Senin, 07 April 2014

Menjaga Kesakralan Jabatan RI-1

Menjaga Kesakralan Jabatan RI-1

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Wiranto (Hanura), Prabowo Subianto (Gerindra) dan Aburizal Bakrie (Golkar) merupakan tiga capres yang dikategorikan BJ Habibie, Presiden ke-3 RI, sebagai sosok yang sudah tua untuk menjadi Presiden 2014-2019.

Maunya BJ Habibie seperti disampaikan dalam acara Mata Najwa, Metro TV, 5 Februari 2014 lalu, capres 2014 harus berusia antara 40 sampai 60 tahun. Jika usia yang menjadi ukuran, ketiga figur di atas tak lagi memenuhi persyaratan.

Para pemirsa yang hadir langsung di studio Metro TV, banyak yang tertawa terpingkal-pingkal. Seolah-olah mereka menyindir Wiranto, Prabowo dan Aburizal Bakrie dan berharap mendengar ocehan Presiden Habibie.

Ada yang tidak disinggung BJ Habibie - hal yang berkaitan dengan kiprah ketiga tokoh tersebut di dunia pencapresan. Yaitu mereka bertiga sudah pernah ikut serta dalam perebutan kursi Presiden. Mereka sudah menjadikan Pilpres sebagai agenda lima tahunan. Mereka tak henti-hentinya selama dua periode mengincar jabatan Presiden. Namun selalu gagal. Atau rakyat tak mau memilih mereka.

Kecuali Aburizal Bakrie yang baru sekali gagal di konvensi Partai Golkar 2004. Wiranto dan Prabowo gagal di Pilpres 2004 dan 2009. Berarti keikut sertaan dua jenderal purnawirawan tersebut dalam Pilpres 2014, sudah merupakan yang ketiga kalinya.

Bahkan Wiranto dan Prabowo, masih punya ceritera tambahan dalam bagaimana mereka melihat jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Setelah gagal di 2004, di 2009, target politik, mereka turunkan. Yaitu hanya mengincar posisi wakil presiden saja.

Wiranto menjadi Cawapresnya Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto menjadi Cawapresnya Megawati Soekarnoputri. Itupun, tetap kalah atau gagal. Namun di 2014 keduanya kembali mengincar posisi paling tinggi atau lebih tinggi: Presiden!

Maka tak heran jika muncul pertanyaan apakah Wiranto dan Prabowo menganggap seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi manusia pelupa?

Tak sadarkah mereka, mondar-mandir mengincar jabatan Presiden kemudian Wakil Presiden dan balik lagi ke Presiden, hanya menimbulkan tertawaan bagi sementara pemilih yang kritis. Tidak sadarkah mereka bahwa rakyat Indonesia sudah cukup kritis melihat sepak terjang mereka di dunia politik?

Kalaupun menjelang Pilpres 2014 hadir suara-suara baru yang menginginkan Wiranto dan Prabowo agar tetap maju sebagai calon Presiden, keinginan itu masih harus diuji. Suara tuluskah atau sekadar mau membikin kedua bapak tersebut tetap senang ?.

Kedua mantan pejabat tinggi militer ini, semestinya juga patut memperhatikan suara yang menolak pencalonan mereka berdua. Dan penolakan itu bagian dari hak demokrasi setiap orang.

Apalagi di balik puja-puji terhadap kehebatan mereka berdua sewaktu menjadi jenderal aktif, terdapat suara aktivis. Sejumlah aktivis tetap mengingatkan rekam jejak yang menyangkut pelanggaran HAM berat sewaktu keduanya menjadi bagian dari kekuasaan.

Sekalipun terkesan berulang-ulang, tetapi Wiranto tidak bisa mengabaikan tuntutan yang meminta agar mantan Panglima TNI itu perlu mempertanggung jawabkan peristiwa berdarah Senayan I dan Senayan II di tahun 1998.

Demikian pula dengan Prabowo Subianto yang terus dikejar oleh pegiat dan advokat HAM tentang keterlibatannya dalam penculikan sejumlah aktifis. Pesan moral yang tersirat di pengingatan itu, seharusnya Wiranto dan Prabowo jangan menganggap publik bisa diminta diam - hanya karena mereka sedang sibuk menghadapi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014.

Hal serupa dengan alasan yang berbeda, juga berlaku bagi Aburizal Bakrie. Konglomerat ini terus digugat pertanggung jawabannya atas nasib buruk yang menimpa rakyat Jawa Timur akibat proyeknya Lapindo (Lumpur Lapindo).

Ngotot atau memaksakan diri secara terus menerus, ingin menjadi Presiden, memang bukan monopoli Wiranto, Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie. Masih ada politikus lainnya yang kengototannya mirip dengan mereka bertiga. Dia adalah Yusril Ihza Mahendra.

Yusril sudah berjuang sejak 1999, ketika Pemilihan Presiden masih dikuasakan rakyat kepada 1.000 anggota MPR-RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia). Kalau ditotal, waktu yang digunakan Yusril untuk memperjuangkan cita-citanya menjadi presiden, sudah hampir 15 tahun.

Yang membedakan Yusril dengan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas terletak pada caranya. Yusril selalu mencari titik lemah UU Pilpres. Terakhir mantan Mensesneg dan Menteri Hukum dan HAM itu menggugat parliamentary threshold (PT) yang harus dipenuhi sebuah partai, jika ingin mencalonkan kadernya. Kalau PT bisa dihapus, Yusril bisa melenggang bebas sebagai capres Partai Bulan Bintang.

Tapi Mahkamah Konstitusi yang mengadili gugatan PT, tetap menolak permintaan Yusril. Akibatnya untuk sementara peluang Yusril untuk maju sebagai capres di 2014, tertutup.

Sewaktu penolakan itu dibacakan Hakim Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, Yusril terkesan seperti tidak percaya. Sebab Hamdan Zoelva, merupakan sahabat politiknya di Partai Bulan Bintang (PBB).

Ada publik yang kurang begitu paham dengan gugatan Yusril atas parliamentary threshold. Seolah-olah PT tersebut hanya dimasukkan begitu saja oleh para ahli hukum ketika membahas pasal-pasal UU Pilpres tanpa visi. Padahal PT itu secara sadar dimasukkan agar penyeleksian secara elegan dan terukur atas siapa saja yang ingin menjadi presiden, ada acuannya.

Alasannya antara lain, setelah reformasi, ada kecenderungan siapa saja, begitu punya uang lebih, makin sering dikutip media, bisa mendadak mendeklarasikan ingin jadi Presiden. Semua orang merasa mampu menjadi Presiden, terutama setelah SBY yang tadinya dianggap pintar, ternyata tidak bisa berbuat banyak.

Jadi kesakralan jabatan presiden itu, perlu dijaga dan dilindungi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar