Jumat, 18 April 2014

Tafsiran, Insinuasi, atau Fakta?

Tafsiran, Insinuasi, atau Fakta?

Dion Pare  ;   Peminat Masalah Sosial
TEMPO.CO, 16 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pemilihan anggota legislatif baru saja berlalu. Semuanya berjalan dengan relatif aman dan tertib. Di tengah suasana yang tenang ini, artikel tentang intelijen dari Soleman B. Ponto perlu ditanggapi (Koran Tempo, Sabtu, 12 April 2014). Ia mengulangi argumentasi dalam artikel sebelumnya (Koran Tempo, 28 Februari 20014). Argumennya bertolak dari keputusan MK bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Dalam keputusan itu, MK juga menegaskan bahwa keputusan ini baru akan berlaku pada 2019. Artinya, dalam Pemilu 2014, berlaku status quo (proses pemilu yang sedang berjalan dilanjutkan).

Nah, dari sini muncul polemik ketika undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD masih dipakai sebagai dasar pelaksanaan Pemilu 2014. Menurut pengkritiknya, keputusan tersebut menyebabkan pemilu ini tidak konstitusional dan hasilnya pun pasti inkonstitusional. Pandangan itu tentu saja bisa dipahami. Banyak orang berbagi pandangan itu. Menariknya, para pengritik ini menerima keputusan MK tentang keserentakan pemilihan umum, tapi menolak penundaan pelaksanaannya. Padahal MK mengatakan bahwa keputusan itu harus dibaca sebagai satu kesatuan, tidak dipisahkan, apalagi dipertentangkan.

Ketika tulisan dengan nada yang sama dimuat lagi dalam media ini dari orang yang sama, penulis pun bertanya-tanya apa sebenarnya yang hendak disampaikan. Penulis menangkap tiga hal yang menyembul keluar dari kedua artikel tersebut.

Pertama, itu satu tafsiran. Jika ada lebih dari satu tafsiran, tafsiran dari lembaga yang berwenanglah yang berlaku. Hingga saat ini, tampaknya partai-partai, walaupun mungkin tidak setuju, secara implisit menerimanya. Buktinya, mereka bersedia mengikuti pemilu atas dasar keputusan itu.

Kedua, Soleman B. Ponto tidak hanya beropini. Ia memperkirakan bahwa, karena inkonstitusional, pihak-pihak yang bertarung, terutama yang kalah, tidak menerima hasil pemilu tersebut. Ia mensinyalir adanya pihak yang tidak menerima kekalahan. Ia juga menyebutkan sinyalemen salah satu partai yang mengatakan ada indikasi gerakan untuk mengacaukan Pemilihan Umum 2014. Situasinya menjadi chaos, dan hal itu mendorong TNI untuk melakukan kudeta konstitusional demi keselamatan negara.

Karena tidak disebutkan nama partai-partai itu, bisa muncul tuduhan satu terhadap yang lain. Mereka akan saling mengawasi dan mengamati, dan saling mencurigai. Penulis tidak mau berdramatisasi bahwa sikap-sikap itu akan berlanjut dengan keadaan chaos. Penulis hanya bertanya: partai politik manakah yang mencoba bermain dengan dua agenda itu: memenangi pemilu dan, jika tidak, membuat kekacauan? Ini tentu saja merupakan suatu insinuasi yang memanaskan situasi.

Ketiga, sebagai orang dengan latar belakang intelijen, mungkin Soleman B. Ponto mempunyai data telik sandi kategori valid. Seandainya ya, mengapa ia menyampaikan kepada publik? Data intelijen itu bukanlah untuk konsumsi publik, karena akan menimbulkan kepanikan. Jika ia menyimpan hal-hal itu, ada baiknya ia menyerahkan kepada lembaga yang tepat demi tindakan antisipatif ketimbang menyebarkan insinuasi dan isu-isu yang sama-sama mencemaskan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar