Rabu, 02 April 2014

Nyepi dan Penyambutan Pemilu

Nyepi dan Penyambutan Pemilu

I Nengah Segara Seni  ;   Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
OMSwastiastu. Selasa (1/4) ini, umat Hindu merayakan Ngembak Nyepi Tahun Baru Saka 1936, setelah sehari sebelumnya melaksanakan Catur Brata Penyepian selama 24 jam, dari pukul 24.00 hingga esoknya.

Ngembak adalah kegiatan sima krama atau dharma shanti, yaitu saling memaafkan dan mengunjungi sanak keluarga, handai taulan, teman sekerja, tetangga dan sebagainya.

Seperti halnya umat Islam merayakan Idul Fitri maka umat Hindu, setelah menjalani rangkaian Hari Raya Nyepi, ingin kembali suci, bersih, dengan pendalaman spiritual yang mantap. Perayaan Tahun Baru Saka merupakan rangkaian upacara yang dijalani secara khidmat oleh umat Hindu melalui catur brata (empat pantangan), yang terdiri atas melasti atau mekiyis, tawur, sipeng (nyepi), dan ngembak nyepi (geni).

Melasti adalah melaksanakan upacara untuk angamet sarining bhuana, angelebur malaning bhumi atau mengambil sari-sari bumi dan membersihkan kotoran dunia. Adapun tawur adalah upacara di perempatan jalan, pada pusat pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa) untuk menetralisasi keadaan bhuana agung (jagat raya) dan bhuana alit (tubuh manusia).

Sehari setelah upacara tawur, barulah dilaksanakan puncak acara, yakni sipeng (nyepi), yakni inti dari peringatan pergantian tahun. Ada empat hal yang selalu menjadi titik perhatian dari catur brata (empat pantangan), seperti amati geni (tak menyalakan api), amati karya(tak bekerja), amati lelungan(tak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

Inti dari semua pantangan itu, manusia sebagai makhluk ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa, harus menjalani puasa secara utuh, baik secara aktivitas duniawi maupun rohani.

Hari Raya Nyepi, salah satu hari raya umat Hindu juga menganut nilai-nilai budaya yang di dalamnya ada yadnya, kekuatan spiritual untuk dapat membentuk jati diri manusia. Selain itu, sebagai wahana pengendalian diri dan dapat sebagai penguat integrasi dalam arti yang sangat universal.

Dalam hal ini dikenal istilah Tri Hita Karana, atau tiga penyebab tercapainya kebahagiaan. dan dalam kandungan universal tersebut, menyangkut hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Semua itu saling terkait, dan hubungan itu berpedoman saling menghargai aspek sekelilingnya.

Karena itu, hubungan selalu didasari atas keseimbangan dan keselarasan, sehingga tercapai hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Perayaan Nyepi kali ini terasa berbeda dari tiga tahun terakhir. Pasalnya, kali ini Hari Raya itu terjadi bersamaan dengan ingar-bingar kampanye Pileg 2014. Karena itu, atas kebijakan pemerintah setempat/Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), ada penyesuaian kegiatan.

Di Bali, khususnya di Badung, tahun ini tidak ada kegiatan pawai ogoh-ogoh karena tidak mau dikotori oleh kegiatan politik. Misal ada titipan ëísponsoríí terselubung dari parpol atau caleg yang menumpang dalam pawai tersebut.

Harmoni Nusantara

Ogoh-ogoh sebenarnya perwujudan dari butha kala (sifat kekerasan, keangkaramurkaan atau keburukan lain), yang kemudian ditampilkan dalam dimensi lain oleh peserta pawai. Misal ada penggambaran Inul Daratista goyang ngebor, atau Anas Urbaningrum menuju ke Monas membawa tali gantungan.

Model lain, ada tokoh ber-udeng (ikat kepala khas Bali) yang digambarkan sebagai koruptor. Berkaitan dengan berbarengannya masa kampanye pileg, panitia pelaksana peringatan Tahun Baru Saka 1936 membatasi diri. Sebaliknya mereka justru memberi tema-tema khusus. Untuk Jateng, sebagaimana dikatakan Ketua PHDI Jateng, I Nyoman Surahata, fokus pada ”Melaksanakan Dharma Negara - Mewujudkan Harmoni Nusantara”.

Pemilihan tema itu tidak lepas dari situasi dan kondisi negeri yang tengah menyambut pesta demokrasi. Dalam kaitan dengan Tri Hita Karana maka manusia wajib memberi sumbangsih kepada negara yang saat ini sedang membangun (memilih) wadah/pemimpin bangsa untuk lembaga legislatif.

Ia hanya mengingatkan jangan sampai ada umat Hindu yang golput. Memilih pemimpin juga melaksanakan tugas negara, dan secara tidak langsung berarti melaksanakan perintah agama dalam mencari pimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri, golongan ataupun partai semata.

Kala keprihatinan yang sangat mendalam menerpa negeri ini, rasanya tepat jika kita mengutip ''suara sati'' Ida Pendanda Gede Made Gunung: Dalam kesetiaan matahari menyinari bumi yang tak pernah surut, mudah-mudahan mampu memberi penerangan kepada manusia yang penuh kegelapan agar mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Kala Pertiwi sudah sangat sabar menopang makhluk yang bertubuh manusia dan berperilaku binatang/manusia cemer (kotor) -- maka jangan salahkan ada kegemparan gempa, banjir bandang, tsunami, longsor dan bencana lain-- kita berharap masih ada pengampunan dari-Nya.

Ketika umat Hindu telah selesai melaksanakan Catur Brata Penyepian, hendaknya bisa menjalani ruang dan waktu kehidupan sesuai tuntutan etika dan tuntunan agama. Mudah-mudahan ada secercah sinar yang memberi harapan untuk menjadi lebih baik pada masa mendatang. Om Shanti, Shanti, Shanti... Om!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar