Teologi
Politik di Bilik Suara
Martin Lukito Sinaga ; Pendeta pada Gereja
Kristen Protestan Simalungun (GKPS)
|
KOMPAS,
08 April 2014
DI
manakah iman ditaruh saat kita nanti memilih di bilik suara?
Saya
baru saja melihat suasana kampanye di Papua kurang bergairah. Mekanisme
demokratis yang rutin ini mungkin kurang politis bagi mereka.
Bagi
masyarakat Papua, yang kini selaku kaum ”peramu yang goyah itu” (Giay, 1998),
yang dicari adalah kekuatan iman agar mereka tetap sintas berdiri. Maka, yang
politis tidak cukup kalau kelihatan sebagai suatu kerutinan administrasi
modern semata. Yang politis mesti tampak sebagai campur tangan kedaulatan
Tuhan sebagai intervensi terhadap ketakmungkinan mirip makna politik yang
muncul dari banyak pemikir mutakhir (Robertus Robet, 2010). Di bilik suara
pemilu nanti, suasana yang politis tadi diduga tak akan datang. Bagi orang
Papua, yang politis mesti terasa mesianik, bukan sekadar suasana yang mekanik.
Nun di
Jakarta sini, sikap agama atas yang politis— yang tampak dalam surat gembala
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyangkut Pemilu 2014—tampak
resmi dan serius. Malah umat Kristiani diimbau agar jangan memilih
berdasarkan agama, tetapi atas dasar komitmen kebangsaan.
Teologi politik
Hubungan
agama dan pemilu di Indonesia umumnya dipuji sebagai dewasa (demikian artikel Komaruddin Hidayat dalam
rubrik Opini Kompas, 25 Maret 2014). Menurut beliau, hal itu sedemikian
karena kaidah agama sebagai wilayah pribadi dan komunal telah berkompromi
saat memasuki ruang publik dan negara. Mirip dengan sikap PGI di atas, agenda
bangsa dan negaralah yang jadi alasan datang ke bilik suara. Tak ada yang
genting dalam hal agama dan politik di negeri ini.
Wacana
teologi politik mutakhir yang mengemuka justru hendak menunjukkan dinamika
baru tentang dunia politik. Teologi dilihat lagi sebagai ihwal yang
bergejolak di dalam agama dan sebagai dimensi gelisah dalam nalar agama yang
jangkauannya meluas sampai ke ranah politik. Dengan kata lain, teologi
politik adalah persilangan tanpa henti antara persekutuan agama dan komunitas
politik, antara hal yang menyelamatkan dan hal kekuasaan (Hent de Vries, 2006).
Teologi
politik sedemikian akan memang menggangsir kompromi formal agama dan politik
sekalipun telah terjadi pendewasaan agama dalam masyarakat modern. Memang
umumnya dunia politik telah menertibkan agama dengan menekankan dimensi
pragmatiknya, tanpa basis transenden apa pun. Pemikir politik, dan diam-diam
juga para teolog profesional dalam agama-agama, telah jadi murid Max Weber
dalam hal ini percaya bahwa tuah agama sudah redup dalam hal perpolitikan.
Harga yang harus dibayar akibat itu
semua adalah cerita iman akan lesu dan cara menghidupkannya, entah
dengan menjadikannya penentu kesalehan surgawi, entah melucuti pesannya
menjadi metafor semata.
Akhir-akhir
ini berangsur-angsur dirasakan yang teologis secara laten datang ke dalam
kerutinan politik harian. Pemikir seperti Claude Lefort malah mencatat,
setiap masyarakat yang melupakan basis religiusnya sesungguhnya tengah
berilusi tentang adanya tatanan masyarakat yang ajek dengan sendirinya. Orang
mengira bisa terusmenerus sibuk saja menghitunghitung kursi dan posisi,
padahal jika tidak ada yang benar atau normatif yang pas memberi alasan untuk
semua kesibukan itu, keadaan politik itu bisa lesu dan ambruk dengan
sendirinya.
Peristiwa
politik mesti mengandung momen menyeruaknya yang benar dan yang baru ke
tengah masyarakat, melangkaui pengulangan rutin formal pemilu. Teologi akan
datang segera ketika pengelolaan kekuasaan tak menyelamatkan apa-apa lagi.
Alain Badiou
Untuk
lebih menguatkan makna teologi politik baru ini, filsuf ateis dan matematikus
seperti Alain Badiou membaca lagi kisah hidup teolog pertama Kristiani, yaitu
Rasul Paulus (Saint Paul, The
Foundation of Universalism, 2003).
Bukan untuk hidup rohaninya, melainkan untuk menunjukkan bagaimana
menyeruaknya yang teologis itu ke tengah perpolitikan modern yang dikira
sudah tertata rapi dan normal itu.
Badiou
melihat, iman atau keyakinan Rasul Paulus—yang bisa dirumuskan dengan seruan ”kuasa rahmat Tuhan sungguh bangkit”—mendobrak
status quo politik. Ini tentu
sebentuk sikap teologis yang aksiomatik. Ia bukan hasil kompromi dengan
kekuatan-kekuatan kebudayaan atau sosial di sekitarnya.
Akan
tetapi, ini dapat memutus rantai belenggu sosial dengan terbangunnya sikap
subyektif yang singular dari rasul ini. Karena aksioma ”kuasa rahmat Tuhan sungguh bangkit” itu Paulus melanjutkannya
dengan menetapkan bahwa tidak ada kelompok sosial yang boleh disisihkan, ”tidak ada hamba dan tuan” dalam dunia
yang dikuasai rahmat Tuhan ini.
Bagi
Badiou, posisi aksiomatik ini perlu di tengah politik serba dagang sapi
kapitalistik masa kini yang akan menyisihkan yang tak punya uang;
kesetiaan pada aksioma teologis yang
akan melahirkan goncangan pada struktur rutin politik tersebut. Aksioma
teologis memang selalu sepihak, terdengar pramodern, tetapi ia akan meluas
menjadi universal dan benar dan itu berdasarkan pada apa yang nyata yang
lahir dari sikap itu.
Dengan
kata lain, kebenaran teologis dari seorang seperti Paulu—atau dari siapa saja
di antara kita—jadi peristiwa politis yang mengguncang tatanan normal
masyarakat. Dan malah harapan di tengah kelesuan rutin politik dapat datang
dari situ. Jika kita kembali ke soal tempat iman di bilik suara tadi, kiranya
yang genting bolehlah terjadi sekalipun kita tahu kesibukan pemilu ini rutin
terkendali adanya.
Iman
kita akan menyalak lagi di situ, kerinduan kita tentang keselamatan akan
bangkit lagi di situ, mungkin tidak saat mencoblos salah satu nomor partai
atau caleg, tetapi saat kita memutuskan bahwa nama yang kita coblos akan kita
interupsi dan gangsir terus-menerus karena kita percaya pada yang benar dan
baru yang harus datang melalui pilihan politis kita kepadanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar