Senin, 07 April 2014

Tragedi Ukraina, Niat Bersatu Hasilkan Perpecahan

Tragedi Ukraina, Niat Bersatu Hasilkan Perpecahan

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 04 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Konflik yang melanda Ukraina, negara bekas bagian dari Uni Sovyet, pantas disebut sebagai tragedi. Sebab dalam waktu seminggu, Ukraina berubah dari sebuah negara yang pemerintahannya punya legitimasi, menjadi negara tanpa pemimpin atau pemerintahan.

Benar sejak 26 Februari 2014, Ukraina memiliki presiden dan perdana menteri baru. Presiden dan PM tersebut dipilih setelah Viktor Yanukovych Presiden terpilih sejak 2010 tiba-tiba menghilang atau melarikan diri per 22 Februari 2014. Tapi Presiden dan PM Ukraina sekarang ini, hanya bertugas sementara, tiga bulan. Tugas utama, mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu Juni 2014.

Perubahan politik secara drastis di Ukraina kelihatannya bukan hanya mengejutkan bangsa dan rakyat Ukraina. Tetapi juga mengejutkan seluruh dunia. Rakyat dari bekas negara bagian Uni Sovyet ini, tidak menduga, perubahan yang diharapkan oleh para penentang pemerintah, bisa mengubah Ukraina menjadi seperti 'negara tidak bertuan' atau 'negeri tanpa pemimpin'.

Karena kekosongan 'pemimpin' itulah, berbagai persoalan pelik bermunculan. Persoalan itu semuanya memerlukan penyelesaian segera. Di antaranya, kemungkinan hilangnya provinsi Krimea, salah satu provinsi penting dan strategis dalam politik global.

Ukraina saat ini punya pejabat Presiden Oleksandr Turchynov dan Perdana Menteri Arseniy Yatsenyuk. Tetapi pemerintahan mereka hanya semacam simbol saja agar eksistensi Ukraina sebagai sebuah negara, secara de facto masih ada.

Pemerintahan di Ukraina, dibentuk secara terburu-buru. Pembentukan terburu-buru terpaksa dilakukan karena Presiden Viktor Yanukovych diam-diam melarikan diri pada akhir Februari. Dengan cara terburu-buru itu, menghasilkan 20 anggota kabinet yang dipilih secara acak dari kerumunan demonstran yang sedang bereforia.

Perdana Menteri Arseniy Yatsenyuk, ketika mengumumkan susunan kabinetnya, pada 26 Februari 2014, tidak memilih gedung pemerintahan sebagai lokasi untuk sebuah pengumuman penting. Ia memilih mimbar Lapangan Independen. Kalau di Jakarta seperti Bundaran Monas atau Bundaran Hotel Indonesia.

Cara itu sebagai simbol penghargaan dan peringatan atas tewasnya sekitar 800 demonstran penentang pemerintahan presiden terguling Yanukovych. Mereka tewas di sekitar lapangan merdeka tersebut.

Dari atas panggung, tempat dimana para tokoh demonstran membakar emosi para penentang pemerintah yang berkuasa, Yatsenyuk satu persatu menyebut nama anggota kabinet pilihannya. Saat menyebut nama setiap menteri pilihannya, dari bawah, kerumunan massa, ada yang berteriak setuju ada yang menentang. Mirip pengumuman sebuah lomba dan undian berhadiah

Dengan situasi seperti itu, Ukraina digambarkan oleh para wartawan Barat sebagai negara yang diperintah oleh parlemen jalanan. Mereka yang tiba-tiba muncul di jalan sebagai tukang protes, tiba-tiba bisa menjadi penguasa. Mudah-mudahan, keadaan dan cara seperti ini tidak menular ke Indonesia.

Mereka bukanlah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan tentang bagaimana mengelolah sebuah negara. Tetapi cukup bermodalkan suara kencang, keberanian menggertak serta tahan berteriak-teriak manakala berdemonstrasi. Bagi perdana menteri yang baru terpilih pun, tak ambil pusing soal kredibilitas setiap anggota kabinetnya. Yang terpenting, Ukraina punya pemerintahan.

Di sisi lain, negara-negara luar terutama dari Blok Barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, mengalami kesulitan untuk berunding dengan pemerintahan sementara saat ini. Sebab secara hukum atau sesuai UU Ukraina sendiri, rezim yang baru berkuasa dan hanya punya kekuasaan selama tiga bulan ini, tidak sah.

Oleh sebab itu ada kekhawatiran apakah negosisasi yang akan dilakukan oleh negara luar, baik dalam rangka pemberian bantuan atau bentuk lainnya, punya landasan hukum atau tidak.

Selasa 4 Maret 2014 ini, Menlu Amerika Serikat John Kerry berkunjung ke Kiev, Ibukota Ukraina. Tujuannya jelas untuk 'menyelamatkan' Ukraina dari kemungkinan jatuh ke tangan Rusia.

Kerry sadar misinya ke Kiev, bukan perjalanan yang gampang. Tapi pilihan sulit tetap harus dilakukannya, jika Washington tidak ingni kehilangan momentum.

Tragedi Ukraina, termasuk salah satu pertaruhan Amerika Serikat di dunia. Terlambat bereaksi, gagal meyakinkan Ukraina dan negara-negara Eropa Barat, negeri ini bisa kembali menjadi bagian dari Rusia (baca Uni Sovyet).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar