Sabtu, 12 April 2014

Capres, Rupiah, dan Sepatu Dahlan

Capres, Rupiah, dan Sepatu Dahlan

Charmelya Maretha  ;   Mahasiswi Pascasarjana Universitas Negeri Malang
JAWA POS, 12 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
HARI-hari ini media pasti masih menjual isu koalisi sebagai sajian utama. Isu koalisi memang tampak sangat seksi pascapemilu legislatif (pileg) 9 April lalu. Hal itu wajar, mengingat tahap selanjutnya yang ditunggu-tunggu adalah pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli mendatang.

Tentu saja peta koalisi menarik dicermati. Maklum, dapat dipastikan, tidak ada partai politik (parpol) yang melebihi ambang batas syarat pengajuan capres (presidential threshold), minimal 20 persen suara hasil pileg. PDIP sebagai pemenang pileg, mau tidak mau, suka tidak suka, harus tetap berkoalisi dengan parpol lain.

PDIP tentu tidak mau mengulangi kesalahan Pemilu 1999, yakni gagal menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden meski memenangi pemilu. Partai moncong putih itu harus berkoalisi dengan parpol lain. Jika mengikuti ''skenario'' yang ditampilkan Jawa Pos edisi kemarin (11/4), PDIP sedikitnya harus berkoalisi dengan PKB, PAN, dan Nasdem.

Begitu juga, Partai Golkar harus menggalang koalisi dengan parpol lain. Untuk bisa mengusung Aburizal Bakrie (ARB) ke medan pilpres, minimal mereka harus berkoalisi dengan PKS dan Partai Hanura. Hal yang sama harus dilakukan Partai Gerindra. Hasil pileg yang hanya menempatkan mereka sebagai pemenang ketiga mengharuskan berkoalisi dengan parpol lain seperti Partai Demokrat dan PPP.

Terlepas dari isu koalisi pencapresan, sangat menarik sajian lain koran ini di halaman cover kemarin. Selain isu pencapresan, koran ini menyajikan berita yang tidak kalah penting: Rupiah Anjlok, Indeks Jeblok. Hal itu sangat penting karena menjadi indikator positioning perekonomian bangsa kita, setidaknya dalam skala harian.

Adakah titik temu isu pencapresan dengan rupiah? Secara teori, perubahan perilaku kurs rupiah memang dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya faktor agregat makroekonomi. Namun, yang paling menjadi sentimen pasar tentu faktor kondisi stabilitas politik mutakhir.

Boleh saja manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) menganggap merosotnya nilai tukar rupiah dan indeks saham fluktuatif sebagai sesuatu yang normal. Namun, ekspektasi pasar atas gagalnya PDIP yang diproyeksi dominan sekitar 27 persen sebelumnya juga merupakan sesuatu yang alamiah. Hal itu menjadi koreksi pasar atas kondisi stabilitas politik.

Namun, tidak berarti situasi tersebut berlanjut pada kondisi yang memanas. Terbukti, saat ini kita semua secara perlahan mulai menganggap biasa hal apa pun yang terjadi di pentas politik. Karena itu, ini sesungguhnya akan menjadi modal untuk mengamankan situasi politik ke depan. Inilah kedewasaan politik yang sudah kita rasakan itu. Jika situasi politik terus berlangsung kondusif dengan riuh-riuh yang wajar, perekonomian akan tetap terkendali.

Pada gilirannya, pasar merespons gejolak politik yang terjadi secara positif. Karena itu, menjaga agar semua proses politik berlangsung wajar menjadi keharusan semua pihak. Lebih-lebih mereka yang dalam waktu dekat bertarung dalam pilpres mendatang.

Kewajiban mereka tidak hanya memenangkan pilpres berdasar target kuasa. Tetapi, harus bisa menjaga situasi politik tanah air tetap aman dan damai. Tentu saja dengan keinginan dan komitmen bersama demi Indonesia lebih baik pada masa mendatang.

Sepatu Dahlan

Di luar riuh perpolitikan tanah air, sesungguhnya calon pemimpin bangsa dan kita semua perlu belajar pada semangat Dahlan kecil dalam film Sepatu Dahlan. Semangat pantang menyerah dan apa adanya harus menjadi spirit baru pemimpin masa depan Indonesia seperti yang dimiliki Dahlan kecil.

Karena itu, tidak ada salahnya calon pemimpin yang akan berlaga pada 9 Juli mendatang itu mengambil salah satu pesan penting dalam film Sepatu Dahlan. Yakni, hidup bermartabat dengan tetap berupaya memberikan manfaat bagi keluarga dan orang lain.

Membebaskan diri dari kemiskinan kultural sebagaimana yang dialami Dahlan juga harus menjadi spirit bagi pemimpin masa depan. Rasanya, tidak cukup pemimpin itu menjalankan roda pemerintahan hanya pada tataran simbol. Melainkan, harus bisa menjadi pionir dalam mengatasi persoalan bangsa, sama halnya dengan yang dialami Dahlan kecil yang berusaha mengatasi sendiri persoalan keluarganya.

Calon pemimpin bangsa (capres) juga harus memiliki cita-cita tinggi untuk Indonesia seperti cita-cita Dahlan kecil yang bermimpi membebaskan keluarganya dari keterpurukan. Figur pemimpin ideal ke depan juga harus mampu mengatasi dan mengurai semua benang kusut yang dihadapi bangsa ini, lebih-lebih persoalan korupsi yang menggejala di berbagai lapisan masyarakat.

Cita-cita tinggi membebaskan bangsa Indonesia dari keterpurukan merupakan keniscayaan bagi siapa pun capres yang ditakdirkan menang. Semua itu tidak akan tercapai hanya dengan membuat rencana aksi (action plan) yang bagus secara konseptual. Tapi, harus dengan kerja, kerja, dan kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar