Revisi
atas Garis Kemiskinan
Carunia Mulya Firdausy ;
Profesor Riset LIPI,
Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanagara
|
KOMPAS,
11 April 2014
Wacana merevisi garis kemiskinan untuk menghitung jumlah
penduduk miskin nasional sudah bikin para pakar bosan meneriakkannya. Syukurlah
bahwa paling tidak Bappenas sudah
bertahap mendiskusikan hal tersebut sejak pertengahan tahun lalu. LIPI juga
tidak mau kalah ketinggalan kereta dan telah memulai penelitian menyangkut
isu ini sejak 2012 dalam program penelitian kompetitifnya.
Jika hasil diskusi Bappenas dan penelitian LIPI selesai,
pemerintah baru mendatang dapat memanfaatkan hasil diskusi dan temuan
penelitian itu untuk merevisi garis kemiskinan (GK) nasional. Mengapa GK yang
ada selama ini harus direvisi?
Lima alasan
Paling tidak ada lima alasan sederhana berikut ini.
Pertama, GK nasional selama ini tidak dapat dijadikan alat untuk
merencanakan pengentasan orang miskin, apalagi untuk merencanakan pembangunan
nasional. GK tersebut hanya mencakup komponen pengeluaran makanan (52
komoditas dasar) yang disesuaikan dengan inflasi umum atau indeks harga
konsumen (IHK) dalam periode tertentu ditambah dengan komponen pengeluaran
nirmakanan yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan (BPS,
2011, hal 98). Jadi, bukan saja kedalaman kemiskinan yang tidak dapat diukur,
melainkan juga potret dan faktor penyebab kemiskinan tidak dapat tajam
dipetakan.
Kedua, GK selama ini perhitungannya terbatas pada komponen
makanan dan nirmakanan tertentu saja. Padahal, kebutuhan seseorang tidak
hanya terbatas pada kebutuhan pangan dan nirmakanan tertentu semata.
Ketiga, GK saat ini tidak memperhitungkan kebutuhan seseorang
terhadap pangan protein dan perbedaan harga komoditas pangan antardaerah.
Akibatnya, jumlah penduduk miskin dapat menjadi bengkak di daerah dengan
harga pangan tinggi dan rendah di daerah dengan harga pangan relatif murah.
Begitu pula jika perhitungan GK pangan disetarakan dengan standar kebutuhan
kalori. Penggunaan GK setara kalori menjadi sesat karena terdapat pangan
berkalori tinggi tetapi berharga murah.
Keempat, pemilihan komponen nirpangan masih dilakukan secara
sewenang-wenang sehingga dapat menyebabkan rendah atau tingginya GK.
Kelima, menghitung jumlah penduduk miskin dilakukan dalam
periode satu tahun. Perhitungan jumlah penduduk miskin dalam satu tahun akan membuat faktor
penyebab kemiskinan menjadi kumpulan faktor. Akibatnya, pemerintah akan sulit
menetapkan faktor signifikan penyebab kemiskinan di satu sisi dan program
spesifik yang harus diterapkan dalam mengentaskan orang miskin di sisi lain
(Firdausy dkk, 2012 dan 2013). Jadi, tidak aneh jika klaim bahwa pemerintah
berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun kurang sesuai
dengan kenyataan di lapangan.
Hasil penelitian LIPI
Memang harus diakui sulit menetapkan GK yang ”tepat” untuk
menghitung jumlah penduduk miskin. Hasil penelitian LIPI selama dua tahun
lalu baru sampai memastikan bahwa GK nasional sebesar Rp 250.000 per kapita
per bulan tidak tepat lagi digunakan sebagai GK nasional. Responden di
Yogyakarta, Palembang, dan Makassar umumnya menyatakan Rp 500.000 per orang
per bulan (atau Rp 1,5 juta per keluarga dengan anak dua orang) lebih pas
digunakan sebagai nilai rupiah menghitung jumlah penduduk miskin.
Nilai rupiah GK di atas diperoleh dengan menggunakan metode
subyektif atau self-rated poverty line
(Mangahas, 2008). Jika digunakan
penghitungan dengan memasukkan aspek multidimensi (Bank Dunia, 2000 dan Sen, 1999) yang meliputi komponen
keberdayaan, kemampuan, kesempatan, dan keamanan, responden miskin dan
nirmiskin di Pontianak dan Jambi tidak dapat menetapkan besaran nilai rupiah
GK, baik untuk per kapita, apalagi per keluarga.
Yang menarik dari temuan penelitian ini, selain kritik responden
terhadap GK nasional selama ini, responden juga menganggap pentingnya
komponen keberdayaan dan keamanan sebagai aspek yang harus dihitung dalam penetapan nilai rupiah GK nasional di
luar aspek kemampuan dan kesempatan.
Temuan dua tahun penelitian LIPI ini tentu tidak dapat secara
sederhana diartikan bahwa nilai rupiah GK revisi harus tiga atau empat kali
nilai rupiah GK nasional yang dipakai selama ini. Yang ingin dikatakan adalah
bahwa penetapan GK ke depan di satu sisi perlu memperhatikan perubahan
komponen pangan dan nirpangan yang dipakai selama ini, sekaligus menambah
komponen-komponen lain di luar komponen pangan dan nirpangan itu sendiri di
sisi lain .
Selain itu, temuan LIPI juga mengisyaratkan bahwa penetapan GK
revisi mendatang harus memperhatikan tidak saja yang menyangkut aspek
ketersediaan, melainkan juga menyangkut aspek kemudahan dan daya beli setiap
aspek multidimensi kemiskinan.
Kompleksitas komponen yang harus diakomodasi dalam GK revisi
mendatang memang akan menimbulkan
dampak negatif baik dalam arti politik, sosial, dan ekonomi bagi pemerintah
mendatang. Hal ini disebabklan pemakaian GK revisi tersebut akan berakibat
nilai rupiah semakin besar sehingga jumlah penduduk miskin semakin besar
pula.
Namun, dampak negatif tersebut pada hemat saya akan berjangka
pendek. Sebaliknya, dalam jangka menengah dan panjang, penggunaan GK revisi
dapat memacu kerja keras berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas program pembangunan nasional, terlebih lagi jika kita bermimpi
menjadi negara maju pada tahun 2030.
Inilah salah satu pekerjaan yang harus berani dilakukan
pemerintahan mendatang, siapa pun nanti mereka. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar