Susun
Strategi untuk Pemilihan Presiden
James Luhulima ; Wartawan Senior
Kompas
|
KOMPAS,
12 April 2014
PEMILIHAN
umum legislatif telah berlangsung secara serentak, Rabu (9/4) lalu. Komisi
Pemilihan Umum akan menghitung perolehan suara setiap partai politik peserta
pemilu, dan diharapkan hasilnya akan diumumkan pada 5 atau 6 Mei mendatang.
Namun,
dari hasil hitung cepat Kompas, disebutkan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan berada di urutan teratas dengan raihan suara 19,24 persen, diikuti
Golkar di urutan kedua dengan 15,01 persen, Gerindra di urutan ketiga (11,77
persen), Demokrat di urutan keempat (9,43 persen), dan PKB di urutan kelima
(9,12 persen).
Walaupun
PDI-P berada di urutan teratas, raihan suaranya tidak sebesar yang
diperkirakan survei Kompas pada Januari lalu. Menurut hasil survei Kompas
itu, PDI-P akan meraih suara 21,8 persen. Itu sebelum Gubernur DKI Jakarta
Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, dicalonkan PDI-P sebagai presiden.
Sama seperti PDI-P, survei Kompas menempatkan Golkar di tempat kedua dengan
raihan suara 16,5 persen. Adapun Gerindra berada di urutan ketiga dengan 11,5
persen suara. Hampir sama dengan hasil hitung cepat Kompas, hanya terpaut sekitar
0,2 persen.
Adapun
Demokrat berada di urutan keempat dengan raihan 6,9 persen. Angka ini 2,53
persen lebih rendah dari capaian Demokrat dalam hitung cepat Kompas. Kejutan
terjadi di urutan kelima. Survei Kompas menempatkan Nasdem di urutan kelima
dengan 6,9 persen. Kenyataannya, Nasdem memang memperoleh 6,71 persen. Namun,
dengan angka itu, Nasdem berada di urutan kedelapan. Dan, urutan kelima
ditempati PKB dengan 9,12 persen.
Kelihatannya
dalam hari-hari mendatang, persoalan tentang siapa akan berkoalisi dengan
siapa akan ramai diperdebatkan. Mengingat tidak ada satu pun partai politik
yang meraih suara di atas 25 persen, angka diperlukan untuk mengajukan
pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Berpengaruh atau tidak
Melihat
hasil yang diperoleh PDI-P dalam hitung cepat Kompas, banyak yang
mempertanyakan, apakah ada pengaruh dari dicalonkannya Jokowi sebelum pemilu
legislatif dilaksanakan? Sangat sulit menjawab pertanyaan itu. Ini karena
pihak yang mengatakan ada pengaruhnya bisa saja mengatakan, tanpa Jokowi
perolehan PDI-P akan lebih rendah lagi. Hal itu mengingat, dalam Pemilu
Legislatif 2009, perolehan suara PDI-P hanya 14,03 persen.
Sementara
pihak yang mengatakan tidak ada pengaruhnya dapat beralasan, sesungguhnya
pada 2009, perolehan PDI-P sekitar 19,22 persen. Kecurangan yang dilakukan
dalam Pemilu Legislatif 2009-lah yang membuat perolehan suara PDI-P hanya
14,03 persen.
Perdebatan
kedua pihak bisa panjang dan menghabiskan energi, dan tetap tidak akan dapat
ditemukan jawabannya, yakni ada pengaruhnya atau tidak. Daripada menghabiskan
energi yang tidak perlu, lebih baik PDI-P berpikir keras akan berkoalisi
dengan siapa. Dan, segera menyusun strategi untuk menghadapi pemilihan
presiden (pilpres) pada 9 Juli mendatang. Demikian pula dengan partai-partai
lain, khususnya tiga parpol yang berada urutan teratas.
Perhitungkan matang-matang
Ketiga
partai yang berada di urutan teratas perlu melihat kembali ke Pilpres 2004,
ketika presiden terpilih justru datang dari Partai Demokrat yang berada di urutan
kelima dengan hanya meraih suara 7,45 persen. Pilpres 2004 memperlihatkan
tidak adanya keterkaitan antara partai yang memperoleh suara mayoritas dan
calon presiden yang diajukannya.
PDI-P
yang dalam Pemilu Legislatif 2004 berada di urutan kedua dengan 18,53 persen
tidak berhasil memenangkan Megawati sebagai presiden. Bahkan, calon presiden
yang diajukan Golkar, yang dalam pemilu legislatif menempati urutan teratas
dengan raihan suara 21,58 persen, tidak lolos ke putaran kedua.
Keadaan
yang hampir sama juga terjadi dalam Pilpres 2009. Memang dalam pemilu
legislatif tahun 2009, Partai Demokrat memperoleh suara 20,85 persen, tetapi
itu tidak ada kaitannya dengan terpilihnya kembali Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai presiden.
Dengan
partai yang hanya memperoleh suara 7,45 persen, Susilo Bambang Yudhoyono bisa
terpilih sebagai presiden, apalagi ia maju kembali sebagai petahana.
Dalam
Pemilu Legislatif 2009, Golkar berada di urutan kedua dengan raihan suara
14,45 persen, diikuti PDI-P di urutan ketiga dengan 14,03 persen. Namun,
dalam pemilihan presiden tahun 2009, Jusuf Kalla-Wiranto hanya meraih 12,41
persen suara, kalah dari Megawati-Prabowo yang meraih 26,79 persen. Adapun
Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono meraih 60,80 persen.
Melihat
kecenderungan seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi partai yang masuk lima
besar, untuk memperhitungkan opsi yang mungkin dimainkannya. Kompromi
diperlukan mengingat tidak satu pun partai politik yang meraih suara di atas
20 persen. Untuk memperoleh gambaran tentang yang memiliki peluang paling
besar untuk menjadi presiden untuk periode 2014-2019, tidak ada salahnya jika
kita melirik hasil survei Kompas tentang sosok presiden pilihan publik yang
diadakan tahun 2014. Tempat teratas diduduki Jokowi (43,5 persen), diikuti Prabowo
di urutan kedua (11,2 persen). Aburizal Bakrie berada di tempat ketiga dengan
9,2 persen dan Wiranto di tempat keempat dengan 6,3 persen.
Adalah penting untuk menentukan pasangan yang paling cocok untuk
dipilih sebagai presiden dan wakil presiden. Sepopuler apa pun calon yang
diajukan sebagai presiden, dapat menjadi tidak berarti jika calon itu
dipasangkan dengan orang yang salah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar