Partai
Islam dan Konstelasi Politik Pilpres
Ahmad Fuad Fanani ; Direktur Riset Maarif
Institute for Culture and Humanity, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 12 April 2014
Hasil
penghitungan cepat (quick count)
Pemilu Legislatif 2014 yang dirilis banyak lembaga survei sejak Rabu lalu
sangat menarik untuk dicermati. Banyak kejutan politik yang sebelumnya tidak
diperkirakan.
Jokowi
effect yang diharapkan akan melejitkan suara PDIP guna memperoleh suara
hingga 25–30% ternyata tidak banyak terbukti. PDIP memang menjadi juara
pertama, namun perolehan suaranya di bawah 20%. Kejutan lain adalah perolehan
Gerindra yang mampu menembus menjadi tiga besar dengan suara yang sangat
signifikan. Itu tentu sangat berpengaruh pada konstelasi politik jelang
pilpres. Kejutan politik yang juga sangat mengherankan adalah perolehan suara
partai Islam.
Agak
berbeda dengan analisis lembaga survei selama ini, partai-partai Islam
ternyata tidak mengalami senjakala dan kemerosotan suara. Partai Islam atau
partai yang berbasis muslim ternyata mendapat dukungan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan pada Pemilu 2009. Fenomena perolehan partai Islam yang melejit
itu tentu sangat menarik untuk didiskusikan.
Di
antara pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah: Apa saja faktor yang
menyebabkan suara partai Islam itu naik? Ke mana partai Islam akan
mengarahkan koalisi politiknya? Mungkinkah partai-partai Islam membuat poros
strategis dalam pilpres Juli nanti? Partai-partai
Islam setelah pileg akan semakin strategis karena tidak ada partai yang
memperoleh suara di atas 20% dalam perolehan kursi parlemen atau 25% dari
total perolehan suara.
Faktor Kemenangan Partai Islam
Kenaikan
suara partai Islam memang signifikan dibandingkan pada Pemilu 2009.
Berdasarkan quick count Cyrus
Network dan CSIS, PKB sekarang memperoleh 9,20%, sedangkan pada 2009
memperoleh 4,94%. PAN pada pemilu lalu 6,01% dan saat ini 7,50%. PKS dahulu
memperoleh 7,88% dan sekarang turun sedikit menjadi 6,90%, sementara PPP pada
2009 memperoleh 5,32% dan pemilu ini 6.70%. PBB dalam posisi yang hampir
sama, dari 1,79% menjadi 1,60%. Kecuali PKS dan
PBB, hampir semua partai Islam mengalami kenaikan suara.
Kenaikan
drastis perolehan suara PKB dalam pemilu kali ini tentu disebabkan banyak
faktor. Faktor NU yang secara terang-terangan memberi dukungan pada PKB
adalah salah satu penentu yang menjadikan suara PKB naik. KH Said Aqil Siradj
mempunyai kedekatan tertentu dengan Muhaimin Iskandar. Ini juga dinyatakan
secara langsung dalam iklan PKB beberapa bulan terakhir yang menunjukkan
bahwa PKB dan NU adalah satu paket sebagai saluran resmi politik kaum
nahdliyin.
Menurut
Greg Fealy (2014), dengan posisi itu dan ditambah faktor lain banyak kiai dan
tokoh senior NU yang pada 2004 dan sebelumnya mendukung PKB terus kemudian
mereka kecewa dan pindah ke partai lain banyak yang kembali ke PKB. Faktor
Rhoma Irama yang digandeng menjadi cawapres dari PKB dan gencar
disosialisasikan juga memberi pengaruh yang signifikan pada peroleh suara
PKB. Ini terutama karena basis massa tradisional PKB adalah warga NU yang
kebanyakan tinggal di daerah urban dan banyak yang mengidolakan Rhoma Irama.
Masuknya
Rusdi Kirana ke PKB dan langsung menduduki posisi wakil ketua umum DPP PKB
sangat signifikan juga dalam melejitkan suara PKB. Berdasarkan analisis Greg
Fealy, masuknya Rusdi Kirana menjadikan PKB lebih kuat secara finansial dan
punya kemampuan untuk melakukan kampanye sebagaimana partai besar yang lain.
Jika sebelumnya kampanye PKB banyak dilakukan secara sederhana dan seadanya,
masuknya Rusdi Kirana membuat PKB mampu menyelenggarakan kampanye yang lebih
megah, wah, dan spektakuler (the Puzzle of Rusdi Kirana and Islamic Politics,
, 06/04/2014).
PKB pun
sering membuat iklan politik (political advertising) di berbagai televisi
dengan menampilkan tiga jawaranya: Muhaimin
Iskandar, Said Aqil Siradj, dan Rusdi Kirana. Perpaduan faktor di atas
hampir bisa mengembalikan kejayaan PKB yang pada Pemilu 2004 memperoleh suara
10,57% meskipun belum mampu mengembalikan posisi awalnya pada 1999 yang
memperoleh suara 10,62%. Untuk Partai Amanat Nasional (PAN), faktor kenaikan
suaranya kemungkinan disebabkan oleh posisi Hatta Rajasa sebagai ketua umum
PAN yang dianggap lebih bisa ”merangkul” Muhammadiyah dibandingkan Soetrisno
Bachir.
Meskipun
secara resmi Muhammadiyah menyatakan tidak terkait PAN, banyak para pimpinan
Muhammadiyah di daerah yang menjadi kader PAN dan maju lewat PAN juga. Selain
itu, Hatta Rajasa juga melakukan ekspansi ke kalangan muda Muhammadiyah dan
menjadikan sebagian mereka sebagai caleg DPR atau DPRD. Faktor Partai
Matahari Bangsa (PMB) yang sudah tidak bisa ikut pemilu dan sebagian kadernya
masuk lagi ke PAN tentu juga berpengaruh pada peroleh suara PAN.
Suara
PPP yang kali ini lebih tinggi suaranya dibandingkan pemilu sebelumnya
tampaknya dipengaruhi oleh strategi para pimpinannya untuk merangkul basis
massa Islam yang ada dalam pesantren maupun ormas Islam. Tampaknya pilihan
kalangan NU tetap lebih banyak ke PKB dibandingkan ke PPP. Berdasarkan exit poll Indikator Politik Indonesia
pada 1416 responden di TPS yang tersebar pada pileg kemarin, suara NU yang
berjumlah sekitar 40% tersebar ke banyak partai. Dalam exit poll itu tampak 14% suara NU memilih PDIP, Golkar dipilih
12% warga NU, dan PKB memperoleh dukungan 11% dari NU. Tidak signifikannya
kenaikan suara PPP kemungkinan karena faktor harus berbagi ceruk yang sama
dengan PKB.
Menjadi Poros Strategis
Kenaikan
suara partai-partai Islam dalam Pileg 2014 ini merupakan dinamika politik
yang tidak hanya berdampak secara internal partai Islam, tapi juga eksternal.
Secara internal, partai Islam akan semakin percaya diri bahwa faktor Islam
tetap merupakan hal yang menentukan dalam perpolitikan Indonesia. Menurut
Bahtiar Effendy, posisi partai Islam tetap mempunyai tempat tersendiri dalam
masyarakat dan sangat relevan dengan sistem politik Indonesia. Secara
eksternal, kenaikan suara partai Islam menjadikan peta konstelasi politik
Indonesia menjadi berubah.
Suara
partai berbasis Islam sangat dibutuhkan partai nasionalis dalam mencapai
ambang batas suara pencapresan dan karena itu sangat menentukan (the New York Times, 7/04/2014). Jika
sebelumnya PDIP mungkin mempunyai kepercayaan diri untuk menentukan
cawapresnya sendiri dan partai lain akan mendekatinya, sekarang menjadi
berubah. PDIP harus aktif mengajak partai lain, terutama partai menengah atau
partai Islam untuk berkoalisi. PDIP pun harus menentukan kursi cawapres
berdasarkan hitungan-hitungan suara yang
dalam pileg ini.
Mereka
tidak bisa hanya menentukan berdasarkan pertimbangan dan analisisnya sendiri.
PDIP mungkin bisa menggandeng PKB dan PAN sebagai representasi partai Islam
moderat ditambah Partai NasDem. Dengan posisi seperti ini, bisa jadi PDIP
juga akan mendapatkan dukungan plus dari NU dan Muhammadiyah yang punya
kedekatan kultural dengan PKB dan PAN. Untuk Gerindra, kenaikan suara partai
Islam ini mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan, tapi justru akan memberi
berkah secara tidak langsung (blessing
in disguise).
Dalam
konstelasi politik pilpres nanti, kemungkinan Gerindra akan melanjutkan
koalisinya dengan PPP. Apalagi, beberapa waktu lalu Suryadharma Ali sudah
datang ke kampanye Partai Gerindra dan Prabowo pun menghadiri beberapa acara
besar yang digelar PPP dan pendukungnya. PKS bisa juga akan bergabung dengan
koalisi ini karena mereka ada keengganan tertentu untuk ikut PDIP dan Jokowi.
Jika yang pertama adalah koalisi PDIP plus partai Islam moderat, yang kedua
adalah koalisi Gerindra plus partai Islam konservatif. Selain kedua bentuk
koalisi di atas, konstelasi politik pada pilpres pada Juli nanti kemungkinan
besar juga akan diramaikan oleh koalisi ketiga.
Koalisi
ketiga mungkin bisa terbentuk dengan fakta kenaikan suara partai politik
Islam. Mereka mungkin akan mengusung pasangan capres-cawapres sendiri di luar
dua mainstream koalisi di atas. Apalagi, jika perolehan patai-partai Islam
itu bergabung, akan memperoleh suara lebih dari 30%. Tentu saja, untuk
mengusung capres-cawapres dari partai-partai Islam yang bisa dinamakan dengan
nama Poros Strategis ini, partai Islam sangat penting juga untuk menggalang
dukungan dari kekuatan ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis,
Al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, Nahdlatul Wathan, dan sebagainya.
Jika
mereka mengusung nama Poros Tengah
Jilid II, mungkin kurang tepat karena akan mengembalikan trauma politik
masa lalu. Poros Strategis ini akan berjalan efektif
jika kekuatannya tidak hanya didukung oleh partai-partai Islam, namun juga
melibatkan organisasi-organisasi Islam di atas. Kelemahan selama ini adalah
antara partai-partai Islam dan ormas Islam sering berjalan sendiri-sendiri.
Poros Strategis ini mungkin akan menjadi kekuatan baru dalam peta
perpolitikan Indonesia.
Dengan
hasil Pilpres 2014 ini, partai Islam dan ormas Islam bisa menjadikannya
sebagai momentum untuk memunculkan capres-cawapresnya sendiri. Jika Poros
Strategis ini nanti bisa memenangkan pilpres, mungkin format koalisinya bisa
meniru UMNO di Malaysia atau meniru model pemerintahan Partai AKP di Turki
dan Partai Ennahdah di Tunisia. Kasus Mesir di bawah Mursi bukanlah contoh
yang bagus untuk ditiru.
Diatas itu
semua, tentu saja ini bergantung pada keinginan politik (political interest) dan political
will dari kalangan partai Islam sendiri karena bola sekarang ada di
mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar