Senin, 07 April 2014

Berbahaya, Benturkan Militer-Sipil

Berbahaya, Benturkan Militer-Sipil

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Para perwira dan eks militer Indonesia kelihatannya belum puas dengan masa berkuasanya militer selama 32 tahun (1966-1998). Mereka beranggapan, Indonesia ke depan harus kembali dipimpin eks-militer atau dengan cara-cara militer.

Hal ini terbaca dari notasi-notasi kampanye yang disuarakan Prabowo Subianto dan Sutiyoso, dua jenderal purnawirawan yang memimpin partai politik Gerindra dan PKPI, peserta Pemilu 2014.

Prabowo sekalipun tampil dengan baju sipil, tetapi bahasa tubuhnya berpesan, ia masih seorang militer. Bahkan di tengah kesibukan kampanye, secara khusus Prabowo mengistimewakan sebuah 'pertemuan militer' yang digelar oleh sejumlah pensiunan jenderal.

Disebut sebagai sebuah 'pertemuan militer' sebab yang dikedepankan adalah ketokohan sekitar 80 jenderal pensiunan. Para jenderal pensiunan itu, diklaim mendukung pencapresan Prabowo.

Seakan-akan, kekuatan puluhan jenderal pensiunan itu merupakan sebuah kekuatan ril politik yang masih harus dijadikan barometer. Di balik 80-an eks tentara itu, masih tersimpan kekuatan politik yang super dahsyat. Atau kekuatan Indonesia masih berada di tangan para pensiunan tersebut. Boleh-boleh saja klaim seperti itu dilakukan. Tapi yang perlu dihindari jika kekuatan sipil akhirnya dimarjinalkan oleh kelompok eks militer.

Sementara Sutiyoso, bekas Gubernur DKI Jaya (1997-2007) menyatakan ada indikasi kuat, militer mau disingkirkan dari kekuasaan. Di zaman sebelumnya, Sutiyoso menyebut dua posisi menteri yang selalu berada di tangan militer, tapi belakangan ini dipercayakan kepada sipil. yakni Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan.

Sutiyoso lupa yang menyingkirkan militer dari dua pos itu, seorang jenderal purnawirawan bekas anak buahnya, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kalau Sutiyoso tidak puas, bukan ke publik dia alamatkan kekesalannya itu. Tetapi kepada SBY yang bekas Kasdam V/ Jaya saat Sutiyoso menjabat sebagai Panglima Kodam V/Jaya.

Sutiyoso nampaknya lupa atau memanipulasi fakta. Tidak benar jabatan Mendagri langsung "diambil" oleh sipil. Di era SBY, setidaknya jabatan Mendagri dijabat oleh tiga jenderal. Letjen Mohammad Ma'aruf, Letjen Widodo AS (pejabat menggantikan Ma'aruf yang sakit), dan Mayor Jenderal Mardiyanto.

Oleh sebab itu pernyataan Sutiyoso harus dikoreksi. Sikap Prabowo dan pernyataan Sutiyoso, tidak bisa dianggap remeh. Sebab secara sadar keduanya mengangkat isu yang cukup sensitif. Yaitu persaingan antara kelompok militer dan sipil.

Yang paling berbahaya, kalau para prajurit yang berada di asrama-asrama militer, hanya menangkap 'ujung' dari sikap dan pernyataan kedua jenderal pensiunan tersebut. Kalau rasa kesatuan korps mereka tersinggung oleh provokasi dari perwira senior, mereka bisa berbuat hal yang kontra produktif.

Padahal kalau boleh jujur yang namanya kelompok sipil, selama kekuasaan militer, lebih banyak mengalah atau memilih diam dari pada harus berkonflik dengan militer. Di era Orde Baru, justru kelompok militer dengan konsep dwi fungsinya yang banyak mengambil berbagai posisi yang sejatinya menjadi domain masyarakat sipil. Seolah masyarakat sipil tidak punya kekuatan dan kemampuan sama sekali.

Kalau pada akhirnya kekuatan sipil bisa memperoleh ruang kekuasaan yang lebih besar, itupun masih dengan catatan. Sepuluh tahun Indonesia masih dipimpin seorang pensiunan jenderal bintang empat. Hasilnya, tidak terlihat yang istimewa dari yang pernah dihasilkan oleh pemimpin sipil seperti BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri.

Dan berkuasanya kekuatan sipil - kalau memang ada, hal tersebut bukan semata-mata karena kehendak masyarakat sipil. Melainkan karena kehendak zaman. Kalau sudah zaman yang menghendaki, tak satu kekuatan pun yang bisa melawannya.

Militer dan sipil sebetulnya tidak boleh diperbenturkan. Kekuatan militer dan sipil seharusnya dipersatukan. Sebab kekuatan militer sekuat apapun tak akan ada artinya jika tidak mendapat dukungan sipil.

Itu sebabnya di organisasi militer pun dikenal sebuah pos yang bertanggung jawab di bidang teritorial. Pos ini harus lebih mengedepankan pendekatan persuasif ala sipil.

Militer boleh memiliki senjata yang serba modern yang bisa mematikkan musuh dari manapun datangnya. Tetapi sudah terbukti, kekuatan militer yang mematikan itu hanya bisa bermakna jika dibarengi oleh simpati dan empati dari masyarakat sipil.

Kegagalan Indonesia di Timor Timur merupakan contoh karikatural yang merepresentasikan kegagalan rezim militer. Bayangkan lebih dari 10 ribu militer Indonesia diterjunkan di Timor Timur sejak 1975. Tetapi 24 tahun kemudian, tepatnya di 1999, militer Indonesia terusir dari wilayah yang penduduknya tidak sampai satu juta manusia tersebut.

Ketika referendum digelar di Timor Timur, rakyat di provinsi itu, yang mayoritas sipil, lebih memilih menjadi negara merdeka dari pada bagian dari NKRI. Lantas dimana tanggung jawab militer Indonesia atas lepasnya Timor Timur?

Keterusiran Indonesia dari Timor Timur seharusnya menjadi pembelajaran bagi Prabowo dan Sutiyoso yang dua-duanya pernah bertugas di bekas provinsi ke-27 NKRI tersebut.

Sebab keterusiran itu telah membuat seluruh rakyat Indonesia menanggung rasa malu. Rakyat sipil yang tidak punya dosa dan peran apa-apa di perpolitikan Timor Timur harus ikut menanggung beban politik dan ekonomi serta harga diri atas keterusiran tersebut.

Rakyat (sipil) Indonesia sudah melupakan lepasnya Timor Timur. Dan Prabowo serta Sutiyoso perlu sadar akan keikhlasan rakyat sipil Indonesia melupakan peristiwa memalukan tersebut.

Dalam Pemilu 2014 ini, Prabowo dan Sutiyoso patut berterima kasih kepada masyarakat sipil Indonesia. Karena lebih dari separuh anggota Partai Gerindra dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dua partai yang mereka pimpin, terdiri dari masyarakat sipil.

Jika Prabowo dan Sutiyoso hanya menggandalkan kekuatan militer, keluarga militer, bekas anggota militer, mustahil dua partai yang mereka pimpin tak akan mampu meraih simpati masif seperti yang terjadi saat ini.

Kasihan kalau warga sipil hanya dimanfaatkan secara politik. Oleh sebab itu Prabowo dan Sutiyoso tidak patut membenturkan kekuatan militer dengan sipil atau sebaliknya. Karena risiko paling mudah, keduanya bisa kehilangan simpati dan empati dari masyarakat sipil.

Sipil sampai kapan pun tidak akan pernah menghilangkan peran militer di dalam membangun dan mempersatukan bangsa. Tapi sebaliknya militer jangan pernah bermimpi akan mampu membangun dan mempersatukan Indonesia hanya dengan kekuatannya sendiri.

Militer dan sipil, saling membutuhkan. Prabowo dan Sutiyoso tidak bisa mengklaim rakyat Indonesia sangat membutuhkan kepemimpinan mereka sebagai bekas aktifis di dunia militer. Mereka berdua juga butuh rakyat sipil Indonesia !

Apalagi kalau ideologi dan sapta marga militer masih seperti inspirasi di era perjuangan kemerdekaan. Yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal itu berarti jangan pernah mendikotomikan militer dan sipil di Indonesia.

Oleh sebab itu semua pihak perlu mengkritisi bahkan bila perlu mengingatkan kepada Prabowo dan Sutiyoso, bahwa era militer sudah berlalu. Militer sudah menikmati kekuasaan melebihi separuh usia kemerdekaan RI.

Jadi sangat masuk akal kalau era sipil, kekuasaan madani perlu diberi waktu dan kesempatan. Lagi pula, kalau keduanya ingin mengembalikan kejayaan militer Indonesia harus menggunakan paradigma yang tepat.

Manuver Prabowo dan Sutiyoso di Pemilu 2014 yang tiba-tiba tertarik menggunakan jaringan militer, sejatinya menunjukkan, kedua jenderal pensiunan ini, sedang kehilangan isu menarik.

Disamping itu, kedua jenderal ini masih kuat beranggapan kepemimpinan bergaya militer merupakan solusi satu-satunya bagi Indoneia - jika ingin keluar dari krisis dan kemelut berkepanjangan. Bila sinyalimen yang terakhir ini benar, maka kedua pensiunan jenderal ini patut diingatkan - hal itu sesuatu yang berbahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar