Persoalan
Beras untuk Rakyat Miskin
Kadir ; Bekerja di Badan Pusat Statistik
|
TEMPO.CO,
16 April 2014
Beberapa
waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah
mengevaluasi dan membenahi program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin).
Pasalnya, program ini dianggap tidak memenuhi unsur "enam T", yakni
tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga, dan tepat
administrasi, yang dijadikan sebagai indikator efektivitas program (Koran
Tempo, 5 April 2014).
Sudah
menjadi rahasia umum, di lapangan, selama ini penyaluran beras murah memang
bermasalah. Beras bersubsidi ini acap kali menyasar golongan mampu dan tidak
menjangkau rumah tangga yang pantas menerima. Penyalurannya pun telat, kurang
layak untuk dikonsumsi, dan harus ditebus dengan harga yang lebih tinggi oleh
rumah tangga berpendapatan rendah.
Ditengarai,
beras murah juga sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin meraup
rente ekonomi, karena harganya yang lebih rendah dibanding harga pasar.
Alih-alih dikonsumsi oleh rumah tangga miskin, beras ini sering dijual
kembali di pasar dengan harga pasar. Jadi, frasa "beras untuk rakyat
miskin" menjadi kehilangan makna.
Berdasarkan
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada Maret 2013, jumlah rumah
tangga penerima raskin mencapai 31,2 juta rumah tangga atau sekitar 49,45
persen dari jumlah total rumah tangga di Indonesia. Padahal, pada tahun lalu,
program beras murah ini hanya menyediakan beras bersubsidi untuk 15,5 juta
rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM), atau 20 persen rumah tangga
dengan taraf kesejahteraan terendah.
Hal ini
memberi konfirmasi bahwa selama ini beras murah memang menyasar rumah tangga
mampu, yang seharusnya tidak menerima bantuan. Menurut hasil Susenas pula,
dari sekitar 6,6 juta rumah tangga penerima beras murah, 20 persennya justru
termasuk rumah tangga dengan taraf kesejahteraan tertinggi.
Meskipun
demikian, terlepas dari berbagai masalah yang melingkupinya, program ini
harus tetap dipertahankan. Sebab, beras adalah komoditas yang sangat penting
bagi penduduk miskin. Menurut data statistik, dalam kondisi normal (tanpa ada
gejolak harga), sekitar 20–25 persen pengeluaran penduduk miskin ditujukan
untuk membeli beras.
Bila
harga beras naik tajam, porsi pengeluaran penduduk miskin yang tersedot untuk
membeli beras bakal meningkat. Konsekuensinya, pemenuhan kebutuhan pangan
lain seperti protein dan kebutahan nonpangan (kesehatan dan pendidikan) bakal
terganggu. Pengalaman menunjukkan, memburuknya kondisi kemiskinan sepanjang
2005–2006 dipicu oleh meroketnya harga-harga bahan makanan, terutama beras,
sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sebetulnya,
berbagai persoalan yang menjadi penyebab tidak terpenuhinya unsur "enam
T" dalam pelaksanaan program beras murah sudah lama diketahui. Karena
itu, sudah semestinya pemerintah segera melakukan pembenahan. Semua ini
diperlukan agar program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial di
bidang pangan, yang menyedot Rp 21,4 triliun dana negara ini, benar-benar
efektif dan memberi maslahat bagi 15,5 juta rumah tangga kurang mampu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar