Nyepi
dan Penyambutan Pemilu
I Nengah Segara Seni ; Wartawan Suara
Merdeka
|
SUARA
MERDEKA, 01 April 2014
OMSwastiastu. Selasa (1/4) ini, umat Hindu
merayakan Ngembak Nyepi Tahun Baru Saka 1936, setelah sehari sebelumnya
melaksanakan Catur Brata Penyepian selama 24 jam, dari pukul 24.00 hingga
esoknya.
Ngembak
adalah kegiatan sima krama atau dharma shanti, yaitu saling memaafkan dan
mengunjungi sanak keluarga, handai taulan, teman sekerja, tetangga dan
sebagainya.
Seperti
halnya umat Islam merayakan Idul Fitri maka umat Hindu, setelah menjalani
rangkaian Hari Raya Nyepi, ingin kembali suci, bersih, dengan pendalaman
spiritual yang mantap. Perayaan Tahun Baru Saka merupakan rangkaian upacara
yang dijalani secara khidmat oleh umat Hindu melalui catur brata (empat
pantangan), yang terdiri atas melasti atau mekiyis, tawur, sipeng (nyepi),
dan ngembak nyepi (geni).
Melasti
adalah melaksanakan upacara untuk angamet sarining bhuana, angelebur malaning
bhumi atau mengambil sari-sari bumi dan membersihkan kotoran dunia. Adapun
tawur adalah upacara di perempatan jalan, pada pusat pemerintahan (provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, desa) untuk menetralisasi keadaan bhuana agung
(jagat raya) dan bhuana alit (tubuh manusia).
Sehari
setelah upacara tawur, barulah dilaksanakan puncak acara, yakni sipeng
(nyepi), yakni inti dari peringatan pergantian tahun. Ada empat hal yang
selalu menjadi titik perhatian dari catur brata (empat pantangan), seperti
amati geni (tak menyalakan api), amati karya(tak bekerja), amati lelungan(tak
bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Inti
dari semua pantangan itu, manusia sebagai makhluk ciptaan Sang Hyang Widhi
Wasa, harus menjalani puasa secara utuh, baik secara aktivitas duniawi maupun
rohani.
Hari
Raya Nyepi, salah satu hari raya umat Hindu juga menganut nilai-nilai budaya
yang di dalamnya ada yadnya, kekuatan spiritual untuk dapat membentuk jati
diri manusia. Selain itu, sebagai wahana pengendalian diri dan dapat sebagai
penguat integrasi dalam arti yang sangat universal.
Dalam
hal ini dikenal istilah Tri Hita Karana,
atau tiga penyebab tercapainya kebahagiaan. dan dalam kandungan universal
tersebut, menyangkut hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan
alam semesta, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Semua itu saling terkait,
dan hubungan itu berpedoman saling menghargai aspek sekelilingnya.
Karena
itu, hubungan selalu didasari atas keseimbangan dan keselarasan, sehingga
tercapai hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Perayaan Nyepi kali ini terasa
berbeda dari tiga tahun terakhir. Pasalnya, kali ini Hari Raya itu terjadi
bersamaan dengan ingar-bingar kampanye Pileg 2014. Karena itu, atas kebijakan
pemerintah setempat/Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), ada penyesuaian
kegiatan.
Di Bali,
khususnya di Badung, tahun ini tidak ada kegiatan pawai ogoh-ogoh karena tidak mau dikotori oleh kegiatan politik. Misal
ada titipan ëísponsoríí terselubung dari parpol atau caleg yang menumpang
dalam pawai tersebut.
Harmoni Nusantara
Ogoh-ogoh sebenarnya perwujudan dari butha kala (sifat kekerasan,
keangkaramurkaan atau keburukan lain), yang kemudian ditampilkan dalam
dimensi lain oleh peserta pawai. Misal ada penggambaran Inul Daratista goyang
ngebor, atau Anas Urbaningrum menuju ke Monas membawa tali gantungan.
Model
lain, ada tokoh ber-udeng (ikat kepala khas Bali) yang digambarkan sebagai
koruptor. Berkaitan dengan berbarengannya masa kampanye pileg, panitia
pelaksana peringatan Tahun Baru Saka 1936 membatasi diri. Sebaliknya mereka
justru memberi tema-tema khusus. Untuk Jateng, sebagaimana dikatakan Ketua
PHDI Jateng, I Nyoman Surahata, fokus pada ”Melaksanakan Dharma Negara - Mewujudkan Harmoni Nusantara”.
Pemilihan
tema itu tidak lepas dari situasi dan kondisi negeri yang tengah menyambut
pesta demokrasi. Dalam kaitan dengan Tri
Hita Karana maka manusia wajib memberi sumbangsih kepada negara yang saat
ini sedang membangun (memilih) wadah/pemimpin bangsa untuk lembaga
legislatif.
Ia hanya
mengingatkan jangan sampai ada umat Hindu yang golput. Memilih pemimpin juga
melaksanakan tugas negara, dan secara tidak langsung berarti melaksanakan
perintah agama dalam mencari pimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri,
golongan ataupun partai semata.
Kala
keprihatinan yang sangat mendalam menerpa negeri ini, rasanya tepat jika kita
mengutip ''suara sati'' Ida
Pendanda Gede Made Gunung: Dalam
kesetiaan matahari menyinari bumi yang tak pernah surut, mudah-mudahan mampu
memberi penerangan kepada manusia yang penuh kegelapan agar mampu membedakan
mana yang benar dan mana yang salah.
Kala
Pertiwi sudah sangat sabar menopang makhluk yang bertubuh manusia dan
berperilaku binatang/manusia cemer (kotor) -- maka jangan salahkan ada
kegemparan gempa, banjir bandang, tsunami, longsor dan bencana lain-- kita
berharap masih ada pengampunan dari-Nya.
Ketika
umat Hindu telah selesai melaksanakan Catur
Brata Penyepian, hendaknya bisa menjalani ruang dan waktu kehidupan
sesuai tuntutan etika dan tuntunan agama. Mudah-mudahan
ada secercah sinar yang memberi harapan untuk menjadi lebih baik pada masa
mendatang. Om Shanti, Shanti, Shanti... Om! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar