Selasa, 01 April 2014

Menghindari Bom Waktu Krisis Air

Menghindari Bom Waktu Krisis Air

Posman Sibuea  ;   Guru Besar di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Unika Santo Thomas Sumatera Utara dan Ketua LPPM Unika Santo Thomas
KORAN SINDO, 31 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Tema yang diangkat pada peringatan Hari Air Sedunia yang baru saja berlangsung, 22 Maret 2014, adalah Air dan Energi. Tema ini amat relevan dengan kondisi saat ini. Sebagian besar masyarakat sudah lama mengalami krisis air dan krisis energi yang memantik lahirnya krisis pangan.

Di sejumlah daerah, kekeringan masih berlanjut yang memicu kebakaran hutan. Meski hujan sudah mulai turun, bukan berarti musim kemarau berakhir di kawasan Riau. Kekeringan telah bermuara pada gagal panen. Dampaknya tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga berpotensi menjadi sumber konflik baru. Meski Indonesia sudah merdeka 69 tahun, krisis air yang sudah lama menghantam ketahanan ekonomi, khususnya bagi warga miskin di desa, belum teratasi dengan baik. Sebagian dari mereka harus berjalan berpuluh kilometer hanya untuk memperoleh beberapa jeriken air bersih. Waktu yang dialokasikan setiap hari lebih banyak mencari air daripada aktivitas lain yang bisa menghasilkan sesuatu yang tidak kalah bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.

Diperebutkan

Air dapat menjadi sumber konflik baru jika krisis air yang lebih buruk terjadi. Setetes air bersih menjadi amat berharga sehingga pantas diperebutkan. Manusia bisa hidup selama dua bulan tanpa makan, tetapi jika tidak minum dalam beberapa hari akan mati. Permenungan ini mendorong kita untuk mulai belajar menghargai air. Fakta menunjukkan sekitar 100 juta penduduk Indonesia tidak akses terhadap air bersih dan sebagian di antaranya harus meregang nyawa karena penyakit akibat buruknya kualitas air. Belajar menghargai air kini menjadi tema sentral di tengah kian menipisnya cadangan air tawar di perut Bumi.

Data tahun 2009 menunjukkan, sekitar 1,6 miliar penduduk dunia atau satu dari empat orang mengonsumsi air tidak bersih setiap hari. Sekitar 1,25 miliar penduduk dunia atau satu dari lima orang belum memiliki fasilitas sanitasi. Dampaknya, dari sekitar 50.000 orang yang meninggal setiap hari, 16.000 orang di antaranya meninggal akibat mengonsumsi air yang kurang bersih. Ini artinya setiap menit satu orang meninggal akibat kelangkaan air bersih.

Konon WHO dalam estimasinya baru-baru ini menyebutkan jika tidak ada perbaikan dalam pengelolaan air, maka menjelang tahun 2025 ada sekitar 2,7 miliar orang atau sekitar 40% populasi dunia akan menghadapi krisis air pada tingkat yang parah. Fenomena inilah yang mendorong PBB melakukan kampanye gerakan hemat air. Krisis air akan bermetamorfosa menjadi ”bom waktu” yang menghancurkan kehidupan jika kepedulian pada lingkungan kian menipis. Fungsinya sebagai sumber kehidupan menempatkan air tidak sebagai ”komoditas” yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan apalagi memandangnya sebagai objek yang harus dieksploitasi.

Fakta di tengah masyarakat perkotaan, merekamenyedotair tanah secara berlebihan menyusul pembangunan pemukiman dan industri baru yang bertumbuh secara signifikan. Ditambah lagi kebiasaan buruk membuang segala macam sampah ke sungai sehingga saat musim hujan kerap menimbulkan banjir dan jika musim kemarau menyebabkan suasana kumuh, bau busuk, dan sumber penyakit. Penebangan hutan yang makin masif dan tanpa aturan menjadi ancaman serius terhadap pembangunan ketahanan pangan. Praktik pembangunan ekonomi yang tak berkelanjutan telah menguras sumber daya hutan secara berlebihan, yang pada gilirannya mengganggu ketersediaan air untuk sektor pertanian.

Menghargai Air

Keadaan bumi yang menjadi rumah kita bersama mengalami pelapukan dan semakin tidak nyaman lagi dihuni. Suhu bumi semakin panas—dalam dua minggu terakhir suhu di Kota Medan sekitar 34 derajat Celsius— karena gaya hidup yang konsumtif sebagian besar masyarakat. Pemerintah sudah gagal dan tak bisa diandalkan sepenuhnya untuk mengatasi masalah lingkungan. Persoalan lingkungan yang didera pemanasan global dan perubahan iklim di satu sisi hanya dijadikan perdebatan tak berujung, sementara di pihak lain jadi sarana mencari popularitas di dunia internasional, dan mengorbankan pembangunan berkelanjutan di dalam negeri.

Pemanasan global ekstrem dipicu oleh perusakan hutan melalui pembalakan liar untuk kepentingan bisnis perkebunan dan pertambangan. Dalam ukuran luas, menurut data FAO, Indonesia telah membabat 1,87 juta hektare hutan setiap tahun. Yang identik dengan sekitar 51 kilometer persegi hutan setiap hari atau setara luas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Prestasi yang memalukan ini layak menempatkan Indonesia di dalam The Guinness Book of World Record sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Belajar menghargai air menjadi sulit dilakukan ketika ada sekelompok orang yang berperilaku tidak jujur dalam menguras dan merampas sumber daya alam demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Hutan dibabat dan limbah beracun dibuang ke sungai secara diam-diam adalah serpihan contoh bentuk perilaku buruk pemilik industri terhadap lingkungan hidup. Sandiwara satu babak pun acap digelar untuk menutupi ketidakjujuran itu dengan menggaji orang untuk memancing di sungai yang sudah tercemar seolah-olah di sana masih ada ikan yang masih hidup. Lantas, apa langkah antisipasi ke depan yang patut dilakukan untuk menghindari bom waktu krisis air? Tiga langkah berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan. Pertama, menghijaukan kembali hutan gundul dengan menyediakan anggaran yang cukup dan ”steril” dari para koruptor.

Sebagai aktor penguasa air, pemerintah berkewajiban melakukan konservasi sumber daya hutan secara terpadu untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat pengguna air, sebab air adalah hak asasi manusia Kedua, pemerintah harus melakukan sejumlah inisiatif untuk membantu mengatasi perubahan iklim. Salah satunya adalah program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reduced Emisions from Deforestation and Degradation/REDD). Deforestasi merupakan salah satu penyebab munculnya pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

Kekeringan yang berulang setiap tahun adalah akibat perbuatan manusia yang merusak hutan yang berhuludari kesalahankebijakan pembangunan Ketiga, memperkenalkan pendidikan lingkungan hidup sejak di sekolah dasar. Mata pelajaran lingkungan hidup harus dijadikan muatan lokal agar murid SD mulai memahami permasalahan lingkungan hidup lewat sekolah dan keluarga. Jika mereka diperkenalkan pada fungsi hutan sebagai reservoir air, kelak setelah besar mereka dapat mengatakan tidak untuk penggundulan hutan.

Ketiga hal di atas diharapkan dapat memacu produksi adrenalin kesadaran kita untuk selalu memosisikan air pada tempat yang berharga, yakni sebagai sumber kehidupan. Menjaga kelestarian sumber daya air menjadi kewajiban kita bersama sebab air adalah anugerah alam yang diberikan Tuhan untuk dipakai bersama membangun ketahanan pangan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar