Perempuan
dan Langkah Afirmatif
Lies Marcoes ; Peneliti
|
KOMPAS,
21 April 2014
SECARA normatif, tindakan khusus sementara (affirmative action) untuk menaikkan
jumlah keterwakilan perempuan di ruang publik adalah niscaya.
Niscaya
karena hanya dengan cara itu kepentingan perempuan yang dirundingkan dan
diambil melalui keputusan-keputusan demokratis bisa disuarakan. Niscaya
karena jika hanya ”dititipkan” kepada pihak lain (lelaki) kepentingan itu
bisa bias (membelok) atau bahkan menguap. Langkah afirmatif dengan mengambil
gagasan UNDP yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan merupakan
aksi paling moderat dari mandat konvensi CEDAW. Ini konvensi yang memastikan tak
ada diskriminasi terhadap perempuan berbasis prasangka jender. Sejumlah besar
negara yang ikut menandatangani konvensi ini memang menggunakan mekanisme
kuota 30 persen untuk memastikan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga
negara di mana sebuah keputusan digodok, dilahirkan, dan harus dilaksanakan.
Berbagai kendala
Itu
idealnya. Di tingkat praktis kita menghadapi berbagai kendala. Persoalan
paling laten adalah karena ruang publik bukanlah ruang yang siap dan mengerti
mengapa keterwakilan penting. Ini jelas karena sejak awal dunia politik
dibangun di arena publik yang berangkat dari dikotomi yang memisahkan domain
lelaki dan perempuan atau ruang publik dan privat/domestik. Inilah kritik
fundamental para feminis terhadap konsep ruang publik gagasan Jurgen Habermas
itu.
Konsep
ruang ini tak menghitung kepentingan mereka yang selama ini ”dirumahkan”
seperti perempuan dan kaum difabel. Akibatnya, ketika perempuan hendak masuk
ke ruang itu, mereka dianggap penumpang gelap yang akan menggeser dan jadi
pesaing atas dominasi lelaki yang merasa pemilik sah lembaga itu.
Di
tingkat rumah tangga dan komunitas, perempuan berhadapan dengan efek biner
yang sama. Pandangan budaya, agama, bahkan politik telah mendefinisikan
status perempuan secara ajek sebagai ibu rumah tangga. Itu berarti, di
ranahnya sendiri, mereka bukan pemegang kuasa dan otoritas. Mereka penumpang
yang peran dan statusnya ditentukan pihak lain yang dianggap nakhoda
(suami/keluarga besar). Ini berdampak besar ketika perempuan ”nyaleg”.
Keputusannya sangat ditentukan sejauh mana suami memberi dukungan, termasuk
pendanaan. Di sejumlah kasus, keterwakilan mereka perpanjangan tangan
suaminya yang secara politik tak memungkinkan untuk maju sendiri.
Soal
lain, langkah afirmatif hanya mensyaratkan ”angka”. Perempuan calon harus
berhadapan dengan sikap yang meragukan kemampuan mereka. Sebuah sikap yang
hampir tak pernah berlaku pada lelaki meski kualitas mereka luar biasa
kedodoran. Masalahnya karena arena itu dianggap ruang main mereka, publik
sering kali punya permakluman atas kedunguan mereka, sebuah sikap yang tak
berlaku bagi perempuan. Lihat saja ketika Angel Lelga mempertontonkan
”kelasnya” di media televisi, ia sontak jadi bulan-bulanan. Olok-olok yang
sama sebetulnya bisa dilontarkan kepada anggota DPR yang juga ”dodol”, tetapi
bagi mereka seperti ada permakluman atas ketidakwarasannya.
Dari
tiga persoalan ini saja dapat dibaca betapa tak gampang memastikan upaya arif
yang bisa menjamin keterwakilan perempuan. Hampir pasti, upaya afirmatif di
mana pun di dunia berangkat dari keadaan yang memang perempuan sendiri
tak/belum siap masuk ke gelanggang politik. Ini disebabkan perlakuan
diskriminatif yang telah lebih dulu menerpa mereka. Karenanya, upaya lanjutan
yang dapat memastikan keterwakilan itu bisa terkawal terus diupayakan. Ini
agar keterwakilan itu memiliki kepastian dan tak hanya di tingkat angka,
tetapi juga makna.
Dalam
konteks politik di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana keterwakilan itu
didemonstrasikan dalam pemilu legislatif. Upaya-upaya sistemik agar perempuan
terwakili di setiap jenjang relatif telah dipatuhi partai. Praktis tiap
partai di setiap dapil memasang perempuan. Dari sisi ini, afirmatif di
tingkat paling elementer telah terpenuhi. Namun, soal keterpilihan, masalah
lain. Afirmatif tak berlaku pada tingkat pemilihan. Lelaki dan perempuan dari
satu partai sama harus bersaing mem-
perebutkan
kursi. Ini berarti seorang caleg perempuan tak hanya harus bersaing dengan
sesama calon dari partainya di dapil sama, tetapi juga dengan lelaki dan
perempuan lain di satu dapil dari partai berbeda.
Gempa politik
Persaingan
serupa ini pada kenyataannya memang jadi ”gempa politik” bagi caleg
perempuan. Seperti Kak Zu, demikian saya memanggilnya. Ia semula hanya guru
TK/PAUD yang dibangun partai lokal yang berkuasa di Aceh dengan gaji Rp
500.000. Ayahnya penarik becak, suaminya sopir. Februari 2013 saat partai
panik menentukan daftar calon sementara, pamannya dari partai lokal—lawan
partai berkuasa—membujuknya nyaleg dengan janji partai akan bantu. Ajakan
bukan tanpa alasan. Ia menggenapi aturan keterwakilan 30 persen perempuan
karena tanpa itu partai akan tercoret.
Kak Zu
menyangka ia hanya akan main air semata kaki. Nyatanya, belanja politik untuk
partai dan kampanye menenggelamkannya hingga ke leher. Ia sejak awal sadar,
perannya hanya ”timun bengkok (untuk)
memenuhi keranjang”. Begitu masuk, ia terseret ke pusaran arus kampanye
yang nyaris kalap. Mobil suaminya dijual. Sepanjang kampanye, suaminya harus
mengawal. Praktis mereka berdua tak lagi mencari nafkah enam bulan. Modal
habis, ia meminta bantuan ayahnya yang kemudian menggadaikan kebun
rambutannya.
Menangkah?
Tidak. Kehidupan keluarga itu guncang. Suami tak bisa kembali ”narik” karena
dianggap pengkhianat partai penguasa yang menguasai lintasan ”trayek”. Kak Zu
harus cari sekolah baru karena posisi lama digantikan orang. Mereka sempat
mengungsi ke rumah orangtua akibat ancaman kekerasan.
Kasus
Kak Zu pasti bukan pengecualian dan tak bisa dijadikan alasan surut langkah.
Yang harus dipikirkan, bagaimana melanjutkan kebijakan politik afirmatif
tanpa menimbulkan gempa politik dan gelombang tsunami di keluarga. Dari
pengalaman sejumlah negara seperti India, 10 tahun pertama upaya afirmatif
tak gampang. Di tahun-tahun pertama keterwakilan perempuan diisi dinasti
penguasa seperti juga di Indonesia. Namun, karena mereka masyarakat
pembelajar, dalam waktu singkat keterwakilan itu membuahkan hasil bukan hanya
bagi perempuan, melainkan juga bagi perbaikan negeri itu. Kebijakan-kebijakan
terbaru yang dilahirkan membawa perubahan sangat signifikan terhadap
cita-cita, apresiasi warga terhadap kaum perempuan. Antara lain dengan
melawan politik uang dan korupsi di lembaga negara dan dengan cara itu
memperlihatkan signifikansi keterwakilan perempuan di parlemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar