Tafsiran,
Insinuasi, atau Fakta?
Dion Pare ; Peminat Masalah Sosial
|
TEMPO.CO,
16 April 2014
Pemilihan
anggota legislatif baru saja berlalu. Semuanya berjalan dengan relatif aman
dan tertib. Di tengah suasana yang tenang ini, artikel tentang intelijen dari
Soleman B. Ponto perlu ditanggapi (Koran Tempo, Sabtu, 12 April 2014). Ia
mengulangi argumentasi dalam artikel sebelumnya (Koran Tempo, 28 Februari
20014). Argumennya bertolak dari keputusan MK bahwa Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Dalam keputusan itu, MK juga
menegaskan bahwa keputusan ini baru akan berlaku pada 2019. Artinya, dalam
Pemilu 2014, berlaku status quo (proses pemilu yang sedang berjalan
dilanjutkan).
Nah,
dari sini muncul polemik ketika undang-undang yang dinyatakan bertentangan
dengan UUD masih dipakai sebagai dasar pelaksanaan Pemilu 2014. Menurut
pengkritiknya, keputusan tersebut menyebabkan pemilu ini tidak konstitusional
dan hasilnya pun pasti inkonstitusional. Pandangan itu tentu saja bisa
dipahami. Banyak orang berbagi pandangan itu. Menariknya, para pengritik ini
menerima keputusan MK tentang keserentakan pemilihan umum, tapi menolak
penundaan pelaksanaannya. Padahal MK mengatakan bahwa keputusan itu harus
dibaca sebagai satu kesatuan, tidak dipisahkan, apalagi dipertentangkan.
Ketika
tulisan dengan nada yang sama dimuat lagi dalam media ini dari orang yang
sama, penulis pun bertanya-tanya apa sebenarnya yang hendak disampaikan.
Penulis menangkap tiga hal yang menyembul keluar dari kedua artikel tersebut.
Pertama,
itu satu tafsiran. Jika ada lebih dari satu tafsiran, tafsiran dari lembaga
yang berwenanglah yang berlaku. Hingga saat ini, tampaknya partai-partai,
walaupun mungkin tidak setuju, secara implisit menerimanya. Buktinya, mereka
bersedia mengikuti pemilu atas dasar keputusan itu.
Kedua,
Soleman B. Ponto tidak hanya beropini. Ia memperkirakan bahwa, karena
inkonstitusional, pihak-pihak yang bertarung, terutama yang kalah, tidak
menerima hasil pemilu tersebut. Ia mensinyalir adanya pihak yang tidak
menerima kekalahan. Ia juga menyebutkan sinyalemen salah satu partai yang
mengatakan ada indikasi gerakan untuk mengacaukan Pemilihan Umum 2014.
Situasinya menjadi chaos, dan hal itu mendorong TNI untuk melakukan kudeta
konstitusional demi keselamatan negara.
Karena
tidak disebutkan nama partai-partai itu, bisa muncul tuduhan satu terhadap
yang lain. Mereka akan saling mengawasi dan mengamati, dan saling mencurigai.
Penulis tidak mau berdramatisasi bahwa sikap-sikap itu akan berlanjut dengan
keadaan chaos. Penulis hanya bertanya: partai politik manakah yang mencoba
bermain dengan dua agenda itu: memenangi pemilu dan, jika tidak, membuat
kekacauan? Ini tentu saja merupakan suatu insinuasi yang memanaskan situasi.
Ketiga,
sebagai orang dengan latar belakang intelijen, mungkin Soleman B. Ponto
mempunyai data telik sandi kategori valid. Seandainya ya, mengapa ia
menyampaikan kepada publik? Data intelijen itu bukanlah untuk konsumsi
publik, karena akan menimbulkan kepanikan. Jika ia menyimpan hal-hal itu, ada
baiknya ia menyerahkan kepada lembaga yang tepat demi tindakan antisipatif
ketimbang menyebarkan insinuasi dan isu-isu yang sama-sama mencemaskan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar