Menyejahterakan
Nelayan
Danang Probotanoyo ;
Peneliti Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM
|
REPUBLIKA,
10 April 2014
Penyakit jantung hingga
kini masih menduduki tangga teratas penyebab kematian di Indonesia. Kalau
dulu penyakit jantung identik sebagai penyakit orang tua, kini orang-orang
muda dan produktif pun bisa terkena penyakit jantung. Data dari Kementerian
Kesehatan saja sudah menunjukkan bahwa 7,2 persen atau sekitar 14 juta orang
Indonesia terkena penyakit jantung. Penyebabnya sangat banyak, namun
hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi) merupakan penyebab utama (40 persen).
Dimungkinkan 80 persen
penderita kolesterol tinggi bisa meninggal mendadak akibat serangan jantung.
Sekitar 50 persen di antaranya tanpa menampakkan gejala terlebih dahulu. Hulu
dari semua itu adalah pola hidup, utamanya pola makan yang kurang
diperhatikan.
Orang cenderung suka
mengonsumsi daging yang berkolesterol tinggi karena nikmat. Padahal, sekarang
ini harga daging sangatlah mahal, sebab 20 persen kebutuhan daging dalam
negeri masih impor.
Sejatinya ada satu jenis
pangan yang memiliki cita rasa tak kalah nikmat dibanding daging, namun
relatif lebih murah dan manfaat klinisnya justru mencegah penyakit jantung.
Salah satunya adalah ikan laut. Mengonsumsi ikan laut justru dapat mencegah
gangguan jantung. Dengan kata lain, ikan laut aman buat jantung kita.
Ada ribuan hasil
penelitian di dunia ini yang menunjukkan hal tersebut. Salah satu hasil studi
fenomenal mengenai hal itu adalah yang dilakukan dua peneliti Denmark pada
1970. Mereka menemukan fakta rendahnya kasus kematian orang Eskimo akibat
penyakit jantung koroner (PJK). Padahal, orang Eskimo nyaris setiap hari
mengonsumsi makanan berlemak tinggi. Rahasianya ternyata terletak pada
kebiasaan orang Eskimo untuk menyantap daging ikan.
Kandungan lemak omega-3
ikan mampu melindungi jantung. Daging ikan juga mampu menurunkan kolesterol
dalam darah, memperbaiki fungsi dinding pembuluh darah, menurunkan tekanan darah,
serta mencegah terjadinya penggumpalan darah. Manfaat lain dari ikan terutama
ikan laut adalah yodiumnya mampu mencegah penyakit gondok dan dapat
mengurangi produksi hormon thyroid
yang bisa melemahkan daya kerja otak.
Ternyata, manfaat ikan
yang sangat luar biasa bagi kesehatan, khususnya ikan laut, tak serta merta
paralel dengan nasib manusia yang menghasilkannya, yakni nelayan. Data dari
Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)
menyebutkan, jumlah nelayan miskin saat ini 7,87 juta orang.
Jumlah tersebut
mendudukkan kaum nelayan sebagai penyumbang sekitar 25,14 persen dari
penduduk miskin nasional.
Ini ironis, Indonesia
sebagai negara maritim yang memiliki laut seluas 5,8 juta km2 tapi nelayannya
tidak sejahtera. Indonesia pun memiliki garis pantai terpanjang kedua di
dunia, yakni 81 ribu km dan gugusan pulau sebanyak 17.845 pulau. Potensi ikan
laut yang mampu dihasilkan tak kurang dari 6,26 juta ton per tahun. Namun,
potensi sebesar itu belum mampu dipenuhi oleh para nelayan kita, akibatnya
mereka belum sejahtera hidupnya.
Kendala nelayan
bermacam-macam, namun secara garis besar: tiadanya peralatan, teknologi, dan
sarana prasarana pendukung yang memadai yang dimiliki nelayan kita. Mayoritas
nelayan Indonesia masih nelayan tradisional. Nelayan nasional hanya
bermodalkan perahu-perahu kecil dengan alat tangkap sederhana dan tanpa
dukungan teknologi. Akibatnya, mereka hanya mampu mencari ikan di zona yang tidak
jauh dari garis pantai.
Nasib yang tak
menguntungkan itu masih ditambah kurang dukungan dari berbagai pihak. Para
nelayan kerap kesulitan mendapatkan solar bersubsidi serta dirugikan para
tengkulak yang membanjiri pasar ikan dan tempat pelelangan ikan. Nasibnya
lebih parah lagi bila cuaca sedang ekstrem sehingga mereka tak bisa melaut.
Kalau sudah begitu, untuk hidup sehari-hari mereka terpaksa berutang.
Perbaikan nasib nelayan
harus menjadi perhatian pemerintah! Berikan nelayan kapal dan peralatan yang
memadai dengan berbagai skema kepemilikan yang meringankan, jika perlu beri
hibah.
Dirikan pula stasiun
pengisian bahan bakar di setiap dermaga atau kantong- kantong nelayan serta
jamin pasokannya.
Yang tak kalah penting,
adanya jaminan sosial dari pemerintah kepada nelayan dan keluarganya,
terutama saat mereka tak bisa melaut karena kendala alam. Jangan hanya
sewaktu kampanye pemilu lantas pada tergopoh-gopoh menyambangi nelayan dengan
mengobral janji semata. Nelayan tak butuh janji, tapi aksi konkret untuk
mengentaskan mereka dari perangkap kemiskinan.
Dengan ngopeninelayan,
selain mendukung terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan, rakyatnya pun
bisa hidup sehat karena makan ikan. Kita sudah terlalu lama berorientasi ke
darat, sehingga "melupakan" nelayan.
Kini saatnya kita menoleh kembali ke kodrat kita sebagai negara kepulauan,
negara yang hampir 70 persen wilayahnya terdiri atas laut. Bukankah "nenek moyangku seorang pelaut?" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar