Minggu, 13 April 2014

Intelijen dan Pemilu 2014

Intelijen dan Pemilu 2014

Soleman B Ponto  ;   Kepala Badan Intelijen Strategis (ka-BAIS) TNI 2011-2013
TEMPO.CO, 12 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dalam setiap peristiwa "besar" di dunia dan tentunya juga negeri ini, intel selalu mengiringi. Dari aksi terorisme hingga perhelatan akbar seperti pemilu.

Baru-baru ini, kembali muncul sinyalemen dari salah satu partai yang menyatakan ada indikasi gerakan mengacaukan Pemilihan Umum 2014. Informasi itu, menurut dia, diperolehnya berdasarkan pengumpulan data dan informasi intelijen yang diklaimnya akurat.

Selama ini persepsi yang ditangkap oleh publik ketika mendengar atau membaca tentang peran intelijen relatif selalu dialamatkan ke institusi (negara) yang berlabelkan intelijen. Anggapan ini terbentuk karena selama puluhan tahun, khususnya selama era Orde Baru, fungsi institusi ini berkonotasi negatif. Akibatnya, ketika kata intelijen digulirkan kembali pada saat ini, anggapan tersebut seakan masih melekat dan susah dihilangkan. Selagi tidak ada fakta dan bukti, anggapan bahwa institusi negara yang berlabel Intelijen berada di balik aksi negatif harus dibuang jauh-jauh.

Secara harfiah, intelijen mengandung pengertian kecerdasan, akal, kecerdikan, atau inteligensia. Dengan kata lain, dalam konteks menjelang Pemilu 2014, ketika ada anggapan terjadi "perang intelijen", yang terjadi sebenarnya adalah perang antar-kecerdasan untuk mencapai tujuan masing-masing. Tiap-tiap partai dan institusi lain menggali potensi diri, menyiapkan amunisi, mengukur kelemahan lawan, menilai momentum yang tepat, dan segala macam analisis dengan "kecerdasan" tingkat tinggi untuk mencapai tujuannya. Tentang hal ini, Sun Tzu sudah pernah berpesan, "Know your enemy, know yourself; your victory will never be endangered."

Jika dicermati lebih mendalam tentang upaya mengacaukan Pemilu 2014, sebenarnya ada sebuah fenomena kecerdasan (intelijen) tingkat tinggi yang justru seharusnya lebih diperhatikan daripada "sekadar" soal kotak suara yang terbuat dari kardus. Menurut analisis penulis, aspek legalitas pemilu akibat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Januari 2014, bahwa Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, adalah sebuah masalah besar. Bisa jadi hal ini adalah skenario dengan kecerdasan (intelijen) yang amat tinggi.

Mengapa demikian? Karena sudah jelas, terang-benderang landasan hukum Pemilu 2014 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat tapi masih dijadikan dasar hukum. Dengan kata lain, hasil pemilu bisa dinilai inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik presiden, wakil presiden, maupun anggota DPR, semuanya menjadi tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Tentang hal ini, penulis telah menyajikannya di Koran Tempo edisi 28 Februari 2014 dengan judul "Peluang Kudeta Konstitusional 2014")

Anehnya, "saran" MK bahwa dasar hukum pemilu tersebut bisa dilaksanakan pada 2014, dan mulai berlaku pada 2019 dan pemilihan umum seterusnya diikuti oleh penyelenggara pemilu (pemerintah dan KPU). Padahal MK tidak berhak dan tidak punya kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 untuk menyatakan waktu berlakunya sebuah undang-undang. "Kecerdasan" tingkat tinggi seperti inilah yang seharusnya digulirkan oleh partai politik, akademikus, dan sejumlah elemen bangsa.

Dalam sejarah perjalanan peralihan kekuasaan di negeri ini, beberapa kali kita dihadapkan pada benturan antara konstitusi dan kondisi politik. Kita bisa menyaksikan dan membaca dari sejarah bagaimana situasi politik dan konstitusi yang berlaku pada peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan dari KH Abdurahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri.

Idealnya, intelijen dari semua elemen bangsa, baik dari pemerintah maupun partai politik, melakukan sejumlah langkah. Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga langkah yang harus dilaksanakan. Pertama, penyelidikan secara terencana dan terarah dengan mengumpulkan dan memperoleh informasi yang dibutuhkan, membuat perkiraan mengenai kemungkinan yang akan dihadapi serta menyusun perencanaan tindakan yang akan diambil terhadap kemungkinan munculnya peng-(ke)-gagalan Pemilu 2014.

Kedua, pengamanan terhadap semua usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang ditujukan guna menghindari terjadinya kekacauan dan kehancuran material yang merugikan bangsa. Dan ketiga, penggalangan, yakni aksi yang diarahkan untuk menciptakan sebuah kondisi kehidupan berbangsa menjadi aman, tentram, serta demokrasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan diterima oleh semua elemen bangsa.

Langkah cerdas ini perlu segera dirintis dan dilakukan, sebelum (kemungkinan) peristiwa besar yang merugikan bangsa ini terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar