Berbahaya,
Benturkan Militer-Sipil
Derek Manangka ;
Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
01 April 2014
Para
perwira dan eks militer Indonesia kelihatannya belum puas dengan masa berkuasanya
militer selama 32 tahun (1966-1998). Mereka beranggapan, Indonesia ke depan
harus kembali dipimpin eks-militer atau dengan cara-cara militer.
Hal ini
terbaca dari notasi-notasi kampanye yang disuarakan Prabowo Subianto dan
Sutiyoso, dua jenderal purnawirawan yang memimpin partai politik Gerindra dan
PKPI, peserta Pemilu 2014.
Prabowo
sekalipun tampil dengan baju sipil, tetapi bahasa tubuhnya berpesan, ia masih
seorang militer. Bahkan di tengah kesibukan kampanye, secara khusus Prabowo
mengistimewakan sebuah 'pertemuan militer' yang digelar oleh sejumlah
pensiunan jenderal.
Disebut
sebagai sebuah 'pertemuan militer' sebab yang dikedepankan adalah ketokohan
sekitar 80 jenderal pensiunan. Para jenderal pensiunan itu, diklaim mendukung
pencapresan Prabowo.
Seakan-akan,
kekuatan puluhan jenderal pensiunan itu merupakan sebuah kekuatan ril politik
yang masih harus dijadikan barometer. Di balik 80-an eks tentara itu, masih
tersimpan kekuatan politik yang super dahsyat. Atau kekuatan Indonesia masih
berada di tangan para pensiunan tersebut. Boleh-boleh saja klaim seperti itu
dilakukan. Tapi yang perlu dihindari jika kekuatan sipil akhirnya
dimarjinalkan oleh kelompok eks militer.
Sementara
Sutiyoso, bekas Gubernur DKI Jaya (1997-2007) menyatakan ada indikasi kuat,
militer mau disingkirkan dari kekuasaan. Di zaman sebelumnya, Sutiyoso
menyebut dua posisi menteri yang selalu berada di tangan militer, tapi
belakangan ini dipercayakan kepada sipil. yakni Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertahanan.
Sutiyoso
lupa yang menyingkirkan militer dari dua pos itu, seorang jenderal
purnawirawan bekas anak buahnya, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Kalau Sutiyoso tidak puas, bukan ke publik dia alamatkan kekesalannya
itu. Tetapi kepada SBY yang bekas Kasdam V/ Jaya saat Sutiyoso menjabat
sebagai Panglima Kodam V/Jaya.
Sutiyoso
nampaknya lupa atau memanipulasi fakta. Tidak benar jabatan Mendagri langsung
"diambil" oleh sipil. Di era SBY, setidaknya jabatan Mendagri
dijabat oleh tiga jenderal. Letjen Mohammad Ma'aruf, Letjen Widodo AS
(pejabat menggantikan Ma'aruf yang sakit), dan Mayor Jenderal Mardiyanto.
Oleh
sebab itu pernyataan Sutiyoso harus dikoreksi. Sikap Prabowo dan pernyataan
Sutiyoso, tidak bisa dianggap remeh. Sebab secara sadar keduanya mengangkat
isu yang cukup sensitif. Yaitu persaingan antara kelompok militer dan sipil.
Yang
paling berbahaya, kalau para prajurit yang berada di asrama-asrama militer,
hanya menangkap 'ujung' dari sikap dan pernyataan kedua jenderal pensiunan
tersebut. Kalau rasa kesatuan korps mereka tersinggung oleh provokasi dari
perwira senior, mereka bisa berbuat hal yang kontra produktif.
Padahal
kalau boleh jujur yang namanya kelompok sipil, selama kekuasaan militer,
lebih banyak mengalah atau memilih diam dari pada harus berkonflik dengan
militer. Di era Orde Baru, justru kelompok militer dengan konsep dwi
fungsinya yang banyak mengambil berbagai posisi yang sejatinya menjadi domain
masyarakat sipil. Seolah masyarakat sipil tidak punya kekuatan dan kemampuan
sama sekali.
Kalau
pada akhirnya kekuatan sipil bisa memperoleh ruang kekuasaan yang lebih
besar, itupun masih dengan catatan. Sepuluh tahun Indonesia masih dipimpin
seorang pensiunan jenderal bintang empat. Hasilnya, tidak terlihat yang
istimewa dari yang pernah dihasilkan oleh pemimpin sipil seperti BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri.
Dan
berkuasanya kekuatan sipil - kalau memang ada, hal tersebut bukan semata-mata
karena kehendak masyarakat sipil. Melainkan karena kehendak zaman. Kalau
sudah zaman yang menghendaki, tak satu kekuatan pun yang bisa melawannya.
Militer
dan sipil sebetulnya tidak boleh diperbenturkan. Kekuatan militer dan sipil
seharusnya dipersatukan. Sebab kekuatan militer sekuat apapun tak akan ada
artinya jika tidak mendapat dukungan sipil.
Itu
sebabnya di organisasi militer pun dikenal sebuah pos yang bertanggung jawab
di bidang teritorial. Pos ini harus lebih mengedepankan pendekatan persuasif
ala sipil.
Militer
boleh memiliki senjata yang serba modern yang bisa mematikkan musuh dari
manapun datangnya. Tetapi sudah terbukti, kekuatan militer yang mematikan itu
hanya bisa bermakna jika dibarengi oleh simpati dan empati dari masyarakat
sipil.
Kegagalan
Indonesia di Timor Timur merupakan contoh karikatural yang merepresentasikan
kegagalan rezim militer. Bayangkan lebih dari 10 ribu militer Indonesia
diterjunkan di Timor Timur sejak 1975. Tetapi 24 tahun kemudian, tepatnya di
1999, militer Indonesia terusir dari wilayah yang penduduknya tidak sampai
satu juta manusia tersebut.
Ketika
referendum digelar di Timor Timur, rakyat di provinsi itu, yang mayoritas
sipil, lebih memilih menjadi negara merdeka dari pada bagian dari NKRI.
Lantas dimana tanggung jawab militer Indonesia atas lepasnya Timor Timur?
Keterusiran
Indonesia dari Timor Timur seharusnya menjadi pembelajaran bagi Prabowo dan
Sutiyoso yang dua-duanya pernah bertugas di bekas provinsi ke-27 NKRI
tersebut.
Sebab
keterusiran itu telah membuat seluruh rakyat Indonesia menanggung rasa malu.
Rakyat sipil yang tidak punya dosa dan peran apa-apa di perpolitikan Timor
Timur harus ikut menanggung beban politik dan ekonomi serta harga diri atas
keterusiran tersebut.
Rakyat
(sipil) Indonesia sudah melupakan lepasnya Timor Timur. Dan Prabowo serta
Sutiyoso perlu sadar akan keikhlasan rakyat sipil Indonesia melupakan
peristiwa memalukan tersebut.
Dalam
Pemilu 2014 ini, Prabowo dan Sutiyoso patut berterima kasih kepada masyarakat
sipil Indonesia. Karena lebih dari separuh anggota Partai Gerindra dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia, dua partai yang mereka pimpin, terdiri dari
masyarakat sipil.
Jika
Prabowo dan Sutiyoso hanya menggandalkan kekuatan militer, keluarga militer,
bekas anggota militer, mustahil dua partai yang mereka pimpin tak akan mampu
meraih simpati masif seperti yang terjadi saat ini.
Kasihan
kalau warga sipil hanya dimanfaatkan secara politik. Oleh sebab itu Prabowo
dan Sutiyoso tidak patut membenturkan kekuatan militer dengan sipil atau
sebaliknya. Karena risiko paling mudah, keduanya bisa kehilangan simpati dan
empati dari masyarakat sipil.
Sipil
sampai kapan pun tidak akan pernah menghilangkan peran militer di dalam
membangun dan mempersatukan bangsa. Tapi sebaliknya militer jangan pernah
bermimpi akan mampu membangun dan mempersatukan Indonesia hanya dengan
kekuatannya sendiri.
Militer
dan sipil, saling membutuhkan. Prabowo dan Sutiyoso tidak bisa mengklaim
rakyat Indonesia sangat membutuhkan kepemimpinan mereka sebagai bekas aktifis
di dunia militer. Mereka berdua juga butuh rakyat sipil Indonesia !
Apalagi
kalau ideologi dan sapta marga militer masih seperti inspirasi di era
perjuangan kemerdekaan. Yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal itu berarti jangan pernah mendikotomikan
militer dan sipil di Indonesia.
Oleh
sebab itu semua pihak perlu mengkritisi bahkan bila perlu mengingatkan kepada
Prabowo dan Sutiyoso, bahwa era militer sudah berlalu. Militer sudah
menikmati kekuasaan melebihi separuh usia kemerdekaan RI.
Jadi
sangat masuk akal kalau era sipil, kekuasaan madani perlu diberi waktu dan
kesempatan. Lagi pula, kalau keduanya ingin mengembalikan kejayaan militer
Indonesia harus menggunakan paradigma yang tepat.
Manuver
Prabowo dan Sutiyoso di Pemilu 2014 yang tiba-tiba tertarik menggunakan
jaringan militer, sejatinya menunjukkan, kedua jenderal pensiunan ini, sedang
kehilangan isu menarik.
Disamping
itu, kedua jenderal ini masih kuat beranggapan kepemimpinan bergaya militer
merupakan solusi satu-satunya bagi Indoneia - jika ingin keluar dari krisis
dan kemelut berkepanjangan. Bila sinyalimen yang terakhir ini benar, maka
kedua pensiunan jenderal ini patut diingatkan - hal itu sesuatu yang
berbahaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar