Kamis, 17 April 2014

Linearitas di Hari Seni Sedunia

Linearitas di Hari Seni Sedunia

M Dwi Marianto  ;   Pengamat Seni dan Budaya; Dosen ISI Yogyakarta
KOMPAS, 16 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
”UNTUK membentuk pikiran nan utuh: pelajarilah inti-ilmunya seni, dan seninya ilmu pengetahuan. Belajarlah bagaimana melihat, sebab semua ilmu pengetahuan itu memiliki asal-muasal di persepsi kita.”   Kutipan tersebut pemikiran dari seorang tokoh legendaris Renaisans, Leonardo da Vinci (1452-1519).

DA Vinci memandang dan memperlakukan alam sebagai model dan sekaligus pembimbingnya. Tanggal 15 April adalah tanggal kelahiran si manusia genius kelahiran Italia itu, yang kini dipakai sebagai Hari Seni Sedunia, khususnya seni murni. Perayaan ini mengobservasi aktivitas kreatif seni murni di seluruh dunia; secara simbolis mempromosikan perdamaian, kebebasan berekspresi, toleransi, persaudaraan, keberagaman, dan kesadaran akan pentingnya seni bagi bidang lain. Artikel ini menyoroti keresahan dan kebingungan banyak akademisi di dunia pendidikan tinggi seni, bahkan di bidang nonseni, atas pemberlakuan paradigma dan sistem linearitas dalam memprogram dan mengevaluasi berbagai aspek pendidikan akademik. Kriteria dan kajian akademiknya pun tidak jelas (Jurnal Urip Santoso).

Sistem ini secara makro meregulasi praktik pengajaran dan cara pandang atas bidang-bidang ilmu, yang menuntut linearitas atas beberapa aspek administratif akademik pendidikan. Di antaranya linearitas keilmuan dan kualifikasi akademik pengajar; hasil pembelajaran dan produk belajar; sampai sifat jurnal yang memuat artikel-artikel bidang ilmu bersangkutan harus linier dan spesialis. Cara pandang ini seperti cara pandang teologis masa lalu yang doktrinal, dengan puritanisme. Akibat cara pandang ini, jurnal ”bunga-rampai” ternilai rendah, tak masuk hitungan sebagai jurnal yang baik, dan oleh karenanya sukar terakreditasi. Padahal, syarat memperoleh jabatan guru besar dan kelulusan studi program magister dan doktor adalah artikel yang telah diterbitkan atau yang telah memiliki jaminan formal untuk diterbitkan dalam jurnal yang linier.

Persoalannya, jurnal yang secara khusus memuat artikel-artikel dari bidang keilmuan yang linier atau spesialis sangat langka. Kalaupun ada, waktu terbitannya harus antre lama. Kini ada semacam ketidaknyamanan dan ketidakpastian di kalangan akademisi untuk dapat memasukkan artikel mereka ke jurnal yang telah terakreditasi. Konsekuensinya banyak akademisi harus menghubungi jurnal-jurnal di luar negeri, tak peduli negara mana, yang penting ”internasional”. Bayar sekalipun tidak apa-apa.

Realitas macam inilah yang membuat banyak praktisi pendidikan bidang seni jadi tambah gundah dan bingung. Sebab, kreativitas atau inovasi, kebaruan, dan prinsip penciptaan seni tidak pernah terjadi secara linier via alur dan proses yang standar. Atmosfer akademik di dunia pendidikan tinggi di Indonesia kini kira-kira sama dengan yang pernah diutarakan Fritjof Capra. Suatu atmosfer akademik yang dikelola dengan sistem linier dan memfragmentasi; produknya hanya menghasilkan unit-unit yang terkotak-kotak atas dasar spesialisasi, tetapi tak sinergis. Para pelakunya sibuk dalam atau dengan urusannya sendiri, berkutat dalam kotaknya masing-masing.

Fenomena ini perlu dicermati dan disikapi karena natura kreativitas, inovasi, atau pembaharuan nyaris tak pernah muncul dari keadaan yang linier, fragmented, atau dari keadaan yang serba praktis reduksionis. Sistem macam ini telah merambah dunia akademik di Indonesia, termasuk dunia pendidikan seni. Secara esensial dan fundamental, pendekatan sistemik yang linear dalam atmosfer akademik yang serba terkotak-kotak seperti itu sesungguhnya menjauh, atau berkebalikan dari pemikiran dan praksis Leonardo da Vinci, yang menunjukkan melalui kreasi dan tulisannya bahwa segala sesuatu itu kait-mengait, saling terhubung satu dengan lainnya. Artinya, ketika seseorang mengobservasi dan mengkaji suatu dinamika atau problematika di suatu area, akan jauh lebih baik dan semakin komplet jika ia mengamati pula untuk mencari tahu apakah ada, atau tidak, pola yang sama di area-area yang lain.

Keluar dari kampung

Di dunia kreativitas, apakah untuk karya seni murni atau seni terapan maupun di bidang non-seni, untuk memperoleh ide-ide baru dan segar seniman/desainer atau sang subyek harus berpikir bolak-balik, keluar-masuk kotak permasalahannya. Ibaratnya seseorang harus keluar dari kampungnya dulu bila ia ingin melihat kelemahan, kekurangan, dan potensi virtual dari kampungnya guna membuat perubahan atau pembaharuan. Heri Dono, sebagai ilustrasi, seniman Indonesia yang telah menginternasional. Ia mengawinkan dua hal berbeda untuk dikombinasikan sebagai konsep kreatifnya, yaitu animasi dan animisme. Ia belajar dari berbagai praktisi seni dari berbagai latar belakang, di antaranya Sigit Sukasman, pembaharu pertunjukan wayang klasik dan bentuk-bentuk wayang purwa. Dalam berkarya, Heri membuat karya berbasis bunyi, gerak, rupa, bahkan menciptakan pertunjukan wayang sendiri yang diberi sebutan Wayang Legenda.

Endar Progresto, alumnus seni grafis yang tinggal di Boyolali, sejak 2000 menghijaukan berhektar-hektar bukit yang tadinya gundul dengan berbagai jenis pohon sehingga mengondisikan pemunculan mata air di beberapa tempat yang kini dirindangi pepohonan. Konsepnya sederhana: ia ingin melukis kanvas luas (alam itu sendiri) dengan warna pepohonan yang hidup.

Di mancanegara, terdapat banyak tokoh terkenal yang sukses dengan profesinya yang dicapai melalui jalan zig-zag kreativitas, dengan jalan dan capaian yang tak jarang lintas bidang. Sebagai contoh, Fritjof Capra yang telah menghasilkan sejumlah buku terkenal yang mempersoalkan implikasi ilmu pengetahuan—apakah fisika maupun yang metafisika—adalah seorang yang terdidik di dalam disiplin fisika. Salah satu bukunya yang terkenal adalah The Tao of Physics.

Ada banyak figur sukses lain, yang kesuksesannya dicapai secara trans-disiplin, dapat dipakai sebagai contoh tentang pengembaraan intelektual, kultural, dan profesional di mana orang tak terkotak-kotak dalam disiplin-disiplin keilmuan yang statis. Cara berpikir bolak-balik, keluar-masuk, maya-nyata untuk mencipta karya-karya yang hebat sesungguhnya bukan hal baru di bidang seni karena memang dengan cara begitulah kreativitas (natura dan esensi seni) ternyatakan.

Kembali ke topik semula, di Hari Seni Sedunia, ada pertanyaan yang perlu dikemukakan terbuka: apakah rezim linearitas yang kini ”berkuasa” membuat atmosfer akademik dan paradigma keilmuan pendidikan yang memfragmentasi secara linier dan reduksionis sudah melakukan kajian akademik yang mendalam dan komprehensif sebelumnya? Lebih baikkah metode pendekatan sistem linearitas yang cenderung statis dibandingkan metode Da Vinci yang bekerja secara dinamis non-linier?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar