Intelijen
dan Pemilu 2014
Soleman B Ponto ; Kepala Badan
Intelijen Strategis (ka-BAIS) TNI 2011-2013
|
TEMPO.CO,
12 April 2014
Dalam
setiap peristiwa "besar" di dunia dan tentunya juga negeri ini,
intel selalu mengiringi. Dari aksi terorisme hingga perhelatan akbar seperti
pemilu.
Baru-baru
ini, kembali muncul sinyalemen dari salah satu partai yang menyatakan ada
indikasi gerakan mengacaukan Pemilihan Umum 2014. Informasi itu, menurut dia,
diperolehnya berdasarkan pengumpulan data dan informasi intelijen yang
diklaimnya akurat.
Selama
ini persepsi yang ditangkap oleh publik ketika mendengar atau membaca tentang
peran intelijen relatif selalu dialamatkan ke institusi (negara) yang
berlabelkan intelijen. Anggapan ini terbentuk karena selama puluhan tahun,
khususnya selama era Orde Baru, fungsi institusi ini berkonotasi negatif.
Akibatnya, ketika kata intelijen digulirkan kembali pada saat ini, anggapan
tersebut seakan masih melekat dan susah dihilangkan. Selagi tidak ada fakta
dan bukti, anggapan bahwa institusi negara yang berlabel Intelijen berada di
balik aksi negatif harus dibuang jauh-jauh.
Secara
harfiah, intelijen mengandung pengertian kecerdasan, akal, kecerdikan, atau
inteligensia. Dengan kata lain, dalam konteks menjelang Pemilu 2014, ketika
ada anggapan terjadi "perang
intelijen", yang terjadi sebenarnya adalah perang antar-kecerdasan
untuk mencapai tujuan masing-masing. Tiap-tiap partai dan institusi lain
menggali potensi diri, menyiapkan amunisi, mengukur kelemahan lawan, menilai
momentum yang tepat, dan segala macam analisis dengan "kecerdasan"
tingkat tinggi untuk mencapai tujuannya. Tentang hal ini, Sun Tzu sudah pernah
berpesan, "Know your enemy, know
yourself; your victory will never be endangered."
Jika
dicermati lebih mendalam tentang upaya mengacaukan Pemilu 2014, sebenarnya
ada sebuah fenomena kecerdasan (intelijen) tingkat tinggi yang justru
seharusnya lebih diperhatikan daripada "sekadar"
soal kotak suara yang terbuat dari kardus. Menurut
analisis penulis, aspek legalitas pemilu akibat keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK) pada 23 Januari 2014, bahwa Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, adalah sebuah
masalah besar. Bisa jadi hal ini adalah skenario dengan kecerdasan
(intelijen) yang amat tinggi.
Mengapa
demikian? Karena sudah jelas, terang-benderang landasan hukum Pemilu 2014
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat tapi masih dijadikan dasar hukum. Dengan kata lain, hasil
pemilu bisa dinilai inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945.
Pihak-pihak yang menang, baik presiden, wakil presiden, maupun anggota DPR,
semuanya menjadi tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Tentang hal ini, penulis telah
menyajikannya di Koran Tempo edisi 28 Februari 2014 dengan judul
"Peluang Kudeta Konstitusional 2014")
Anehnya,
"saran" MK bahwa dasar hukum pemilu tersebut bisa dilaksanakan pada
2014, dan mulai berlaku pada 2019 dan pemilihan umum seterusnya diikuti oleh
penyelenggara pemilu (pemerintah dan KPU). Padahal MK tidak berhak dan tidak
punya kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 untuk
menyatakan waktu berlakunya sebuah undang-undang. "Kecerdasan"
tingkat tinggi seperti inilah yang seharusnya digulirkan oleh partai politik,
akademikus, dan sejumlah elemen bangsa.
Dalam
sejarah perjalanan peralihan kekuasaan di negeri ini, beberapa kali kita
dihadapkan pada benturan antara konstitusi dan kondisi politik. Kita bisa
menyaksikan dan membaca dari sejarah bagaimana situasi politik dan konstitusi
yang berlaku pada peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, dari
Soeharto ke B.J. Habibie, dan dari KH Abdurahman Wahid ke Megawati
Soekarnoputri.
Idealnya,
intelijen dari semua elemen bangsa, baik dari pemerintah maupun partai
politik, melakukan sejumlah langkah. Dalam pandangan penulis, setidaknya ada
tiga langkah yang harus dilaksanakan. Pertama, penyelidikan secara terencana
dan terarah dengan mengumpulkan dan memperoleh informasi yang dibutuhkan,
membuat perkiraan mengenai kemungkinan yang akan dihadapi serta menyusun
perencanaan tindakan yang akan diambil terhadap kemungkinan munculnya
peng-(ke)-gagalan Pemilu 2014.
Kedua,
pengamanan terhadap semua usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang
ditujukan guna menghindari terjadinya kekacauan dan kehancuran material yang
merugikan bangsa. Dan ketiga, penggalangan, yakni aksi yang diarahkan untuk
menciptakan sebuah kondisi kehidupan berbangsa menjadi aman, tentram, serta
demokrasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan diterima oleh semua
elemen bangsa.
Langkah cerdas ini perlu segera dirintis dan dilakukan, sebelum
(kemungkinan) peristiwa besar yang merugikan bangsa ini terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar