Senin, 07 April 2014

Mengapa Prabowo Segan Berseteru Wiranto?

Mengapa Prabowo Segan Berseteru Wiranto?

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014, kecenderungan yang ada, mengerucutnya persaingan antara Prabowo Subianto (Partai Gerindra) dan Joko Widodo (PDIP).

Yang cukup menarik, kecenderungan itu terjadi secara tiba-tiba. Tidak lama setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menetapkan Joko Widodo sebagai capres PDIP, pada 14 Maret 2014. Sebelum pencapresan Joko Widodo, hubungan Gerindra-PDIP, "fine-fine" saja.

Dalam analogi sederhana pertarungan ini, tak lebih dari sebuah subyektifitas Prabowo. Ia merasa dikhianati oleh Joko Widodo ataupun Megawati Soekarnoputri. Sebab menurut versi Prabowo, Joko Widodo atau Jokowi pernah menegaskan tidak akan mencalonkan diri sebagai Presiden dalam Pilpres 2014. Sedangkan Megawati, kata Prabowo lagi, pada 2009 pernah berjanji akan mendukung pencapresan dirinya dalam Pilpres 2014.

Tapi di luar analogi, mencuat pula spekulasi. Yaitu pertarungan Prabowo Subianto melawan Jokowi sejatinya merupakan wujud persaingan antara kekuatan militer dengan kelompok sipil. Dikotomi militer-sipil, sebuah isu politik yang sensitif, kembali diangkat ke permukaan.

Prabowo mewakili kekuatan militer dan Joko Widodo atau Jokowi mewakili kekuatan sipil. Lihat saja sikap sejumlah jenderal pensiunan yang satu angkatan maupun yang lebih senior. Mereka seperti membiarkan atau "menjerumuskan" Prabowo menyerang Jokowi.

Sayangnya, sekalipun fakta ini terjadi di depan mata, berbagai analisa dan liputan media, belum ada yang tertarik menyorotinya. Para pengamat lebih tertarik mengomentari sikap temperamental Prabowo dan puisi berisi sindiran yang dia tujukan ke Jokowi dan Megawati.

Tidak adanya analisa yang membedah isu persaingan militer dan sipil, bisa jadi kurang menarik, karena penampilan Prabowo jauh lebih memikat. Boleh jadi juga karena ada unsur kesengajaan dari para analis politik untuk menghindari isu tersebut - untuk melihat sejauh sensitifitas dikotomi militer-sipil.

Keinginan militer bersaing dengan sipil, terbersit dari sikap Prabowo Subianto dalam berkampanye. "Show of force", itulah yang paling menonjol. Unjuk kekuatan, begitulah yang dipertontonkannya. Gaya militer yang tegas, cara memberi hormat ala militer - sekalipun yang dihadapi publik sipil, demikian menonjol.

Tapi serangannya ke lawan politik, tidak dilakukan Prabowo kepada jenderal purnawirawan Wiranto, yang juga termasuk salah satu pesaing dan lawan politiknya. Terhadap Wiranto, eks petinggi militer yang pernah menjadi atasannya di 1998, Prabowo tak berani bereaksi spontan apalagi bersikap temperamen.

Padahal kalau mau dicermati, pihak yang paling blak-blakan menyerang Prabowo Subianto, justru Wiranto. Bukan Jokowi apalagi Megawati! Serangan Wiranto terhadap Prabowo secara politik, tergolong yang paling keras. Bahkan bisa ditafsirkan sebagai sebuah pembunuhan karakter.

Serangan yang dimaksud adalah pernyataan Wiranto yang mengungkapkan status Prabowo Subianto. Menurut Wiranto, Prabowo dipecat dari dinas kemiliteran, akibat keterlibatannya dalam penculikan.

Tidak disebutkan secara detil siapa yang diculik dan sedalam apa peran keterlibatan Prabowo. Tetapi publik yang sudah mengikuti isu penculikan tersebut, sejak era Orde Baru (1990-an) menangkap nuansa, Wiranto yang mantan Panglima TNI, merujuk pada para aktifis yang hilang antara 1996-1998.

Salah satu sisi yang menarik dikritisi dalam serangan Wiranto tersebut, terletak pada cara penyebaran informasinya. Pernyataan itu untuk pertama kalinya diungkap Wiranto dalam wawancaranya dengan Arya Sinulingga dari kelompok media MNC, pada Maret 2013. Tapi setahun kemudian, tepatnya semasa kampanye Pileg 2014, wawancara itu kembali disebarkan oleh berbagai media.

Bahkan oleh media-media sosial, serangan Wiranto terhadap Prabowo itu ditautkan ke sesama pemilik akun media sosial. Bisa dibayangkan, kalau pengguna internet mencapai 60 juta orang, berapa juta manusia yang membaca serangan Wiranto kepada Prabowo tersebut.

Sejauh ini, Prabowo tidak pernah melakukan klarifikasi langsung dengan Wiranto. Prabowo yang eks menantu Jenderal Soeharto, terkesan menghindari persinggungan atau perbenturan dengan mantan ajudan Presiden Soeharto tersebut.

Yang menimbulkan pertanyaan, apakah Prabowo segan berseteru dengan Wiranto, karena keduanya terikat pada komitmen sesama anggota keluarga militer atau oleh faktor lain?

Dalam Pileg dan Pilpres 2014, keduanya sudah mendeklarasikan sebagai calon presiden melalui partai yang mereka dirikan masing-masing. Prabowo melalui Gerindra dan Wiranto melalui Partai Hanura. Bahkan jauh sebelum persaingan di Pemilu 2014, keduanya sudah bersaing di 2004 dan 2009.

Pada 2004, keduanya ikut dalam konvensi capres Partai Golkar. Wiranto keluar sebagai pemenangnya. Di 2009, kembali keduanya bersaing. Wiranto menjadi cawapres Partai Hanura sementara Prabowo menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri dari PDIP.

Jadi wajar kalau muncul pertanyaan, mengapa Prabowo tidak memusuhi Wiranto, tapi lebih melihat Jokowi sebagai musuh terberat. Apakah Prabowo segan berseteru dengan Wiranto atau di antara para jenderal pensiunan, memang ada konspirasi untuk mencegah munculnya kekuatan (Presiden) sipil?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar