Menimbang Faktor Megawati Setelah Pemilu
Palar Batubara ; Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Alumni (PA)
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
|
SINAR HARAPAN, 02 April 2014
Menjelang kampanye Pemilu 2014, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengeluarkan mandat yang merestui Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), sebagai calon presiden (capres) dari PDIP.
Sikap Megawati itu disambut positif berbagai kalangan, termasuk pemilih potensial pada pemilu 2014. Itu karena berbagai survei menjagokan Jokowi sebagai calon potensial dengan elektabilitas tertinggi di antara semua tokoh politik.
Keputusan Megawati itu menepis semua dugaan kalau Megawati masih ingin maju sebagai calon dan menepis isu dinasti politik yang terlontar selama ini.
Keputusan itu mengonfirmasi kalau PDIP mendengarkan aspirasi dan harapan publik terhadap figur seperti Jokowi. Jadi, tidak heran kalau keputusan itu mendongkrak elektabilitas PDIP pada Pemilu 2014 ini.
Jika bertolak dari berbagai survei yang ada belakangan ini dan kalau kecenderungan terus bertahan, PDIP akan memenangi Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014.
Namun, dalam sistem multipartai seperti sekarang ini, mengharuskan siapa pun pemenang pemilu untuk berkoalisi dengan partai politik lain. Hal ini disebabkan dari berbagai survei yang ada, praktis tidak ada partai yang menang di atas 50 persen.
Sementara itu, pemerintahan yang kuat membutuhkan dukungan parlemen yang kuat. Untuk itu, dengan sistem yang berlaku saat ini, hampir mustahil partai pemenang tidak menggalang koalisi.
Dengan asumsi PDIP memenangi pileg sekaligus pemilihan presiden, PDIP sangat potensial untuk membangun koalisi dengan sejumlah partai nasionalis, seperti Golkar, Nasdem, Hanura serta didukung partai Islam yang nasionalis, seperti PKB.
Sementara itu, PPP merupakan partai yang selama ini dekat dengan PDIP, yakni ketika Megawati dan Hamzah Haz menunjukkan kebersamaan sebagai presiden dan wakil presiden.
Namun kalau belajar dari koalisi dalam 10 tahun belakangan ini, tampak sangat cair dan hampir tanpa komitmen politik. Untuk itu, tidak heran kalau kader partai ada di pemerintahan, tetapi fraksi di DPR justru menentang kebijakan pemerintah.
Semestinya pola koalisi yang terjadi selama ini tidak boleh terulang. Jadi, siapa pun pemenang pemilu harus menggalang koalisi permanen. Bahkan meski tergabung dalam koalisi, sebaiknya kabinet diisi orang yang ahli (zaken kabinet).
Komposisi kabinet seperti itu akan menjamin anggota kabinet fokus dalam mengeksekusi kebijakan pemerintah. Pengalaman dua periode ini sebenarnya memberikan pelajaran berharga sehingga pemerintahan ke depan lebih efektif dan berkinerja lebih baik.
Calon Wakil Presiden
Figur Jokowi mungkin tidak perlu lagi dibahas karena hampir pasti menjadi capres dari PDIP. Namun, PDIP belum mengungkapkan calon pendamping Jokowi sebagai calon wakil presiden. Menurut penulis, siapa pun pendamping Jokowi sebaiknya memperhatikan aspek pengalaman dan kemampuan dalam mengelola pemerintahan. Pasangan Jokowi harus mampu mengisi kelemahan Jokowi sehingga pemerintahan berjalan efektif.
Selain itu, gaya kepemimpinan Jokowi yang lembut dan sederhana perlu diimbangi dengan figur yang cekatan, berpengalaman, berani, tegas, dan lugas.
Bukan cuma itu, partai pengusung juga harus memperhatikan keseimbangan wilayah. Jika Jokowi dianggap mewakili wilayah bagian barat, tidak ada salahnya untuk memikirkan pendamping Jokowi dari wilayah timur. Keseimbangan ini bukan hanya strategis dalam pelaksanaan pembangunan, melainkan juga sangat strategis dari sisi popularitas dan elektabilitas.
Kalau Jokowi mewakili kalangan nasionalis, pengusung perlu mempertimbangkan figur yang mewakili kelompok nasionalis, tetapi juga memiliki basis atau lebih sederhannya bisa diterima kelompok agama.
Komposisi seperti ini akan memberikan kekuatan kepada pemerintahan mendatang untuk menghadapi berbagai persoalan yang kompleks.
Penulis melihat tokoh seperti Jusuf Kalla patut dipertimbangkan serius karena mampu melengkapi kemampuan Jokowi. Faktor Megawati di pihak Jokowi juga akan sangat menentukan kestabilan pemerintahan karena memiliki pengalaman sebagai wakil presiden dan presiden.
Posisi Megawati
Tentu sangat menarik untuk melihat seperti apa posisi dan peran Megawati dalam pemerintahan mendatang jika Jokowi tampil sebagai presiden.
Kehadiran tokoh seperti Megawati sangat dibutuhkan dalam menakhodai negara yang besar ini. Ada dua pilihan untuk memosisikan Megawati. Apakah sebagai queen maker di luar pemerintahan atau perlu dipertimbangkan satu posisi yang tepat sehingga memiliki akses dalam pemerintahan.
Penulis memandang posisi kedua lebih tepat bagi Megawati. Hal itu karena karakter, pengalaman, visi, dan komitmen Megawati sangat dibutuhkan Jokowi untuk memimpin secara efektif. Megawati harus diposisikan sebagai tokoh untuk berkonsultasi terhadap berbagai persoalan strategis kebangsaan dan pembangunan.
Namun, soal seperti apa bentuk lembaga konsultasi itu tentu harus disesuaikan dengan kebutuhan pemerintahan. Ini disebabkan posisi Megawati yang tepat akan memberikan kekuatan dan energi tambahan bagi perjalanan roda pemerintahan ke depan.
Posisi ini bukan dalam kaitan dengan protokoler, sebab saat ini pun Megawati sudah memiliki semua itu. Namun, ini lebih kepada kebutuhan terhadap tokoh seperti Megawati. Tentu Megawati legowo untuk memberikan tongkat kepada Jokowi.
Namun, Jokowi membutuhkan pengalaman dan kemampuan Megawati dalam menyikapi persoalan krusial dan strategis, sebab sejak belia, Megawati sesungguhnya sudah akrab dengan persoalan kenegaraan. Semua ini ada baiknya kita kembalikan kepada partai pemenang dan pemerintahan pada lima tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar