Capres,
Rupiah, dan Sepatu Dahlan
Charmelya Maretha ; Mahasiswi
Pascasarjana Universitas Negeri Malang
|
JAWA
POS, 12 April 2014
HARI-hari
ini media pasti masih menjual isu koalisi sebagai sajian utama. Isu koalisi
memang tampak sangat seksi pascapemilu legislatif (pileg) 9 April lalu. Hal
itu wajar, mengingat tahap selanjutnya yang ditunggu-tunggu adalah pemilihan
presiden (pilpres) 9 Juli mendatang.
Tentu
saja peta koalisi menarik dicermati. Maklum, dapat dipastikan, tidak ada
partai politik (parpol) yang melebihi ambang batas syarat pengajuan capres (presidential threshold), minimal 20
persen suara hasil pileg. PDIP sebagai pemenang pileg, mau tidak mau, suka
tidak suka, harus tetap berkoalisi dengan parpol lain.
PDIP
tentu tidak mau mengulangi kesalahan Pemilu 1999, yakni gagal menjadikan
Megawati Soekarnoputri sebagai presiden meski memenangi pemilu. Partai
moncong putih itu harus berkoalisi dengan parpol lain. Jika mengikuti
''skenario'' yang ditampilkan Jawa Pos edisi kemarin (11/4), PDIP sedikitnya
harus berkoalisi dengan PKB, PAN, dan Nasdem.
Begitu
juga, Partai Golkar harus menggalang koalisi dengan parpol lain. Untuk bisa
mengusung Aburizal Bakrie (ARB) ke medan pilpres, minimal mereka harus
berkoalisi dengan PKS dan Partai Hanura. Hal yang sama harus dilakukan Partai
Gerindra. Hasil pileg yang hanya menempatkan mereka sebagai pemenang ketiga
mengharuskan berkoalisi dengan parpol lain seperti Partai Demokrat dan PPP.
Terlepas
dari isu koalisi pencapresan, sangat menarik sajian lain koran ini di halaman
cover kemarin. Selain isu
pencapresan, koran ini menyajikan berita yang tidak kalah penting: Rupiah
Anjlok, Indeks Jeblok. Hal itu sangat penting karena menjadi indikator positioning perekonomian bangsa kita,
setidaknya dalam skala harian.
Adakah
titik temu isu pencapresan dengan rupiah? Secara teori, perubahan perilaku
kurs rupiah memang dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya faktor agregat
makroekonomi. Namun, yang paling menjadi sentimen pasar tentu faktor kondisi
stabilitas politik mutakhir.
Boleh
saja manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) menganggap merosotnya nilai tukar
rupiah dan indeks saham fluktuatif sebagai sesuatu yang normal. Namun,
ekspektasi pasar atas gagalnya PDIP yang diproyeksi dominan sekitar 27 persen
sebelumnya juga merupakan sesuatu yang alamiah. Hal itu menjadi koreksi pasar
atas kondisi stabilitas politik.
Namun,
tidak berarti situasi tersebut berlanjut pada kondisi yang memanas. Terbukti,
saat ini kita semua secara perlahan mulai menganggap biasa hal apa pun yang
terjadi di pentas politik. Karena itu, ini sesungguhnya akan menjadi modal
untuk mengamankan situasi politik ke depan. Inilah kedewasaan politik yang
sudah kita rasakan itu. Jika situasi politik terus berlangsung kondusif
dengan riuh-riuh yang wajar, perekonomian akan tetap terkendali.
Pada
gilirannya, pasar merespons gejolak politik yang terjadi secara positif.
Karena itu, menjaga agar semua proses politik berlangsung wajar menjadi
keharusan semua pihak. Lebih-lebih mereka yang dalam waktu dekat bertarung
dalam pilpres mendatang.
Kewajiban
mereka tidak hanya memenangkan pilpres berdasar target kuasa. Tetapi, harus
bisa menjaga situasi politik tanah air tetap aman dan damai. Tentu saja
dengan keinginan dan komitmen bersama demi Indonesia lebih baik pada masa
mendatang.
Sepatu Dahlan
Di luar
riuh perpolitikan tanah air, sesungguhnya calon pemimpin bangsa dan kita
semua perlu belajar pada semangat Dahlan kecil dalam film Sepatu Dahlan. Semangat pantang
menyerah dan apa adanya harus menjadi spirit baru pemimpin masa depan
Indonesia seperti yang dimiliki Dahlan kecil.
Karena
itu, tidak ada salahnya calon pemimpin yang akan berlaga pada 9 Juli
mendatang itu mengambil salah satu pesan penting dalam film Sepatu Dahlan. Yakni, hidup
bermartabat dengan tetap berupaya memberikan manfaat bagi keluarga dan orang
lain.
Membebaskan
diri dari kemiskinan kultural sebagaimana yang dialami Dahlan juga harus
menjadi spirit bagi pemimpin masa depan. Rasanya, tidak cukup pemimpin itu
menjalankan roda pemerintahan hanya pada tataran simbol. Melainkan, harus
bisa menjadi pionir dalam mengatasi persoalan bangsa, sama halnya dengan yang
dialami Dahlan kecil yang berusaha mengatasi sendiri persoalan keluarganya.
Calon
pemimpin bangsa (capres) juga harus memiliki cita-cita tinggi untuk Indonesia
seperti cita-cita Dahlan kecil yang bermimpi membebaskan keluarganya dari
keterpurukan. Figur pemimpin ideal ke depan juga harus mampu mengatasi dan
mengurai semua benang kusut yang dihadapi bangsa ini, lebih-lebih persoalan
korupsi yang menggejala di berbagai lapisan masyarakat.
Cita-cita tinggi membebaskan bangsa Indonesia dari keterpurukan
merupakan keniscayaan bagi siapa pun capres yang ditakdirkan menang. Semua
itu tidak akan tercapai hanya dengan membuat rencana aksi (action plan) yang bagus secara
konseptual. Tapi, harus dengan kerja,
kerja, dan kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar