Minggu, 13 April 2014

Partai Islam dan Konstelasi Politik Pilpres

Partai Islam dan Konstelasi Politik Pilpres

Ahmad Fuad Fanani  ;   Direktur Riset Maarif Institute for Culture and Humanity, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KORAN SINDO, 12 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Hasil penghitungan cepat (quick count) Pemilu Legislatif 2014 yang dirilis banyak lembaga survei sejak Rabu lalu sangat menarik untuk dicermati. Banyak kejutan politik yang sebelumnya tidak diperkirakan.

Jokowi effect yang diharapkan akan melejitkan suara PDIP guna memperoleh suara hingga 25–30% ternyata tidak banyak terbukti. PDIP memang menjadi juara pertama, namun perolehan suaranya di bawah 20%. Kejutan lain adalah perolehan Gerindra yang mampu menembus menjadi tiga besar dengan suara yang sangat signifikan. Itu tentu sangat berpengaruh pada konstelasi politik jelang pilpres. Kejutan politik yang juga sangat mengherankan adalah perolehan suara partai Islam.

Agak berbeda dengan analisis lembaga survei selama ini, partai-partai Islam ternyata tidak mengalami senjakala dan kemerosotan suara. Partai Islam atau partai yang berbasis muslim ternyata mendapat dukungan yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada Pemilu 2009. Fenomena perolehan partai Islam yang melejit itu tentu sangat menarik untuk didiskusikan.

Di antara pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah: Apa saja faktor yang menyebabkan suara partai Islam itu naik? Ke mana partai Islam akan mengarahkan koalisi politiknya? Mungkinkah partai-partai Islam membuat poros strategis dalam pilpres Juli nanti? Partai-partai Islam setelah pileg akan semakin strategis karena tidak ada partai yang memperoleh suara di atas 20% dalam perolehan kursi parlemen atau 25% dari total perolehan suara.

Faktor Kemenangan Partai Islam

Kenaikan suara partai Islam memang signifikan dibandingkan pada Pemilu 2009. Berdasarkan quick count Cyrus Network dan CSIS, PKB sekarang memperoleh 9,20%, sedangkan pada 2009 memperoleh 4,94%. PAN pada pemilu lalu 6,01% dan saat ini 7,50%. PKS dahulu memperoleh 7,88% dan sekarang turun sedikit menjadi 6,90%, sementara PPP pada 2009 memperoleh 5,32% dan pemilu ini 6.70%. PBB dalam posisi yang hampir sama, dari 1,79% menjadi 1,60%. Kecuali PKS dan PBB, hampir semua partai Islam mengalami kenaikan suara.

Kenaikan drastis perolehan suara PKB dalam pemilu kali ini tentu disebabkan banyak faktor. Faktor NU yang secara terang-terangan memberi dukungan pada PKB adalah salah satu penentu yang menjadikan suara PKB naik. KH Said Aqil Siradj mempunyai kedekatan tertentu dengan Muhaimin Iskandar. Ini juga dinyatakan secara langsung dalam iklan PKB beberapa bulan terakhir yang menunjukkan bahwa PKB dan NU adalah satu paket sebagai saluran resmi politik kaum nahdliyin.

Menurut Greg Fealy (2014), dengan posisi itu dan ditambah faktor lain banyak kiai dan tokoh senior NU yang pada 2004 dan sebelumnya mendukung PKB terus kemudian mereka kecewa dan pindah ke partai lain banyak yang kembali ke PKB. Faktor Rhoma Irama yang digandeng menjadi cawapres dari PKB dan gencar disosialisasikan juga memberi pengaruh yang signifikan pada peroleh suara PKB. Ini terutama karena basis massa tradisional PKB adalah warga NU yang kebanyakan tinggal di daerah urban dan banyak yang mengidolakan Rhoma Irama.

Masuknya Rusdi Kirana ke PKB dan langsung menduduki posisi wakil ketua umum DPP PKB sangat signifikan juga dalam melejitkan suara PKB. Berdasarkan analisis Greg Fealy, masuknya Rusdi Kirana menjadikan PKB lebih kuat secara finansial dan punya kemampuan untuk melakukan kampanye sebagaimana partai besar yang lain. Jika sebelumnya kampanye PKB banyak dilakukan secara sederhana dan seadanya, masuknya Rusdi Kirana membuat PKB mampu menyelenggarakan kampanye yang lebih megah, wah, dan spektakuler (the Puzzle of Rusdi Kirana and Islamic Politics, , 06/04/2014).

PKB pun sering membuat iklan politik (political advertising) di berbagai televisi dengan menampilkan tiga jawaranya: Muhaimin Iskandar, Said Aqil Siradj, dan Rusdi Kirana. Perpaduan faktor di atas hampir bisa mengembalikan kejayaan PKB yang pada Pemilu 2004 memperoleh suara 10,57% meskipun belum mampu mengembalikan posisi awalnya pada 1999 yang memperoleh suara 10,62%. Untuk Partai Amanat Nasional (PAN), faktor kenaikan suaranya kemungkinan disebabkan oleh posisi Hatta Rajasa sebagai ketua umum PAN yang dianggap lebih bisa ”merangkul” Muhammadiyah dibandingkan Soetrisno Bachir.

Meskipun secara resmi Muhammadiyah menyatakan tidak terkait PAN, banyak para pimpinan Muhammadiyah di daerah yang menjadi kader PAN dan maju lewat PAN juga. Selain itu, Hatta Rajasa juga melakukan ekspansi ke kalangan muda Muhammadiyah dan menjadikan sebagian mereka sebagai caleg DPR atau DPRD. Faktor Partai Matahari Bangsa (PMB) yang sudah tidak bisa ikut pemilu dan sebagian kadernya masuk lagi ke PAN tentu juga berpengaruh pada peroleh suara PAN.

Suara PPP yang kali ini lebih tinggi suaranya dibandingkan pemilu sebelumnya tampaknya dipengaruhi oleh strategi para pimpinannya untuk merangkul basis massa Islam yang ada dalam pesantren maupun ormas Islam. Tampaknya pilihan kalangan NU tetap lebih banyak ke PKB dibandingkan ke PPP. Berdasarkan exit poll Indikator Politik Indonesia pada 1416 responden di TPS yang tersebar pada pileg kemarin, suara NU yang berjumlah sekitar 40% tersebar ke banyak partai. Dalam exit poll itu tampak 14% suara NU memilih PDIP, Golkar dipilih 12% warga NU, dan PKB memperoleh dukungan 11% dari NU. Tidak signifikannya kenaikan suara PPP kemungkinan karena faktor harus berbagi ceruk yang sama dengan PKB.

Menjadi Poros Strategis

Kenaikan suara partai-partai Islam dalam Pileg 2014 ini merupakan dinamika politik yang tidak hanya berdampak secara internal partai Islam, tapi juga eksternal. Secara internal, partai Islam akan semakin percaya diri bahwa faktor Islam tetap merupakan hal yang menentukan dalam perpolitikan Indonesia. Menurut Bahtiar Effendy, posisi partai Islam tetap mempunyai tempat tersendiri dalam masyarakat dan sangat relevan dengan sistem politik Indonesia. Secara eksternal, kenaikan suara partai Islam menjadikan peta konstelasi politik Indonesia menjadi berubah.

Suara partai berbasis Islam sangat dibutuhkan partai nasionalis dalam mencapai ambang batas suara pencapresan dan karena itu sangat menentukan (the New York Times, 7/04/2014). Jika sebelumnya PDIP mungkin mempunyai kepercayaan diri untuk menentukan cawapresnya sendiri dan partai lain akan mendekatinya, sekarang menjadi berubah. PDIP harus aktif mengajak partai lain, terutama partai menengah atau partai Islam untuk berkoalisi. PDIP pun harus menentukan kursi cawapres berdasarkan hitungan-hitungan suara yang dalam pileg ini.

Mereka tidak bisa hanya menentukan berdasarkan pertimbangan dan analisisnya sendiri. PDIP mungkin bisa menggandeng PKB dan PAN sebagai representasi partai Islam moderat ditambah Partai NasDem. Dengan posisi seperti ini, bisa jadi PDIP juga akan mendapatkan dukungan plus dari NU dan Muhammadiyah yang punya kedekatan kultural dengan PKB dan PAN. Untuk Gerindra, kenaikan suara partai Islam ini mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan, tapi justru akan memberi berkah secara tidak langsung (blessing in disguise).
Dalam konstelasi politik pilpres nanti, kemungkinan Gerindra akan melanjutkan koalisinya dengan PPP. Apalagi, beberapa waktu lalu Suryadharma Ali sudah datang ke kampanye Partai Gerindra dan Prabowo pun menghadiri beberapa acara besar yang digelar PPP dan pendukungnya. PKS bisa juga akan bergabung dengan koalisi ini karena mereka ada keengganan tertentu untuk ikut PDIP dan Jokowi. Jika yang pertama adalah koalisi PDIP plus partai Islam moderat, yang kedua adalah koalisi Gerindra plus partai Islam konservatif. Selain kedua bentuk koalisi di atas, konstelasi politik pada pilpres pada Juli nanti kemungkinan besar juga akan diramaikan oleh koalisi ketiga.

Koalisi ketiga mungkin bisa terbentuk dengan fakta kenaikan suara partai politik Islam. Mereka mungkin akan mengusung pasangan capres-cawapres sendiri di luar dua mainstream koalisi di atas. Apalagi, jika perolehan patai-partai Islam itu bergabung, akan memperoleh suara lebih dari 30%. Tentu saja, untuk mengusung capres-cawapres dari partai-partai Islam yang bisa dinamakan dengan nama Poros Strategis ini, partai Islam sangat penting juga untuk menggalang dukungan dari kekuatan ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, Nahdlatul Wathan, dan sebagainya.

Jika mereka mengusung nama Poros Tengah Jilid II, mungkin kurang tepat karena akan mengembalikan trauma politik masa lalu. Poros Strategis ini akan berjalan efektif jika kekuatannya tidak hanya didukung oleh partai-partai Islam, namun juga melibatkan organisasi-organisasi Islam di atas. Kelemahan selama ini adalah antara partai-partai Islam dan ormas Islam sering berjalan sendiri-sendiri. Poros Strategis ini mungkin akan menjadi kekuatan baru dalam peta perpolitikan Indonesia.

Dengan hasil Pilpres 2014 ini, partai Islam dan ormas Islam bisa menjadikannya sebagai momentum untuk memunculkan capres-cawapresnya sendiri. Jika Poros Strategis ini nanti bisa memenangkan pilpres, mungkin format koalisinya bisa meniru UMNO di Malaysia atau meniru model pemerintahan Partai AKP di Turki dan Partai Ennahdah di Tunisia. Kasus Mesir di bawah Mursi bukanlah contoh yang bagus untuk ditiru.

Diatas itu semua, tentu saja ini bergantung pada keinginan politik (political interest) dan political will dari kalangan partai Islam sendiri karena bola sekarang ada di mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar