Linearitas
di Hari Seni Sedunia
M Dwi Marianto ; Pengamat Seni dan Budaya; Dosen ISI Yogyakarta
|
KOMPAS,
16 April 2014
”UNTUK
membentuk pikiran nan utuh: pelajarilah inti-ilmunya seni, dan seninya ilmu
pengetahuan. Belajarlah bagaimana melihat, sebab semua ilmu pengetahuan itu
memiliki asal-muasal di persepsi kita.” Kutipan
tersebut pemikiran dari seorang tokoh legendaris Renaisans, Leonardo da
Vinci (1452-1519).
DA Vinci
memandang dan memperlakukan alam sebagai model dan sekaligus pembimbingnya.
Tanggal 15 April adalah tanggal kelahiran si manusia genius kelahiran Italia
itu, yang kini dipakai sebagai Hari Seni Sedunia, khususnya seni murni.
Perayaan ini mengobservasi aktivitas kreatif seni murni di seluruh dunia;
secara simbolis mempromosikan perdamaian, kebebasan berekspresi, toleransi,
persaudaraan, keberagaman, dan kesadaran akan pentingnya seni bagi bidang
lain. Artikel ini menyoroti keresahan dan kebingungan banyak akademisi di
dunia pendidikan tinggi seni, bahkan di bidang nonseni, atas pemberlakuan
paradigma dan sistem linearitas dalam memprogram dan mengevaluasi berbagai
aspek pendidikan akademik. Kriteria dan kajian akademiknya pun tidak jelas (Jurnal Urip Santoso).
Sistem
ini secara makro meregulasi praktik pengajaran dan cara pandang atas
bidang-bidang ilmu, yang menuntut linearitas atas beberapa aspek
administratif akademik pendidikan. Di antaranya linearitas keilmuan dan
kualifikasi akademik pengajar; hasil pembelajaran dan produk belajar; sampai
sifat jurnal yang memuat artikel-artikel bidang ilmu bersangkutan harus
linier dan spesialis. Cara pandang ini seperti cara pandang teologis masa
lalu yang doktrinal, dengan puritanisme. Akibat cara pandang ini, jurnal
”bunga-rampai” ternilai rendah, tak masuk hitungan sebagai jurnal yang baik,
dan oleh karenanya sukar terakreditasi. Padahal, syarat memperoleh jabatan
guru besar dan kelulusan studi program magister dan doktor adalah artikel
yang telah diterbitkan atau yang telah memiliki jaminan formal untuk
diterbitkan dalam jurnal yang linier.
Persoalannya,
jurnal yang secara khusus memuat artikel-artikel dari bidang keilmuan yang
linier atau spesialis sangat langka. Kalaupun ada, waktu terbitannya harus
antre lama. Kini ada semacam ketidaknyamanan dan ketidakpastian di kalangan
akademisi untuk dapat memasukkan artikel mereka ke jurnal yang telah
terakreditasi. Konsekuensinya banyak akademisi harus menghubungi jurnal-jurnal
di luar negeri, tak peduli negara mana, yang penting ”internasional”. Bayar
sekalipun tidak apa-apa.
Realitas
macam inilah yang membuat banyak praktisi pendidikan bidang seni jadi tambah
gundah dan bingung. Sebab, kreativitas atau inovasi, kebaruan, dan prinsip
penciptaan seni tidak pernah terjadi secara linier via alur dan proses yang
standar. Atmosfer akademik di dunia pendidikan tinggi di Indonesia kini
kira-kira sama dengan yang pernah diutarakan Fritjof Capra. Suatu atmosfer
akademik yang dikelola dengan sistem linier dan memfragmentasi; produknya
hanya menghasilkan unit-unit yang terkotak-kotak atas dasar spesialisasi,
tetapi tak sinergis. Para pelakunya sibuk dalam atau dengan urusannya
sendiri, berkutat dalam kotaknya masing-masing.
Fenomena
ini perlu dicermati dan disikapi karena natura kreativitas, inovasi, atau
pembaharuan nyaris tak pernah muncul dari keadaan yang linier, fragmented,
atau dari keadaan yang serba praktis reduksionis. Sistem macam ini telah
merambah dunia akademik di Indonesia, termasuk dunia pendidikan seni. Secara
esensial dan fundamental, pendekatan sistemik yang linear dalam atmosfer
akademik yang serba terkotak-kotak seperti itu sesungguhnya menjauh, atau
berkebalikan dari pemikiran dan praksis Leonardo da Vinci, yang menunjukkan
melalui kreasi dan tulisannya bahwa segala sesuatu itu kait-mengait, saling
terhubung satu dengan lainnya. Artinya, ketika seseorang mengobservasi dan
mengkaji suatu dinamika atau problematika di suatu area, akan jauh lebih baik
dan semakin komplet jika ia mengamati pula untuk mencari tahu apakah ada,
atau tidak, pola yang sama di area-area yang lain.
Keluar dari kampung
Di dunia
kreativitas, apakah untuk karya seni murni atau seni terapan maupun di bidang
non-seni, untuk memperoleh ide-ide baru dan segar seniman/desainer atau sang
subyek harus berpikir bolak-balik, keluar-masuk kotak permasalahannya.
Ibaratnya seseorang harus keluar dari kampungnya dulu bila ia ingin melihat
kelemahan, kekurangan, dan potensi virtual dari kampungnya guna membuat
perubahan atau pembaharuan. Heri Dono, sebagai ilustrasi, seniman Indonesia
yang telah menginternasional. Ia mengawinkan dua hal berbeda untuk
dikombinasikan sebagai konsep kreatifnya, yaitu animasi dan animisme. Ia belajar
dari berbagai praktisi seni dari berbagai latar belakang, di antaranya Sigit
Sukasman, pembaharu pertunjukan wayang klasik dan bentuk-bentuk wayang purwa.
Dalam berkarya, Heri membuat karya berbasis bunyi, gerak, rupa, bahkan
menciptakan pertunjukan wayang sendiri yang diberi sebutan Wayang Legenda.
Endar
Progresto, alumnus seni grafis yang tinggal di Boyolali, sejak 2000
menghijaukan berhektar-hektar bukit yang tadinya gundul dengan berbagai jenis
pohon sehingga mengondisikan pemunculan mata air di beberapa tempat yang kini
dirindangi pepohonan. Konsepnya sederhana: ia ingin melukis kanvas luas (alam
itu sendiri) dengan warna pepohonan yang hidup.
Di
mancanegara, terdapat banyak tokoh terkenal yang sukses dengan profesinya
yang dicapai melalui jalan zig-zag kreativitas, dengan jalan dan capaian yang
tak jarang lintas bidang. Sebagai contoh, Fritjof Capra yang telah
menghasilkan sejumlah buku terkenal yang mempersoalkan implikasi ilmu
pengetahuan—apakah fisika maupun yang metafisika—adalah seorang yang terdidik
di dalam disiplin fisika. Salah satu bukunya yang terkenal adalah The Tao of
Physics.
Ada
banyak figur sukses lain, yang kesuksesannya dicapai secara trans-disiplin,
dapat dipakai sebagai contoh tentang pengembaraan intelektual, kultural, dan profesional
di mana orang tak terkotak-kotak dalam disiplin-disiplin keilmuan yang
statis. Cara berpikir bolak-balik, keluar-masuk, maya-nyata untuk mencipta
karya-karya yang hebat sesungguhnya bukan hal baru di bidang seni karena
memang dengan cara begitulah kreativitas (natura dan esensi seni)
ternyatakan.
Kembali
ke topik semula, di Hari Seni Sedunia, ada pertanyaan yang perlu dikemukakan
terbuka: apakah
rezim linearitas yang kini ”berkuasa” membuat atmosfer akademik dan paradigma
keilmuan pendidikan yang memfragmentasi secara linier dan reduksionis sudah
melakukan kajian akademik yang mendalam dan komprehensif sebelumnya? Lebih baikkah
metode pendekatan sistem linearitas yang cenderung statis dibandingkan metode
Da Vinci yang bekerja secara dinamis non-linier? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar