam, tenaga kerja murah, hingga target pasar.
Dalam A History of Modern Indonesia Since c.
1300 (1993), MC Ricklefs membandingkan kebijakan Orde Baru pada dekade
pertamanya dengan periode Politik Etis kolonial Belanda.
Meskipun
Orde Baru banyak menjanjikan pembangunan ekonomi nasional serta perbaikan
pendidikan dan kesejahteraan, gaya pemerintahannya bersifat paternalistik dan
banyak hasilnya berada di tangan pengusaha asing. Industri lokal hanya
bertumbuh sedikit.
Bahkan,
menurut Ricklefs, pemerintahan Orde Baru memiliki skala lebih besar ketimbang
zaman kolonial dalam menghapus oposisi melalui penahanan politik dan penyiksaan.
Kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan sekelompok
elite kecil di bawah Soeharto mungkin lebih terpusat.
Orde
Baru menyuarakan bentuk-bentuk ekstrem mengatasnamakan kepentingan nasional.
Frame “pembangunan” menjadi mistifikasi
semua proyek bangsa. Bersamaan dengan itu, eksploitasi kekayaan alam luar
biasa dan penumpukan utang menjadi ciri khas pembangunan Orde Baru. Golongan
menengah dan atas banyak menikmati pertumbuhan ekonomi Orde Baru.
Namun,
di sisi lain kaum tani memikul beban industrialisasi. Lewat politik pangan
murah, dijaga stabilitas upah buruh yang ditekan serendah mungkin, guna
menarik investor tanpa membangun fondasi kuat untuk melakukan lompatan
strategi industrialisasi.
Bagi
mayoritas rakyat, dampak krisis ekonomi akhir 1990-an merupakan pengulangan
sejarah depresi dunia (malaise) awal 1930-an. Berdasarkan Laporan Statistik League of Nations, World Economic Survey,
Genewa (1932-1935), rakyat Hindia Belanda, yang dipaksa masuk struktur
ekonomi global dalam kondisi rentan, paling menderita dibandingkan kebanyakan
rakyat di belahan dunia lainnya.
Kekuatan Korelasi
Era
Reformasi memang tak kunjung memutus mata rantai jalinan relasi politik dan
modal yang menjadikan elite-elite politik lebih berdaulat sehingga jaringan
korupsi, kolusi, dan manipulasi bertebaran dan kerap saling mengunci. Namun,
dengan ukuran penegakan kedaulatan rakyat yang membebaskan dari
marginalisasi, idealisasi “zaman normal” Orde Baru adalah ahistoris.
Jika
berpegang pada cita-cita Proklamasi 1945, diperlukan kekuatan korelasi
demokratisasi politik dan keadilan sosial sebagai usaha bersama mengelola
kebinekaan. Adalah tugas pemenang Pemilu Legislatif dan Pemilihan
Presiden-Wakil Presiden 2014 untuk memimpin pengoreksian jalannya Reformasi.
Pemerintahan
yang bersih dan efisien merupakan keharusan. Restrukturisasi penguasaan
sumber-sumber ekonomi yang adil dilakukan mulai dari reforma agraria,
prioritas akses kredit bagi berbagai profesi rakyat, penataan infrastruktur
dan jaringan perdagangan, lompatan strategi industrialisasi yang ditunjang
pemerataan akses pendidikan berkualitas, hingga pelaksanaan sistem jaminan
sosial yang tepat sasaran.
Peninjauan
ulang kontrak juga dijalankan di sektor pertambangan yang banyak merugikan
negara dan memarjinalkan masyarakat setempat.
Jurgen
Habermas mengingatkan dalam Communication
and the Evolution of Society (1979), di masyarakat yang memiliki banyak
ketimpangan, terjadi apa yang disebut systematically
distorted communication. Komunikasi cenderung terdistorsi dan semu
sehingga orang-orang hanya mampu berkomunikasi dengan distorsi-distorsi
tersebut.
Kegagalan
mengelaborasi persoalan keadilan sosial ke arah kerja-kerja konkrit tidak
hanya melemahkan konsolidasi demokratisasi politik yang berjalan 16 tahun.
Namun lebih jauh lagi, keberlanjutan kehidupan bersama dalam bangsa yang
bineka ini menjadi mengkhawatirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar