Senin, 07 April 2014

Pemerintah Berdusta Soal Palestina?

Pemerintah Berdusta Soal Palestina?

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 28 Februari 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pada Jumat (28/2/2014) hari ini, pemerintah menerima kunjungan Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah. Penjelasan Teuku Faizasyah, Staf Khusus Presiden RI Bidang Hubungan Internasional menyebutkan, Ramdi Hamdallah akan berada di Indonesia hingga Minggu 2 Maret 2014. Salah satu agendanya, membahas berbagai kerja sama bilateral dengan Presiden SBY.

Agenda lainnya, Hamdallah akan menghadiri Conference on Cooperation Among East Asian Countries for Palestinian Development (CEAPAD) ke-2 di Jakarta. Forum ini bertujuan menggalang bantuan bagi pembangunan Palestina. Sementara Presiden SBY menurut Teuku Faizasyah akan menegaskan kembali komitmen penuh Indonesia untuk terus mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.

Penjelasan Jubir Kepresidenan ini, sepintas tidak ada yang salah dan bermasalah. Penjelasan, sangat normatif, untuk tidak disebut sebagai sebuah basa-basi diplomasi. Di sisi lain penjelasan ini juga bisa menunjukkan, kunjungan seorang tamu penting dari Palestina, menjadi bukti bahwa posisi Indonesia di diplomasi global masih cukup kuat dan diperhitungkan.

Artinya kunjungan Kepala Pemerintahan Palestina itu dapat ditafsirkan - betapa pentingnya peran Indonesia dalam penyelesaian konflik Timur Tengah - salah satu konflik yang menjadi sumbu dari terbelahnya dunia dalam perspektif Islam dan dunia Barat.

Padahal persoalan tidak sesederhana yang digambarkan di atas. Diplomasi Indonesia dalam soal Palestina, justru sangat kabur. Lantas dimana kekaburan dan unsur kebohongan pemerintah atas persoalan Palestina? Yaitu tidak adanya penjelasan kepada publik tentang perpecahan bangsa Palestina.

Bangsa yang sedang berjuang mendapatkan pengakuan internasional atas tanah yang menjadi haknya, saat ini terpecah menjadi dua. Palestina Al-Fatah yang ibukotanya di Tepi Barat dan Palestina Hamas yang ibukota pemerintahanya di Gaza.

Pemerintahan Palestina pimpinan Rami Hamdallah dan Ismail Haniyah. Lalu mengapa Indonesia 'berpihak' kepada Rami Hamdallah dari faksi Al-Fatah dan bukan kepada Ismael Haniyah faksi Hamas ?

Penegasan tentang 'keberpihakan' ini penting - setidaknya seperti yang dilakukan pemerintah terhadap "Dua China": RRC atau Taiwan. Dengan RRC Indonesia mengakreditasi Duta Besarnya di Beijing. Sedangkan dengan Taiwan, diplomat Indonesia yang ditempatkan di Taipei, ibukotanya, hanya berstatus Kepala Perwakilan Dagang.

Penegasan tersebut membuat semua pihak di dalam negeri, paham bagaimana menjalin hubungan dengan "Dua China". Atau sama dengan penjelasan pemerintah tentang "Dua Afghanistan" saat negara itu diinvasi oleh Uni Sovyet tahun 1982.

Yang menimbulkan tanda tanya, mengapa perpecahan Palestina atau "Dua Palestina", yang sudah bukan rahasia lagi, terkesan ditutup-tutupi pemerintah. Dengan cara seolah di pemerintahan di Palestina yang diakui Jakarta sama dengan yang diakui oleh seluruh bangsa Palestina.

Sejatinya sejak Pemilu di tahun 2006, Palestina terpecah menjadi dua. Setelah Yasser Arafat sebagai pemimpin gerakan Al-Fatah, meninggal 11 Nopember 2004, Palestina berubah.

Perubahan terjadi melalui Pemilu. Faksi Hamas meraih suara terbanyak, sekaligus mengakhiri kekuasaan Al-Fatah. Berdasarkan sistem pemerintahan parlementer, Hamas sebagai pemenang Pemilu otomatis menjadi Kepala Pemerintahan. Yang berhak menjadi Kepala Pemerintahan atau Perdana Menteri, Ismail Haniyah, pimpinan tertinggi Hamas.

Sementara Al-Fatah yang kepemimpinannya di tangan Mahmoud Abbas - akibat kekalahan dalam Pemilu tersebut hanya berhak menduduk posisi Presiden. Sebagai presiden, yang juga menelan kekalahan dalam Pemilu, kewenangannya lebih terbatas dibanding seorang Perdana Menteri.

Perpecahan Palestina terjadi pasca-pengumuman hasil Pemilu. Abbas yang meneruskan pemerintahan Yasser Arafat, memecat Haniyah. Selanjutnya Abbas mengangkat Salam Fayyad.

Tapi Haniyah tidak mengakui pemecatan tersebut. Sehingga Haniyah tetap menjalankan fungsinya sebagai Kepala Penerintahan atau Perdana Menteri. Haniyah pun menjalankan pemerintahannya di kota lain.

Rami Hamdallah yang menjadi tamu pemerintah RI minggu ini merupakan pengganti Salam Fayyad. Bagi negara asing seperti Indonesia yang mengklaim sebagai non-blok, tidak gampang menempatkan diri dalam menghadapi perpecahan di Palestina.

Tetapi 'kesalahan' terbesar pemerintah terletak pada sikapnya yang tidak terbuka. Yang berakibat kesalah pahaman di dalam negeri diam-diam menjadi 'tertawaan' oleh komunitas internasional, termasuk elit bangsa Palestina.

Indonesia seakan dilihat sebagai negara besar yang pemikiriannya sempit. Hasilnya Indonesia pun makin tersisih dari pergaulan atau diplomasi internasional. Bagaimana tidak?

Juni 2010, Ketua DPR-RI Marzuki Ali memimpin delegasi parlemen Indonesia masuk ke Gaza, Ibukota (Hamas) Palestina. Marzuki didampingi Makarim Wibosono, diplomat senior yang pernah menjadi Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB. Di Gaza delegasi Parlemen RI antara lain bertemu dengan Kabinet Palestina pimpinan Ismail Haniyah.

Hadirnya diplomat senior Makarim Wibisono memberi aksentuasi dan bobot besar pada muhibah rombongan parlemen RI ke tanah Palestina. Tapi yang menggelikan, sebulan sebelumnya, Mei 2010, di Jakarta, Presiden SBY menerima kunjungan Mahmoud Abbas, Presiden Palestima yang memecat Haniyah.

Legitimasi yang dibuat Presiden SBY terhadap Mahmoud Abbas, seolah dihancurkan oleh Ketua DPR Marzuki Alie. Perbedaan Marzuki dan SBY dalam melihat Palestina, bisa saja dianggap wajar. Yah hal itu bisa terjadi, kalau kita bersikap masa bodoh atau EGP (emangnya gua pikirin).

Tapi dalam perspektif sebagai negara besar ataupun dalam arti Indonesia menjalankan politik bebas aktif, perbedaan itu sangat mempermalukan. Apalagi kalau sosok Marzuki Ali dan SBY sebagai tokoh politik nasional. Lagi pula keduanya sama-sama berasal dari satu partai: Partai Demokrat.

Perbedaan sikap dalam soal Palestina, jika dibawa ke rana pembelajaran, jelas sangat fatal. Apalagi kalau keberpihakan SBY kepada Palestina pimpinan Mahmoud Abbas, ditelaah secara lebih mendalam.

Bisa muncul kesan, keberpihakan SBY pada Abbas sama dengan pemihakan RI kepada Israel. Sebab Mahmoud Abbas dikenal sebagai tokoh Palestina yang pro Israel. Sebagai Presiden Palestina ia masih mau berunding atau berjabat tangan dengan Israel.

Paralel dengan sikap Marzuki. Ketua DPR itu sama saja dengan membawa misi Iran. Sebab Iran dikenal sebagai salah satu pendukung kuat Hamas pimpinan Haniyah. Haniyah sendiri tokoh Palestina yang sama sekali tidak mau berunding ataupun berjabat tangan dengan orang Israel.

Maka jangan heran jika muncul pemelesetan: Ketua DPR-RI pro Iran dan Presiden RI pro Israel!

Oleh sebab itu melihat cara-cara SBY dalam menghadapi isu Palestina, menimbulkan kesan pemerintah tidak cukup terbuka kepada rakyat Indonesia. Atau pemerintah terpaksa berbohong kepada publik, karena kemampuan diplomasi kita bermanuver di dunia internasional, terlalu lemah.

Untuk menutupi kelemahan, terpaksa berbohong?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar