Manipulasi
Penghitungan Suara
Didik Supriyanto ; Ketua Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS,
08 April 2014
MANIPULASI
penghitungan suara yang saya maksudkan di sini adalah perubahan hasil
penghitungan suara, baik dengan menambah maupun mengurangi, yang terjadi di
TPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU. Manipulasi
penghitungan suara selalu menjadi isu sentral setiap pemilu digelar. Kecurigaan
ini berasal dari praktik pemilu Orde Baru yang memang mengabaikan prinsip
kejujuran dan keadilan. Sementara pada pemilu pasca Orde Baru, Pemilu 2009
paling banyak menunjukkan penyimpangan penghitungan suara.
Melalui
pembicaraan informal dengan pengurus partai dan anggota DPR, saya mencatat,
saat ini setidaknya ada 20 anggota DPR yang keterpilihannya diragukan karena
praktik manipulasi penghitungan suara. Data Mahkamah Konstitusi menunjukkan,
pada Pemilu 2009 ada 627 perkara gugatan hasil pemilu yang diajukan 42
parpol. Dari jumlah itu, 493 perkara disidangkan, 68 perkara dikabulkan.
Artinya, dari perkara yang masuk, 11 persen dikabulkan MK. Padahal, banyak
juga perkara yang terbukti tetapi tidak dikabulkan karena jumlah suara tidak
cukup untuk mengubah perolehan kursi.
Bagaimana
terjadi manipulasi penghitungan suara? Pertama, rumus paling sederhana: tak ada saksi, maka tak ada suara.
Maksudnya, jika partai tidak mengirimkan saksi dalam penghitungan suara,
khususnya di TPS, PPS, dan PPK, hampir pasti suaranya hilang, setidaknya
berkurang.
Pengalaman
ini yang menjelaskan banyak calon senewen:
mengapa di beberapa desa/kelurahan saya tidak mendapat suara sama sekali,
padahal di sana banyak sanak saudara saya tinggal dan memilih saya? Kesalahan
sang calon adalah partainya tak memiliki saksi di desa/kelurahan itu.
Kedua,
seiring dengan perubahan sistem dari proporsional tertutup (Pemilu 1999) ke
proporsional setengah terbuka (Pemilu 2004), lalu proporsional terbuka pada
Pemilu 2009, peran saksi partai makin signifikan. Mereka tak hanya mencuri
suara dari partai lain, tetapi juga mengubah perolehan suara calon dalam satu
partai. Ini yang marak pada Pemilu 2009 ketika sistem pemilihan menghendaki
calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
Langkah antisipasi
Mengapa
saksi mengubah hasil penghitungan suara antarcalon dalam satu partai?
Jawabnya sederhana: saksi ditunjuk
partai; ditunjuk partai berarti ditunjuk pengurus partai; padahal, pengurus
partai juga jadi calon. Jadi, logis saja jika saksi mengutamakan suara
pengurus partai yang jadi calon karena dia yang mengangkatnya menjadi saksi.
Tentu
saja proses manipulasi penghitungan suara yang dilakukan para saksi tersebut
tidak berarti apa-apa jika petugas pemilu di TPS, PPS, dan PPK tidak menyetujuinya.
Jadi, inisiatif memang berasal dari saksi, tetapi ”legalisasi” tetap di
tangan petugas. Persekongkolan inilah yang mengantarkan banyak orang
menduduki kursi DPR dan DPRD yang sesungguhnya bukan menjadi haknya.
Menyadari
maraknya praktik manipulasi penghitungan suara pada Pemilu 2009, KPU kini
mengambil beberapa langkah antisipasi. Pertama, mencetak sertifikat hasil
penghitungan suara di TPS (formulir C-1) dengan kertas pengaman berhologram.
Pada sidang sengketa hasil Pemilu 2009, hakim MK sering dipusingkan oleh
banyaknya versi formulir C-1, padahal ditandatangani oleh saksi dan petugas
yang bernama sama. Hal ini bisa terjadi karena formulir C-1 kosong gampang
digandakan yang kemudian digunakan untuk mengubah hasil penghitungan suara.
Kedua, salinan
formulir C-1 kini tidak hanya dibagikan kepada saksi dan pengawas pemilu,
tetapi juga harus ditempel di papan pengumuman di TPS, PPS, dan PPK.
Tujuannya agar siapa saja dengan mudah bisa mencatat dan memotret hasil
penghitungan suara di TPS sehingga jika terjadi manipulasi penghitungan suara
dapat dengan mudah diketahui.
Ketiga,
salah satu salinan formulir C-1 melalui PPS dan PPK segera dikirim ke KPU
kabupaten/kota untuk di-scan dan hasil scan langsung dikirim ke pusat data
KPU Jakarta. Hasil scan formulir C-1 ini oleh KPU lalu dipublikasikan melalui
laman KPU sehingga masyarakat bisa melihat hasil penghitungan suara per TPS
di seluruh Indonesia.
Peluang tersisa
Dengan
langkah antisipasi tersebut, rasanya tidak ada ruang tersisa buat
persekongkolan mengubah hasil penghitungan suara di TPS, PPS, dan PPK. Namun,
jika mencermati proses penghitungan suara, ruang itu masih ada. Jika pada
Pemilu 2009 titik sentral manipulasi terjadi di PPK (karena saat itu hasil
penghitungan suara di TPS langsung direkap di PPK), kini titik rawan itu akan
terjadi di TPS sehingga persekongkolan saksi dan KPPS harus jadi perhatian.
Selama
ini penghitungan suara di TPS dianggap paling bersih karena penghitungannya
ditonton oleh warga. Yang sering dilupakan, warga segera meninggalkan TPS
begitu penghitungan suara yang ditulis pada kertas besar (C-1 plano) selesai.
Padahal, masih terdapat satu tahap penting, yakni pengalihan hasil
penghitungan C-1 plano ke formulir C-1 yang jadi dokumen resmi hasil pemilu
di TPS.
Di
sinilah peluang manipulasi itu terbuka. Karena pengalihan hasil penghitungan
suara dari C-1 plano ke formulir C-1 tidak ditonton warga, saksi dan petugas
bisa bersekongkol mengubah hasil penghitungan suara. Misalnya, total
perolehan partai A berubah dari 110 di C-1 plano menjadi 10 di formulir C-1
atau perolehan calon B berkurang dari 81 di C-Plano jadi 8 di formulir C-1.
Hitung-hitungan
perubahan ini bisa dengan cepat dilakukan oleh saksi dan petugas karena
menyangkut angka kecil dan tersedia kalkulator. Jika hasil pengubahan
tersebut tertera di formulir C-1 berhologram, dokumen inilah yang selamanya
akan menjadi dasar penghitungan suara selanjutnya.
Guna mencegah kemungkinan manipulasi penghitungan suara di TPS, mau
tidak mau saksi dan petugas TPS harus dikontrol. Di sinilah seharusnya para
calon memiliki ”saksi bayangan”
atau sukarelawan di setiap TPS. Namun, karena mengerahkan sukarelawan di
setiap TPS membutuhkan biaya besar, setiap calon yang punya niat baik untuk
menyelamatkan suara rakyat harus bekerja sama. Formulanya sederhana: saya awasi suara Anda di TPS sini, tolong
jaga suara saya di TPS sana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar