Senin, 07 April 2014

“The Invisible Hand” Dorong Pencapresan Jokowi

“The Invisible Hand” Dorong Pencapresan Jokowi

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 21 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kalau dicermati tanpa pretensi, Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jaya yang dicapreskan PDI Perjuangan, terkesan tidak terlalu ambisius menjadi Presiden RI. Kesan itu terlihat dari berbagai respon eksplisit dan bahasa tubuhnya.

Sikap Jokowi datar saja sewaktu Jumat 14 Maret 2014 pagi, menjelaskan kepada pers tentang apa yang sudah dikantornginya dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Raut mukanya, sama sekali tidak sumringah misalnya. Bahasanya tidak meledak-ledak. Tidak terucap kata terima kasih kepada Ketua Umum DPP PDIP Megawati. Sekalipun pencapresannya merupakan sebuah kehormatan dan langkah tersendiri yang diberikan oleh partai nasionalis tersebut.

"Saya sudah mengantongi mandat Ketua Umum Ibu Megawati menjadi capres PDIP dan saya siap," katanya beberapa jam menjelang namanya diumumkan Puan Maharani, Ketua Pemenangan Pemilu PDIP.

Itu saja. Dan penegasan itu dilakukan di tengah kesibukannya melakukan kunjungan di sebuah kampung di Ibu Kota. Jokowi juga tidak menggelar konperensi pers pasca pengumuman pencapresannya oleh Puan Maharani di Markas Besar PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Hingga seminggu pasca pengumuman pencapresannya, Jokowi masih tetap seperti dulu. Tidak berubah.

Kesan lainnya yang agak mempribadi, Jokowi sepertinya "minder". Kalau membayangkan SBY, Presiden yang mungkin akan digantikannya, Jokowi seperti membayangkan tubuh tambun SBY sementara dirinya yang terlalu kerempeng. SBY seorang jenderal bergelar doktor dan pernah mendapat pendidikan di Amerika Serikat, sementara Jokowi hanya seorang insinyur sipil dari sebuah universitas lokal.

Perhatikan jawabannya atas pertanyaan wartawan ketika menyebut Abraham Samad, Ketua KPK, sebagai sosok yang diminati Prabowo Subianto menjadi cawapres. "Yah kalau Pak Abraham Samad, dia cocok untuk menjadi Presiden...", begitu jawab Jokowi.

Lain yang ditanya, lain yang dijawab. Yang ditanyakan kemungkinan Samad menjadi Orang Nomor Dua, tetapi oleh Jokowi dijawab: Ketua KPK itu cocok menjadi Presiden!

Megawati, Puan Maharani dan petinggi PDIP lainnya boleh jadi dibuat bingung dengan pernyataan Jokowi seperti itu. Sebab jawabannya terkesan kosong, tidak nyambung dengan konteks yang dipertanyakan. Jokowi belum merasa sebagai seorang calon presiden.

Yah, itulah Jokowi. Jawabannya seputar presiden dan kepresidenan, tanpa beban. Semakin mempertegas Gubernur DKI Jaya periode 2012-2017 ini, bukanlah seorang ambisius. Sikap Jokowi seperti 'acuh tak acuh' atas pencapresan dirinya, memicu komentar yang mengaitkan campur tangan kekuatan yang tak terlihat.

Ada "invisible hand", yang mendorong Jokowi menjadi capres. Ada campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam perjalanan penting setiap manusia. Jokowi memang bukan sosok yang punya cita-cita menjadi Presiden. Oleh sebab itu dia tidak pernah mempersiapkan diri seperti politisi lainnya.

Tetapi kuasa Tuhan Sang Maha Penguasa, menakdirkan Jokowi justru yang menjadi salah seorang capres dalam Pilpres 2014. Megawati yang ditengarai masih bercita-cita nyapres, mau tidak mau mengorbankan egonya. Megawati berikan tiket capres PDIP kepada Jokowi.

Jokowi tidak pernah melobi dukungan apalagi melamar. Tetapi lembaga-lembaga surveilah yang 'membesarkannya'. Jokowi tidak pernah mengumbar kehebatannya sebagai birokrat. Tapi berbagai kelompok masyarakat - yang tidak mengenalnya langsung, justru membentuk barisan relawan untuk mendukung pencapresannya.

Uniknya lagi para relawan, tidak menagih uang sponsor dari Jokowi. Walaupun kita perlu curiga, kalau Jokowi jadi Presiden, para relawan ini kemungkinan besar akan berbondong-bondong menagih upeti ke Jokowi.

Jokowi boleh jadi akan dicatat sejarawan Indonesia sebagai satu-satunya tokoh 'ndeso' yang didaulat jutaan simpatisan dari ndeso sampai kota untuk menjadi capres. Inilah sebuah fenoma baru dalam kehidupan politik Indonesia 2014.

Fenomena Jokowi ini sangat kontras dengan peta politik Indonesia secara keseluruhan. Fenomena Indonesia menjelang Pilpres 2014, terdapat sejumlah politisi senior yang terlalu memaksakan diri supaya bisa menjadi calon presiden.

Dengan membuat berbagai ragam alat pencitraan, mereka simpulkan sendiri, merekalah yang paling disukai rakyat. Opini rakyat mereka catut. Belum apa-apa sudah berbohong kepada rakyat.

Sekalipun hasil survei-survei mengatakan tingkat elektabilitas mereka tetap di bawah posisi Jokowi, tetapi mereka tidak menganggap hasil survei itu sebagai bahan rujukan yang valid.

Sewaktu PDIP belum mengumumkan pencapresan Jokowi, para politisi ambisius, berusaha mendekat dan menggandeng mantan Wali Kota Solo itu, sebagai pasangan cawapres mereka. Jokowi menjelma secara tiba-tiba seperti gadis desa yang cantik alamiah. Para pejaka kota pun berbondong-bondong menawarkan kembang dan sejumlah wewangian.

Tetapi begitu Jokowi ditetapkan oleh PDIP, tiba-tiba Gubernur DKI itu, mendapat berbagai serangan. Dia menjadi wanita desa yang dianggap kampungan. Dia perlu dipenjara. Salah satu serangan dengan metode baru yaitu menggugat secara hukum.

Dengan mengatas namakan warga Jakarta, sebuah tim pengacara mengajukan gugatan atas pencapres Jokowi. Pencapresan dianggap merugikan warga Jakarta, pihak yang katanya sudah diberi janji-janji Jokowi ketika di 2012 berkampanye menjadi Gubernur DKI.

Kesannya, serangan itu terlalu mengada-ada atau dipaksakan. Bahkan bisa saja bagian dari rekayasa para politisi yang kecewa terhadap Jokowi. Lewat gugatan tersebut, Capres PDIP ini diserang supaya namanya rusak. Kalau sudah rusak, ada harapan kekuatan Jokowi di Pilpres 2014, melemah.

Apakah cara ini masuk kategori kampanye hitam? Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar