Kewajiban
Negara Bayar “Diyat”
Sri Palupi ; Peneliti Institute
for Ecosoc Rights
|
KOMPAS,
02 April 2014
TERHADAP
kasus hukuman mati yang menimpa Satinah, tenaga kerja Indonesia yang dituduh
membunuh majikannya di Arab Saudi, masyarakat mendesak pemerintah untuk
segera membayar diyat atau uang
tebusan. Sebaliknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mempertanyakannya.
Pemerintah merasa keberatan membayar diyat yang jumlahnya mencapai Rp 21
miliar. Alasannya, tidak adil bagi rakyat di dalam negeri.
Keberatan
pemerintah untuk membayar diyat bagi pembebasan Satinah mengabaikan fakta
bahwa pemerintahlah pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya
sekian banyak kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi, tak terkecuali kasus
hukuman mati. Karena itu, negara wajib membayar diyat.
Melanggar undang-undang
Sejak
2004, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Pasal 7 (e) UU tersebut menegaskan, pemerintah berkewajiban memberikan
perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan,
dan masa purna-penempatan.
Dalam
menempatkan TKI di luar negeri, Pasal 27 Ayat (1) dan (2) juga menegaskan
bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan
yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI
atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang
melindungi tenaga kerja asing.
Meski
undang-undang dengan tegas melarang penempatan TKI ke negara yang tidak
memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI atau yang aturannya tidak
melindungi pekerja asing, Pemerintah Indonesia membiarkan dan bahkan
memfasilitasi jutaan warga dikirim ke Arab Saudi yang jelas-jelas tidak
memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI. Selain itu, peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Arab Saudi jelas-jelas melegalkan
perbudakan.
Pihak
yang pertama kali wajib dituntut pertanggungjawaban atas hukuman mati yang
menimpa Satinah dan TKI lainnya di Arab Saudi adalah Pemerintah Indonesia
karena pemerintah telah melanggar ketentuan undang-undang perlindungan TKI.
Manifestasi dari pelanggaran ini adalah para perempuan seperti Satinah
dikirim ke Arab Saudi.
Dalam
sistem perbudakan yang dijalankan Arab Saudi, mayoritas TKI yang bekerja di
sektor domestik sangat rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan oleh
majikan dan pihak lain di negara tujuan tanpa memiliki akses atas keadilan.
TKI yang menjadi korban pembunuhan atau membunuh karena membela diri bernasib
sama. Pemerintahan yang mengirimkan rakyatnya ke negara seperti ini adalah
pemerintahan yang tidak bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya sendiri.
Setelah
rakyatnya dijatuhi hukuman mati sebagai konsekuensi dari pelanggaran
pemerintah terhadap hukum perlindungan TKI, pemerintah masih juga
mempertanyakan apakah negara harus membayar diyat.
Ratusan
kasus hukuman mati dan beragam kekerasan yang menimpa TKI tidak akan terjadi
seandainya pemerintah menjalankan ketentuan undang-undang, yaitu melarang dan
menindak tegas penempatan TKI ke Arab Saudi dan negara-negara lain yang
jelas-jelas tidak memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI dan yang
melegalkan perbudakan.
Kewajiban
pemerintah untuk membayar diyat bagi pembebasan Satinah semakin niscaya jika
mengikuti fakta penanganan kasus Satinah yang diangkat Migrant Care dan keadilan bagi TKI. Ada indikasi pemerintah
kurang serius dalam menangani kasus Satinah. Migrant Care menyatakan, saat
Satinah divonis bersalah, uang diyat yang diminta keluarga majikan Satinah
hanya Rp 1,5 miliar.
Namun,
saat itu pemerintah tidak merespons. Setelah besaran uang diyat membengkak
menjadi Rp 45 miliar, barulah pemerintah mengirimkan Kepala Satuan Tugas
Penanganan WNI Maftuh Basyuni untuk melakukan negosiasi dengan otoritas Arab
Saudi dan keluarga majikan Satinah. Negosiasi yang dilakukan pemerintah
menghasilkan penurunan diyat dari Rp 45 miliar menjadi Rp 21 miliar.
Fakta
lain yang dicatat Migrant Care,
kasus yang menimpa Satinah terjadi pada Juni 2007, sementara pemerintah baru
mengetahuinya pada 2009. Ketika masih dalam proses persidangan tidak satu pun
perwakilan RI yang mendampingi Satinah. Lima kali proses sidang, Satinah
sendirian tanpa didampingi pihak KBRI. Pemerintah baru menangani kasus
Satinah setelah keluar putusan hukuman mati pada 2012. Saat itu pemerintah
tak segera mengambil putusan membayar diyat Rp 1,5 miliar.
Keadilan bagi TKI
Kini,
dengan dalih keadilan bagi rakyat di dalam negeri, Presiden Yudhoyono
mengajak rakyat untuk berpikir matang soal pembayaran diyat. Presiden
mengabaikan keadilan bagi TKI. Jutaan TKI mempertaruhkan nyawa untuk
mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Pertaruhan nyawa ini menghasilkan
devisa bagi negara yang menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
TKI (BNP2TKI) jumlahnya mencapai Rp 88,6 triliun (tahun 2013). Jumlah ini
meningkat dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp 67,87 triliun.
Apabila dikalkulasikan dengan uang tunai yang dibawa TKI sendiri atau
dititipkan kepada sesama teman atau yang dikirimkan lewat jasa lain di luar
perbankan, devisa yang dihasilkan TKI mencapai Rp 120 triliun per tahun.
Selain
devisa, TKI juga berkontribusi dalam pengurangan pengangguran, kemiskinan,
dan bergeraknya perekonomian daerah. Apalah artinya Rp 21 miliar untuk diyat
bagi Satinah dibandingkan dengan triliunan devisa yang dihasilkan para TKI dan
berbagai manfaat yang diambil negara dari TKI.
Bukan
hanya dalam kasus Satinah, ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam
mewujudkan perlindungan bagi TKI terlihat dari beberapa indikasi. Salah
satunya adalah pengurangan anggaran perlindungan TKI. Ketika devisa yang
dihasilkan TKI meningkat, anggaran yang dialokasikan untuk perlindungan bagi
TKI justru merosot.
Padahal,
masih ada ratusan TKI yang terancam hukuman mati yang membutuhkan anggaran
untuk pembelaan. Di Kementerian Luar Negeri, misalnya, anggaran perlindungan
di semua perwakilan RI di luar negeri turun dari Rp 124.313.022.000 pada 2013
menjadi Rp 99.375.149.000 pada 2014.
Ketidakseriusan
juga terlihat dari terbengkalainya revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan TKI akibat tarik-menarik kepentingan
pihak-pihak di pemerintahan dan DPR. Maklumlah, bisnis penempatan TKI adalah
bisnis yang melibatkan banyak pihak di pemerintahan dan DPR. Keseriusan dalam
mewujudkan perlindungan TKI akan berarti memangkas pundi-pundi.
Akhir
kata, hukuman mati yang dihadapi Satinah–sekali
lagi–bukanlah tindak pidana personal belaka.
Ada pengabaian tanggung jawab negara di dalamnya. Bukan hanya tanggung jawab
dalam menjalankan amanat undang-undang, melainkan juga tanggung jawab untuk
merevisi undang-undang dan mewujudkan perubahan. Kemarin Ruyati, kini
Satinah. Entah siapa lagi nanti. Kasus terus berulang, tak ada perubahan.
Perlindungan TKI tetap sebatas janji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar