Menghindari
Bom Waktu Krisis Air
Posman Sibuea ; Guru Besar di Jurusan
Ilmu dan Teknologi Pangan Unika Santo Thomas Sumatera Utara dan Ketua LPPM
Unika Santo Thomas
|
KORAN
SINDO, 31 Maret 2014
Tema
yang diangkat pada peringatan Hari Air Sedunia yang baru saja berlangsung, 22
Maret 2014, adalah Air dan Energi. Tema ini amat relevan dengan kondisi saat
ini. Sebagian besar masyarakat sudah lama mengalami krisis air dan krisis
energi yang memantik lahirnya krisis pangan.
Di
sejumlah daerah, kekeringan masih berlanjut yang memicu kebakaran hutan.
Meski hujan sudah mulai turun, bukan berarti musim kemarau berakhir di
kawasan Riau. Kekeringan telah bermuara pada gagal panen. Dampaknya tidak
hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga berpotensi menjadi sumber
konflik baru. Meski Indonesia sudah merdeka 69 tahun, krisis air yang sudah
lama menghantam ketahanan ekonomi, khususnya bagi warga miskin di desa, belum
teratasi dengan baik. Sebagian dari mereka harus berjalan berpuluh kilometer hanya
untuk memperoleh beberapa jeriken air bersih. Waktu yang dialokasikan setiap
hari lebih banyak mencari air daripada aktivitas lain yang bisa menghasilkan
sesuatu yang tidak kalah bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.
Diperebutkan
Air
dapat menjadi sumber konflik baru jika krisis air yang lebih buruk terjadi.
Setetes air bersih menjadi amat berharga sehingga pantas diperebutkan.
Manusia bisa hidup selama dua bulan tanpa makan, tetapi jika tidak minum
dalam beberapa hari akan mati. Permenungan ini mendorong kita untuk mulai
belajar menghargai air. Fakta menunjukkan sekitar 100 juta penduduk Indonesia
tidak akses terhadap air bersih dan sebagian di antaranya harus meregang
nyawa karena penyakit akibat buruknya kualitas air. Belajar menghargai air
kini menjadi tema sentral di tengah kian menipisnya cadangan air tawar di
perut Bumi.
Data
tahun 2009 menunjukkan, sekitar 1,6 miliar penduduk dunia atau satu dari
empat orang mengonsumsi air tidak bersih setiap hari. Sekitar 1,25 miliar
penduduk dunia atau satu dari lima orang belum memiliki fasilitas sanitasi.
Dampaknya, dari sekitar 50.000 orang yang meninggal setiap hari, 16.000 orang
di antaranya meninggal akibat mengonsumsi air yang kurang bersih. Ini artinya
setiap menit satu orang meninggal akibat kelangkaan air bersih.
Konon
WHO dalam estimasinya baru-baru ini menyebutkan jika tidak ada perbaikan
dalam pengelolaan air, maka menjelang tahun 2025 ada sekitar 2,7 miliar orang
atau sekitar 40% populasi dunia akan menghadapi krisis air pada tingkat yang
parah. Fenomena inilah yang mendorong PBB melakukan kampanye gerakan hemat
air. Krisis air akan bermetamorfosa menjadi ”bom waktu” yang menghancurkan
kehidupan jika kepedulian pada lingkungan kian menipis. Fungsinya sebagai
sumber kehidupan menempatkan air tidak sebagai ”komoditas” yang
diperdagangkan untuk mencari keuntungan apalagi memandangnya sebagai objek
yang harus dieksploitasi.
Fakta di
tengah masyarakat perkotaan, merekamenyedotair tanah secara berlebihan menyusul
pembangunan pemukiman dan industri baru yang bertumbuh secara signifikan.
Ditambah lagi kebiasaan buruk membuang segala macam sampah ke sungai sehingga
saat musim hujan kerap menimbulkan banjir dan jika musim kemarau menyebabkan
suasana kumuh, bau busuk, dan sumber penyakit. Penebangan hutan yang makin
masif dan tanpa aturan menjadi ancaman serius terhadap pembangunan ketahanan
pangan. Praktik pembangunan ekonomi yang tak berkelanjutan telah menguras
sumber daya hutan secara berlebihan, yang pada gilirannya mengganggu
ketersediaan air untuk sektor pertanian.
Menghargai Air
Keadaan
bumi yang menjadi rumah kita bersama mengalami pelapukan dan semakin tidak
nyaman lagi dihuni. Suhu bumi semakin panas—dalam dua minggu terakhir suhu di
Kota Medan sekitar 34 derajat Celsius— karena gaya hidup yang konsumtif
sebagian besar masyarakat. Pemerintah sudah gagal dan tak bisa diandalkan
sepenuhnya untuk mengatasi masalah lingkungan. Persoalan lingkungan yang
didera pemanasan global dan perubahan iklim di satu sisi hanya dijadikan
perdebatan tak berujung, sementara di pihak lain jadi sarana mencari
popularitas di dunia internasional, dan mengorbankan pembangunan
berkelanjutan di dalam negeri.
Pemanasan
global ekstrem dipicu oleh perusakan hutan melalui pembalakan liar untuk
kepentingan bisnis perkebunan dan pertambangan. Dalam ukuran luas, menurut
data FAO, Indonesia telah membabat 1,87 juta hektare hutan setiap tahun. Yang
identik dengan sekitar 51 kilometer persegi hutan setiap hari atau setara
luas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Prestasi yang memalukan ini layak
menempatkan Indonesia di dalam The
Guinness Book of World Record sebagai negara penghancur hutan tercepat di
dunia. Belajar menghargai air menjadi sulit dilakukan ketika ada sekelompok
orang yang berperilaku tidak jujur dalam menguras dan merampas sumber daya
alam demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Hutan
dibabat dan limbah beracun dibuang ke sungai secara diam-diam adalah serpihan
contoh bentuk perilaku buruk pemilik industri terhadap lingkungan hidup.
Sandiwara satu babak pun acap digelar untuk menutupi ketidakjujuran itu
dengan menggaji orang untuk memancing di sungai yang sudah tercemar
seolah-olah di sana masih ada ikan yang masih hidup. Lantas, apa langkah
antisipasi ke depan yang patut dilakukan untuk menghindari bom waktu krisis
air? Tiga langkah berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan. Pertama,
menghijaukan kembali hutan gundul dengan menyediakan anggaran yang cukup dan
”steril” dari para koruptor.
Sebagai
aktor penguasa air, pemerintah berkewajiban melakukan konservasi sumber daya
hutan secara terpadu untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat pengguna air,
sebab air adalah hak asasi manusia Kedua, pemerintah harus melakukan sejumlah
inisiatif untuk membantu mengatasi perubahan iklim. Salah satunya adalah
program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reduced Emisions from Deforestation and
Degradation/REDD). Deforestasi merupakan salah satu penyebab munculnya
pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Kekeringan
yang berulang setiap tahun adalah akibat perbuatan manusia yang merusak hutan
yang berhuludari kesalahankebijakan pembangunan Ketiga, memperkenalkan
pendidikan lingkungan hidup sejak di sekolah dasar. Mata pelajaran lingkungan
hidup harus dijadikan muatan lokal agar murid SD mulai memahami permasalahan
lingkungan hidup lewat sekolah dan keluarga. Jika mereka diperkenalkan pada
fungsi hutan sebagai reservoir air, kelak setelah besar mereka dapat
mengatakan tidak untuk penggundulan hutan.
Ketiga
hal di atas diharapkan dapat memacu produksi adrenalin kesadaran kita untuk
selalu memosisikan air pada tempat yang berharga, yakni sebagai sumber
kehidupan. Menjaga kelestarian sumber daya air menjadi kewajiban kita bersama
sebab air adalah anugerah alam yang diberikan Tuhan untuk dipakai bersama
membangun ketahanan pangan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar