Tiongkok,
Kekuatan Teguh
Pertahankan Perdamaian dan Kestabilan
Liu Hongyang ; Kuasa
Usaha Sementara Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok
|
KOMPAS,
21 April 2014
PADA 6
April lalu, Kompas memuat artikel berjudul ”Jalan ASEAN: Arbitrase dan Tata Kedaulatan” yang mendukung
langkah Filipina mengajukan gugatan mengenai sengketa Laut Tiongkok Selatan
antara Tiongkok dan Filipina ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Artikel itu
juga mengkritik kebijakan regional Tiongkok.
Terkait
hal tersebut, saya ingin menanggapinya agar para pembaca mengetahui fakta dan
masalah-masalah yang terjadi.
Bagi
negara mana pun, teritori dan perbatasan merupakan warisan sejarah. Dari segi
sejarah dan yuridis, Tiongkok-lah yang pertama kali menemukan, menamakan,
mengembangkan, dan mengelola Kepulauan Nansha (juga disebut Kepulauan
Spratly).
Tiongkok
jugalah yang pertama dan terus-menerus melaksanakan hak kedaulatan di seluruh
Kepulauan Nansha. Sejak 700 tahun yang lalu, yaitu pada era Dinasti Yuan,
Tiongkok sudah mulai melaksanakan yurisdiksi terhadap Kepulauan Nansha.
Setelah
Perang Dunia II, menurut Deklarasi Kairo, Deklarasi Postdam, dan
dokumen-dokumen hukum internasional yang lain, Tiongkok mendapatkan kembali
Kepulauan Nansha yang diduduki Jepang.
Selanjutnya
Tiongkok mengambil serangkaian tindakan untuk mengonfirmasi dan menegaskan
kembali kedaulatan terhadap Kepulauan Nansha. Pada waktu itu, Filipina yang
telah memproklamasikan kemerdekaannya tidak mengajukan keberatan apa pun atas
kedaulatan Tiongkok terhadap Kepulauan Nansha.
Batas
wilayah Filipina ditentukan oleh sejumlah perjanjian, di mana garis
perbatasan barat Filipina ditetapkan pada koordinat 118 derajat bujur timur.
Kepulauan Nansha dan Pulau Huangyan (Beting
Scarborough) di Kepulauan Zhongsha sama sekali tidak termasuk dalam
wilayah Filipina yang ditetapkan dalam perjanjian-perjanjian yang
bersangkutan.
Sebelum
tahun 1970-an, baik dokumen-dokumen hukum maupun pernyataan pemimpin negara
Filipina sama sekali tak pernah menyebutkan bahwa wilayah teritorial Filipina
mencakup Kepulauan Nansha dan lain sebagainya.
Namun,
setelah ditemukannya cadangan minyak bumi di perairan Kepulauan Nansha pada
tahun 1970-an, Filipina mulai mengklaim kedaulatan dan menduduki sebagian
pulau dan karang. Pemerintah Tiongkok sejak awal sudah berulang kali
mengajukan protes serius kepada pihak Filipina.
Pendudukan
ilegal Filipina terhadap sebagian pulau dan karang di Kepulauan Nansha
merupakan penyebab utama persengketaan Laut Tiongkok Selatan antara Tiongkok
dan Filipina.
Upaya penyelesaian
Tiongkok
selalu menghargai fakta sejarah dan hukum internasional dalam penyelesaian
sengketa teritorial dengan negara-negara lain. Berdasarkan semangat
kesetaraan dan saling memahami, Tiongkok mengadakan perundingan damai dan
bersahabat dengan negara-negara tetangga, dan berhasil menyelesaikan sebagian
besar masalah perbatasan dan teritori tersebut.
Sampai
sekarang, garis perbatasan yang digambarkan dan ditetapkan sudah mencapai 90
persen dari keseluruhan garis perbatasan wilayah daratan Tiongkok. Fakta
telah membuktikan bahwa persetujuan yang dicapai melalui perundingan dapat
diterima oleh kedua pihak, dan merupakan yang paling adil dan bertahan lama.
Mengenai
sengketa Laut Tiongkok Selatan antara Tiongkok dan Filipina, Tiongkok
berpegang teguh untuk menyelesaikannya melalui perundingan. Sikap itu kami
pegang teguh dengan mempertimbangkan kepentingan besar hubungan
Tiongkok-Filipina, perdamaian dan kestabilan di Asia Tenggara, dan
menjalankan pendekatan konsisten Tiongkok dalam menangani isu semacam ini.
Apalagi,
penyelesaian melalui perundingan bilateral merupakan konsensus yang secara
nyata tercantum, baik dalam pernyataan bersama Tiongkok dan Filipina maupun
dalam ”Deklarasi Perilaku Para Pihak di
Laut Tiongkok Selatan (DoC)” yang ditandatangani oleh Tiongkok dan
negara-negara ASEAN.
Akan
tetapi, hal yang sangat disesalkan adalah tindakan berlawanan dari pihak
Filipina dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Hal
itu menunjukkan Filipina tak berkeinginan menaati konsensus yang telah
disepakati kedua pihak dan negara-negara lain di kawasan tersebut.
Saya
ingin menegaskan bahwa menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS)
sendiri, sengketa kedaulatan teritorial berada di luar jangkauan yurisdiksi
konvensi itu.
Sebagai
negara penandatangan UNCLOS, Tiongkok telah menyerahkan pernyataan tertulis
kepada Sekretaris Jenderal PBB pada 2006. Dalam pernyataan tertulis itu,
Pemerintah Tiongkok tidak menerima yurisdiksi peradilan atau arbitrase
internasional apa pun yang disebutkan dalam Ayat 2 bagian ke-15 UNCLOS.
Sikap
Tiongkok itu didasarkan pada Pasal 298 UNCLOS yang mengatur mengenai
persengketaan apa pun yang disebutkan dalam Pasal 298 Nomor 1 (a), (b), (c),
yaitu sengketa penetapan perbatasan laut, sengketa teritori, dan kegiatan
militer. Oleh karena itu, pendirian Tiongkok yang tidak menerima dan tidak
berpartisipasi dalam tindakan sepihak Filipina itu bersifat rasional dan
legal.
Impian Tiongkok
Dewasa
ini, perdamaian dan kerja sama merupakan tendensi dunia. ”Diplomasi Kapal Meriam” dan ”Politik
Kekuasaan” sudah dibuang oleh kebanyakan negara. Sampai kapan pun,
Tiongkok tidak akan mengambil jalan hegemoni.
Namun,
perlu ditegaskan bahwa jika wilayah suatu pihak bukanlah wilayah kami,
sedikit pun kami tidak akan mengambilnya. Akan tetapi, jika memang wilayah
suatu pihak itu adalah milik kami, sejengkal tanah pun akan kami pertahankan.
Saya
juga ingin menegaskan bahwa negara mana pun memiliki visi, misi, dan jalan
perkembangan sendiri. Karena, kalau tidak, negara itu akan kehilangan arah
tujuan dan daya dorong.
Impian
Tiongkok adalah visi indah seluruh rakyat Tiongkok yang mengharapkan
negaranya kuat dan makmur serta rakyatnya bahagia dan sejahtera. Impian
Tiongkok juga merupakan harapan untuk berkembang secara damai dan bekerja
sama saling menguntungkan sehingga dapat hidup berdampingan secara harmonis
dan mencapai perkembangan dan kemakmuran bersama seluruh negara.
Saya
juga ingin menegaskan bahwa Tiongkok mendukung integrasi dan pembangunan
komunitas ASEAN, menghargai konsensus ASEAN, mendukung ASEAN memainkan peran
dominan dalam mekanisme kerja sama regional, dan berharap Indonesia sebagai
negara besar regional bisa memainkan peran konstruktif yang lebih besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar